"Sudah. Jangan minum lagi, Vy."
"Jangan pergi," kata Arvy tiba tiba. Lagi lagi membuat Amy membisu sekaligus khawatir. Nama seorang yang asing itu lagi.
"Siapa Gita sebenarnya? Apa dia kekasihnya?" batin Amy.
Arvy menangis sembari menatap dirinya. Seolah benar benar telah menemukan gadis yang dicintainya. Amy terdiam tidak bisa berbuat apa apa selain menenangkannya dan menjadi gadis bernama Gita itu.
"Jangan menangis," kata Amy tiba tiba.
Arvy tertegun mendengarnya. Sesaat kemudian Arvy oleng dan tertidur di meja dengan masih menangis. Amy mengelus puncak kepalanya dengan ragu ragu, namun akhirnya ia mengusapnya. Arvy akhirnya berhenti meneteskan air mata dan tersenyum kecil. Amy memutuskan keluar dan meninggalkan bar.
"Sepertinya aku datang lain kali saja."
***
Sketsa wajah sudah keluar, aku akan mengirimkannya padamu lewat chat," kata Asya dari seberang telepon.
"Sudah selesai?"
"Iya, kalau ada kurang kau bilang saja, atau datang langsung ke kantor temui aku."
"Baiklah."
Alfa membuka aplikasi chatting dan membuka file berisi gambar. Ia ragu mengkliknya.
"Apa tidak apa apa mempublikasinya seperti ini? Apa Rataka tahu aku melaporkan wajahnya pada polisi? Sudah lama dia tidak mendatangiku. Apa dia tidak punya ponsel? Aishhh."
Alfa menggaruk tengkuk lehernya. Ia belum mengatakannya pada Rataka, bahwa ia terpaksa melaporkannya pada polisi. Harusnya dia mempunyai nomor telepon agar bisa dihubungi.
"Akan lebih baik kalau Rataka dan Pak Holan saling kenal," harapnya.
"Alfa!" panggil Amy dari luar kafe sembari melambai dan tersenyum lebar.
Alfa balas melambai ke arahnya. Amy masuk dan melihat sudah ada latte di meja.
"O? kau sudah memesan untukku?" Amy duduk.
"Tentu saja."
"Apa ada masalah? Kau sepertinya sangat fokus pada ponselmu."
"Ah itu… polisi menghubungiku."
"Tentang kasus itu?"
"Iya."
"Jadi bagaimana? Apa mereka sudah menangkap pelakunya? Siapa pelakunya?"
"Woi woi tunggu dulu." Alfa menjelaskan. "Belum. Aku sendiri tidak terlalu ingat saat itu, ehem ehem." Alfa memberi alasan. "Aku khawatir tidak bisa membantu polisi terlalu banyak."
"Apa maksudmu? Kau korbannya. Sudah seharusnya mereka menangkapnya. Kenapa malah kau yang jadi tidak enak? Dasar." Amy meminum minumannya.
Alfa memperhatikan Amy yang nampak stylish hari ini. Rambu yang terurai rapi, tidak awut awutan seperti biasa, rok yang cantik dan bibir yang kemerahan imut.
"Kau berdandan?"
Amy terkejut lalu menatap Alfa dengan canggung.
"Kenapa? Tidak boleh?"
"Tidak," Alfa tertawa kecil. "Cantik kok."
"Benarkah?"
"Tapi bohong."
"Apa?"
"Tidak. Tidak. Kau benar benar cantik."
"Woy? Kenapa kau jadi jujur sekali sekarang?"
"Kau tidak akan pernah tahu kapan akan terjadi hal buruk lagi." Alfa menghela napas. Lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Aku sudah pernah merasakan rasanya hampir mati. Sekarang aku tidak ingin menyesali apapun lagi. Jadi mulai sekarang, aku akan jadi pria yang lebih jujur."
"Apa? Cih." Amy tertawa mengoloknya. "Aku juga pernah mengalaminya, saat hampir mati."
Alfa memiringkan kepalanya bertanya tanya. Ia tidak percaya.
"Sungguh. Aku tidak berbohong."
"Kalau begitu aku akan pura pura percaya."
Amy memukul lengannya pelan sembari menggertakkan gigi. Alfa tertawa.
Mereka memesan puding, makanan cemilan kesukaan Amy. Di kulkas sudah penuh dengan aneka puding. Kini di luar mereka makan puding lagi.
"Hemmm lezat sekali." Amy tersenyum manis sembari menatap puding di piring kecil cantik itu dengan penuh cinta.
"Kau tidak bosan makan itu terus? Di rumah, di luar, di mana mana."
"Mana mungkin aku bosan. Sekali kau suka, kau akan suka selamanya." kata Amy tanpa melihat Alfa dan sibuk menikmati pudingnya.
Alfa mengangguk mengiyakan. Matanya tak pernah lepas dari senyuman AMy yang bahagia.
"Jadi kapan kita akan bekerja? Sudah ada client bukan?"
"Apa?" Amy shock.
"Eh ada apa? Kenapa kau?"
"Bekerja katamu?! Tidak usah sok sokan kau, masih juga rawat jalan."
"Tapi aku sudah baik baik saja. Beneran. Kau lihat sendiri kan?"
"Benarkah?"
"Iya! Serius."
Tiba tiba Amy bangkit dari kursi dan berdiri di hadapan Alfa. Tiba tiba ia memukul punggungnya dengan keras hingga bersuara plak. Orang orang di sana menatap keduanya dan mengira mereka pasangan yang sedang bertengkar.
"Apa yang kau lakukan?!" Alfa meringis kesakitan sembari memegang bahunya.
Tapi malah mendapati Amy melotot ke arahnya.
"Katanya sudah baik baik saja, kenapa sakit? Aku tidak keras memukulnya kok."
"Apa? Tidak keras katamu? Benar benar sudah tidak waras kau."
"Kau akan bekerja dengan keadaan seperti itu? Melawan hantu dengan fisik lemahmu? Kau sengaja bunuh diri huh?" Amy berkacak pinggang. "Jangan berani berani kau menyinggung tentang pekerjaan kalau kau masih sakit begitu."
"Baik, Nyonya."
"Hari ini kan, ganti perbannya?"
"Iya." Alfa mengangguk.
"Kenapa kau tiba tiba mengajakku keluar?" tanya Amy penasaran.
"Tidak ada alasan. Cuma ingin keluar saja."
"Sungguh?"
"Iya tentu saja. Apa ada alasan lain lagi."
"Kupikir ini kencan. Kau menyia-nyiakan make up ku."
Uhuk!
Alfa tiba tiba batuk batuk saat meminum kopinya.
"Kenapa kau?" Amy kaget sendiri. Ia memberikan tisu padanya. "Kau baik baik saja?"
"Tidak bisakan kau anggap ini kencan?"
"Tapi tadi kau bilang cuma pengen keluar kan?"
Alfa tak menyangka Amy sepolos ini. "Kalau begitu kau ingin kemana lagi hari ini?"
"Ha? Apa sih yang kau bicarakan?" Amy malu sendiri. "Setelah ini kita harus ke rumah sakit. Jangan bicara yang aneh aneh lagi. Apa kita bahkan punya waktu sebanyak itu?"
"Kenapa tidak? Bukankah kita punya banyak waktu luang?" Alfa tersenyum sembari menaikkan alisnya.
"Apa kau sedang melawak? Dasar sialan."
Mereka berdua melempar tawa akhirnya.
Alfa masih diperban hampir di seluruh area tubuhnya seperti perut, punggung, bahu, dahi bagian samping, leher bagian kiri, lutut kanan. Namun keadaannya masih memungkinkan dirinya untuk bergerak, hanya saja tidak terlalu leluasa seperti bergerak terlalu cepat dan keras apalagi bertarung.
"Sepertinya lukanya makin membaik," ujar Yohan sembari mengganti perban di punggung Alfa. Amy menunggu di luar.
"Apa aku harus datang lagi minggu depan?"
"Jika masih sakit kusarankan datang lagi. Namun kita lihat dulu kondisi lukanya. Kalau sudah lebih baik dan sakitnya berkurang, kau bisa mengoles salep sendiri di rumah."
"Baiklah. Terima kasih ya, Kak."
Yohan tersenyum ramah.
"Oh ya, aku sangat penasaran dan ingin bertanya tentang ini. Tapi aku selalu lupa." setelah selesai menggantinya, Yohan duduk di kursi.
"Ada apa?"
"Kau ingat saat pertama kali siuman dari koma panjangmu?"
"Eh? Maksudmu saat di ruang ICU?"
"Iya betul." Yohan menjentikkan jarinya hingga bersuara. "Kau ingat kau keluar dari sana saat sedang diberi cpr kan?"
"Iya. Memang kenapa?"
"Aku yang harusnya tanya. Apa yang sebenarnya terjadi?"