Ting!
Lift terbuka sampai di lantai 3, Okta melangkah keluar. Pintu kembali tertutup namun tiba-tiba Asya menahannya dengan tangan dan keluar. Okta yang melihatnya hanya diam memperhatikan.
"Permisi…"
"Aku tahu dia pasti akan mengatakan sesuatu," batin Okta.
"Maaf mengganggu waktu anda. Bolehkah saya bertanya?"
"Silakan." air muka Okta datar.
"Apa anda di sini sejak beberapa jam yang lalu?"
"Maaf?"
Drrfftt
Ponsel Asya bergetar, rekannya mengirimkan foto dari rekaman cctv, tertangkap pria yang memakai jubah dokter, berkacamata kotak dan memakai masker biru khas dokter, foto itu tertangkap saat Okta keluar dari kamar Valen setelah memantrainya.
"Orang ini," Asya menunjukkan foto itu pada Okta. "Apa anda melihatnya? Dia bukan dokter yang sebenarnya, orang ini sedang menyamar."
"Maaf, saya baru saja sampai beberapa menit yang lalu. Saya tidak tahu," kata Okta tanpa melihat fotonya.
Asya merasa aneh, padahal orang ini tidak melihat fotonya tapi sudah mengatakan tidak tahu. Orang asing itu malah menatapnya tajam.
"Sepertinya anda belum melihatnya dengan teliti. Coba lihat foto ini."
Okta menghela napas dan setengah hati melihatnya.
"Aku tidak tahu. Maafkan aku."
"Tas mu itu…apa isinya?"
"Maaf? Apa anda mencurigai saya?" Okta tertawa sinis. "Sepertinya tidak ada yang perlu saya beritahukan lagi pada anda. Permisi." Okta mengangguk dan melenggang pergi.
"Dingin sekali orang itu," batin Asya. "Ah salahku juga bertanya apa isi tasnya, sih."
Okta berjalan hingga sampai di ujung lorong dan menaiki tangga untuk menuju lantai 4. ia juga berhati hati dan melihat polisi yang menjaganya. Ia juga mendapati polisi wanita tadi ada di sana. Totalnya ada 3 polisi, mereka mengobrol.
"Ketua, apa kita juga harus menjaga jasadnya? Dia bahkan sudah mati," keluh salah satu polisi yang berjaga di depan ruang mayat.
"Letnan bilang kita tidak boleh lengah."
"Tapi dia kan sudah mati. Apa yang harus kita khawatirkan?" sambung yang satunya.
"Sepertinya itu karma. Sudah berapa banyak anak muda yang ia cekoki dengan narkoba? Narkoba membuat generasi muda mati dan kehilangan masa depan. Dia memang pantas mati," kata yang satunya lagi.
"Kemungkinan pelakunya adalah komplotan dari pengedar itu sendiri. Mereka ingin membungkam Valen karena sudah tertangkap."
"Jaringan narkoba benar benar kuat."
"Baiklah, kalau kalian ingin beristirahat."
"Bagaimana dengan kau, Ketua?"
"Aku akan di sini."
"Tidak ada apa sendirian?"
"Memangnya ada apa?"
"Ini kan kamar mayat," rekan polisinya itu ngeri.
"Aku jauh lebih takut pada manusia ketimbang hantu. Pergilah, nikmati makan siang kalian."
"Terima kasih, Ketua."
Kedua polisi itu meninggalkan Asya seorang diri dan turun menuju kantin menggunakan lift.
Okta melihat Asya sudah sendirian di sana. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi call center di rumah sakit itu.
"Halo!" paniknya, pura pura
"Ada yang bisa kami bantu."
"Sepertinya saya melihat seorang dokter yang mencurigakan!"
Resepsionis di lobi yang menerima telepon itu bergegas memanggil polisi yang berada di sana dan memberikan teleponnya pada polisi.
"Halo, ini polisi. Bisa katakan anda di mana?" suara berganti dari suara pegawai wanita menjadi polisi laki laki.
Okta yang mendengar suara polisi tersenyum licik. Ia pun bersuara panik lagi.
"Sa…saya ada di parkiran bawah."
"Baiklah, tim kami sudah ada yang menyusulmu. Pastikan kau tetap di sana dan memperhatikan orang itu."
"Saya takut! Saya tidak bisa berlama lama di sini lagi!"
Panggilan pun berakhir. Setelah itu, ia mengintip Asya yang masih duduk di kursi depan kamar mayat. Tiba tiba ponsel Asya berdering. Itu adalah dari rekannya yang panik memberitahukannya kalau ada yang melihat pelaku di parkiran bawah.
"Apa? Di parkiran?!"
"Cepatlah ke sini!"
"Aku akan ke sana!"
Setelah menerima panggilan itu, Asya berlari menuju lokasi, yang artinya tidak ada yang berjaga lagi di depan kamar mayat.
Barulah Okta turun dan masuk ke dalam. Tidak lupa ia memakai sarung tangan hitam. Ia menuruni tangga dan masuk ke dalam. Setelah menemukan mayat Valen, ia mengambil kursi roda di sudut ruangan. Ia memindahkan tubuhnya ke kursi roda dan membuka tas ransel yang dibawanya. Mengambil pakaian biasa dan memakaikannya pada Valen. Kacamata hitam, masker putih dan topi kopiah.
Setelah itu ia mendorongnya seolah sedang membawa kerabat keluar dengan normal. Di koridor berlarian polisi yang menuju ke lantai bawah. Okta juga memakai masker dan topi. Dan dengan santainya membawa keluar Valen melalui pintu depan tanpa dicurigai, cctv pun tak bisa menangkap wajahnya karena tertutup. Sesampainya di parkiran halaman samping, ia membuka ponselnya dan melempar kartu sim yang digunakan untuk menelepon call center. Lalu menaikkan Valen ke mobil dan meninggalkan rumah sakit.
tidak lupa ia menelepon seseorang.
"Aku meninggalkan mobil di parkiran bawah, bisakah kau mengurusnya untukku?" entah siapa yang dia ajak bicara, setelah menutup teleponnya ia membawa Valen ke motel tempat ia berdiam diri sekarang.
Tuutt tuut tuuut
"Sepertinya itu laporan palsu," ujar rekan Asya dengan napas tersengal karena berlarian.
"SIAL!" teriak Asya kesal. Ia lalu mengingat bahwa tidak ada yang berjaga di kamar mayat.
"Apa jangan jangan…" Asya bergegas berlari ke kamar mayat lantai 4. "Ketua!" teriak yang lainnya,. namun mereka hanya pasrah karena ternyata mendapat laporan palsu.
"Jangan sampai…. kumohon jangan sampai ini sama dengan yang kupikirkan."
Sayangnya saat ia memastikan mayat Valen, benar saja. Mayat itu telah lenyap, sesuai dugaannya. Dan sialnya tidak ada cctv di area ruang mayat.
***
Brak!
Letnan Holan menggebrakkan laporan itu di meja, melihat bahwa jasad Valen menghilang.
"Maafkan aku, Letnan. Kami kehilangannya," lapor Asya.
"Baru beberapa jam yang lalu meninggal, sekarang jasadnya hilang?!"
Asya menunduk merasa bersalah.
"Sial, harusnya aku memeriksa jasadnya lebih dahulu. Aku sudah menduga bahwa tidak mungkin mereka membunuh Valen begitu saja. Ini pasti perbuatan Ramon." Sayangnya ia tak bisa datang ke rumah sakit segera karena bersamaan dengan Dio yang sakit kemarin.
"Apa Letnan sudah tahu akan ada yang mengambil mayatnya? Karena itu anda meminta kami untuk menjaganya?"
"Aku tidak menyangka akan hilang. Hanya saja aku harus memastikan dengan kedua mata kepalaku bahwa dia benar benar mati."
Asya tertegun mendengarnya. "Apa maksudnya? Apa anda menduga Valen masih hidup? Itu tidak mungkin dokter sudah memvonis kematiannya."
"bukan, bukan itu."
"Lalu apa?" Asya penasaran.
"Aku khawatir tubuh Valen dimantrai mantra penyekat," tentu saja itu dalam hati Holan, tidak mungkin ia mengatakannya pada Asya.
"cctv?" tanya Holan.
"Kami mengecek cctv parkiran, tidak ada yang orang mencurigakan yang meninggalkan rumah sakit. Dan ditambah lagi…di sekitar ruang mayat tidak terdapat cctv. Tapi kami mencoba mencari."
"Baiklah. Keluarlah dulu. Aku akan mencoba mencari jalan lain. Kau kondisikan tim mu dan kembalilah ke kantor kalau sudah selesai pemeriksaan. Para staf rumah sakit dan pasien pasti tidak nyaman ada polisi di sana."
"Baik, Letnan."
Kemudian Asya keluar dari kantor.
Holan duduk dengan mengaitkan jari jari tangannya dan merenung.
"Apa ada yang memiliki mantra itu diantara pilar Ramon?"