Selang beberapa saat kemudian, Kreysa dan Freislor akhirnya kembali bertemu. Mereka berdua berkumpul di sebuah ruang keluarga. Freislor memarkirkan sepeda pancalnya di garasi. Sedangkan Kreysa, membukakan pintu karena mendengar kakaknya membunyikan bel.
"Kreysa, apa kamu sudah lama menunggu Kakak?" tanya Freislor. Gadis itu bergegas ke dalam. Menaruh sepatunya di rak sepatu dan langsung bergabung dengan sang adik.
"Tidak terlalu, aku baru saja pulang. Kakak lebih baik ganti baju dulu, Kreysa sudah membuat beberapa karangan bunga," jawab Kreysa sembari tersenyum dan menyalami kakaknya. Freislor beberapa kali mengedarkan pandangan ke segala ruangan. Ia tak menemukan keberadaan ibunya.
"Ibu di mana, Kreysa? Kenapa aku tidak melihatnya?" tanya Freislor. Gadis itu mengerutkan dahi. Kreysa menggelengkan kepalanya pelan sembari berkata, "Tidak tahu, Kak. Aku sama sekali nggak tahu di mana Ibu berada. Tapi, tadi Ibu udah bikin surat kalo dia pergi."
"Apa Ibu tidak memberi tahu kita ke mana dia pergi?" Freislor melihat kedua mata adiknya yang lesu. Kreysa hanya tersenyum tipis dan menggeleng kepalanya pelan.
"Heum, ini tidak seharusnya terjadi. Bagaimana dia bisa meninggalkan kita berdua di acara sepenting ini?" batinnya menggerutu. Beberapa pertanyaan muncul di pikirannya. Gadis itu terombang-ambing, ia mengingat kejadian di masa lalu. Masa yang pernah membuatnya berada di dalam situasi terpuruk dan tersulit. Namun, hari ini, ia tak ingin menunjukkannya di hadapan Kreysa.
"Ya sudah, mungkin saja ada hal penting yang harus Ibu urus. Biar kita berdua yang melaksanakan ritualnya, ya. Kamu ganti baju dan bersiap-siaplah. Kakak juga akan melakukan hal yang sama denganmu," ucapnya pelan sembari mengelus kepala sang adik.
"Oke, Kak."
Setelah percakapan itu selesai, keduanya sama-sama cemas. Hanya saja, Kreysa dan Freislor sama-sama tak ingin menunjukkannya. Keduanya bergegas mengenakan baju batik dengan warna merah dan hitam. Kedua warna itu adalah warna sakral yang memiliki arti tersendiri.
"Heum, baiklah, rupanya, gaun Kakak sangat pas untukmu. Aku senang melihatmu menggunakannya," ucapnya dengan wajah riang. Gadis itu menganggukkan kepala ketika melihat sang adik begitu anggun dengan gaun batik yang pernah ia pakai ketika seumuran dengan sang adik.
"Baiklah, aku rasa kita berdua bisa memulainya sekarang. Tapi, sebelum itu, aku harus membuat rangkaian bunga untuk diriku sendiri. Apakah kau mau menunggu Kakakmu ini?" tanya Freislor sembari tersenyum. Gadis itu mengangguk. Tanpa berpikir panjang, Freislor pergi ke sebuah taman yang ada di pekarangan rumahnya. Ia mengambil beberapa bunga Vrelopi putih dan juga ungu. Lambang dari kematian para leluhur.
"Arebsoliek," ucapnya lirih. Gadis itu menyunggingkan senyuman. Kedua tangannya menyusunnya dengan sihir agung. Cahaya alter dan rerumputan yang berada di sekitarnya seketika bergerak. Angin nan lembut juga turut membantu Freislor dalam merangkai bunga. Beberapa akar pepohonan yang berdiri di dekatnya seketika membentuk dirinya menjadi beberapa tangan.
"Ah, kalian ingin membantuku rupanya," gadis itu tersenyum riang. Ada beberapa hal yang tak bisa ia lupakan di momen itu. Ketika tangan-tangan yang terbuat dari akar itu saling menyilangkan beberapa bunga Vrelopi dengan anggun. Lalu, beberapa rerumputan membentuk diri mereka menjadi sebuah hiasan seperti buket bunga.
"Indah sekali, terima kasih," ucap Freislor sembari membelai lembut beberapa tangan yang terbuat dari akar pepohonan itu. Setelah selesai melakukannya, gadis itu pergi dan langsung menemui sang adik.
"Kak, apa kau sudah siap?" tanya Kreysa. Gadis itu menyiapkan dua helai rambut yang ia cabut dari kepalanya.
"Yah, Kakak sudah siap," jawab Freislor. Ia melakukan hal yang sama seperti Kreysa. Setelah melakukannya, mereka berdua duduk di halaman belakang. Halaman yang mereka gunakan untuk upacara ritual sangatlah besar dan lebar. Ada sebuah lingkaran yang terbentuk dari ukiran batu. Mereka berdua lantas duduk dan menenangkan diri mereka.
"Kak, apa kau yakin ritual ini tidak membuat kita berdua ketakutan?" tanya Kreysa, gadis itu melirik ke arah sang kakak. Untuk beberapa waktu, ia berusaha melawan ketakutannya sendiri.
"Tentu saja tidak. Persiapkan dirimu, Kreysa. Bisa saja setelah ini seluruh dunia terlihat gelap. Karena, banyak dari masyarakat di sini yang merayakan ritual ini bersama. Apa kau ketakutan?" Freislor memperhatikan kedua mata sang adik.
"Yah, sedikit. Aku akan melawannya, Kak."
"Tentu saja, Kakak tidak akan melakukan ritualnya sebelum kamu siap. Aku akan memberimu waktu lima menit agar kau bisa menemukan kedamaian di dalam dirimu," ucap Freislor sembari tersenyum. Gadis itu memegang salah satu tangan adiknya. Berusaha untuk menenangkannya.