Pagi itu, Sinta sedang malas-malasnya untuk bangun dan bersiap ke sekolah karena semalam pekerjaan rumahnya baru ia selesaikan sekitar pukul 11 malam. Ia baru mampu membuka sebelah mata dan mengintip jam weker. Namun, seketika perhatiannya teralihkan oleh handphone–nya yang berkedip. Ia mengambilnya, lalu menemukan bahwa ternyata Rama telah membalas pesan WhatsApp-nya.
Saat itu pula Sinta tiba-tiba beranjak dari kamarnya dan lekas bersiap untuk berangkat ke sekolah. Hal tersebut sebetulnya tidak mengherankan karena, diam-diam, selama ini Rama adalah tambatan hati Sinta. Ia mengidolakan Rama karena Rama adalah anak yang ramah, sopan, dan berprestasi di sekolah.
Meski masih duduk di bangku kelas 10 SMA, Sinta sudah mulai belajar berdandan. Meski begitu, dandanan yang ia kenakan tidak berlebihan dan lebih berlandaskan menjaga kesehatan wajah saja. Jadi, salah satu persiapannya ke sekolah adalah dengan mengaplikasikan lip gloss ke bibirnya. Namun, pagi itu, ia tidak dapat menemukan cermin kecil yang biasa ia gunakan untuk berdandan.
Ia pun terus mencari hingga akhirnya berpapasan dengan ibunya yang sedang sibuk di dapur. “Ma…, Mama liat cermin bedak Sinta ga?” Tanya Sinta.
“Enggak, Sinta… Ini sudah terlalu siang lho, kenapa kamu belum berangkat juga, nanti telat,” balas ibunya.
“Iya ma, tapi kan Sinta belum pake lip gloss.” Kata Sinta.
“Pakai cermin di lemari kamu aja Sin,” ujar mamanya.
“Enggak bisa Ma, ga keliatan, mesti deket,” balas Sinta sambil mengeluh.
“Ya udah pake cermin bedak mama aja, kamu ambil sendiri di kamar mama, di meja rias.” Ujar sang Mama.
Sinta lantas beranjak ke kamar ibunya dan segera menghampiri meja rias. Saat menghampirinya, Sinta melihat sederetan peralatan make up. Namun, ia tidak menemukan cermin bedak kepunyaan ibunya.
Ia akhirnya mencoba mencarinya di laci meja itu. Ia menemukan cermin kecil yang agak kusam dan tampak terlihat sudah berumur. “Nah, ini aja deh, bisa,” gumamnya dalam hati. Namun, ketika ia bercermin, bukan wajahnya yang tampak. Sinta sontak kaget dan membalikkan cermin itu ke atas meja.
Jantungnya berdebar kencang dan sedikit napasnya berpacu tak terkendali. “Mungkin cuma salah liat,” ia berusaha menenangkan pikirannya di dalam hati. Tak lama dengan sedikit keraguan, ia membalikkan cermin itu lagi.Kali ini, ia benar-benar memfokuskan pandangannya pada cermin. Namun, ternyata sekali lagi ia melihat sosok lain yang berada di cermin itu. Seorang pria dengan wajah muram dengan alis tebal dan berpenampilan sedikit sangar.
Ya, Sinta mengenali sosok itu. Ia adalah teman sekolahnya, pria yang justru kebalikan dari Rama. Ia kurang menyukai sosok pria itu karena pendiam dan selalu menyorotkan pandangan tidak ramah pada siapa pun. Ia adalah Rahwana. “Sin, Sinta… Kamu kenapa sayang?” Terdengar suara ibunya mendekat. Wajar saja jika ibunya khawatir karena bunyi cermin yang tadi dihentakkan Sinta ke meja cukup keras.
Ibunya lantas melihat Sinta yang sedang bercermin dengan wajah ketakutan dan penasaran. “Kok pake cermin itu Sin”, tanya Ibunya. Sinta masih tidak bergerak dan belum menghiraukan pertanyaan ibunya.
“Oh, kamu bisa lihat juga ya, kamu lihat siapa Sin?”
Kali ini Sinta membalasnya “Lho, mama tahu? Sinta lihat Rahwana Ma, temen sekolah,” balas Sinta makin keheranan.
“Oh, ternyata kamu udah kenal ya, ya baguslah,” balas ibunya.
“Hah? Maksudnya gimana ma?,” jawab Sinta sambil menyipingkan matanya.
“Cermin itu pusaka keluarga kita Sin, nenek kamu sih nyebutnya cermin jodoh,” balas ibunya sambil tertawa kecil.
“Hah? Sejak kapan kita punya beginian Ma, lagian.. ga mungkin Rahwana ma, Sinta ga suka sama dia, malah agak kekih,” jawabnya.
“Namanya jodoh siapa yang tau Sin.”
“Enggak ah, ga mau!” tegas Sinta.
“Ah lagian kamu masih SMA, mana tahu soal gituan, masih belum umur!” balas mamanya.
“Ih, tapi ga mungkin, Rahwana itu orangnya jutek banget, diajak ngobrol juga susah, mana kasar lagi, ga ada lembut-lembutnya ke cewek Ma,” balas Sinta.
“Kamu kenal sama dia Sin? Maksudnya, bener-bener tahu isi hati sama sifatnya gimana?”
“Boro-boro, kan kata Sinta juga diajak ngobrol aja susah,” jawab Sinta.
“Ya sudah kalau begitu, jangan menilai seseorang dari sikapnya saja, belum tentu seseorang yang sikapnya dingin seperti itu memiliki hati yang buruk.” Kata sang Mama.
Sinta lalu tertegun sejenak merenungkan perkataan ibunya tersebut. Namun, tak lama ia kembali sadar bahwa persoalan pokok kali ini bukanlah soal Rahwana apalagi jodohnya. “Lho, tapi kok Mama punya cermin gini sih? Ini beneran? Ga ada layarnya kan?” tanya Sinta sambil meraba-raba bagian belakang cermin itu. “Itu belum seberapa Sin, masih banyak pusaka lain yang kamu bakal lebih kaget lihatnya,” balas ibunya sambil mengedipkan matanya.