webnovel

- Duri dalam Daging

Pletak!

Iltas dan pasukannya memacu kuda sekencang-kencangnya ke arah pasukan Nushibi. Meskipun ia membenci mereka berdua, tanpa ragu ia memutuskan untuk maju membantu mereka.

Di waktu pagi, karena belum ada jawaban apa yang harus mereka lakukan selanjutnya, Iltas mengambil inisiatif tanpa haris menunggu persetujuan dari mereka berdua.

Kuda yang ia pacu dari tadi pagi, telah mengeluarkan busa dari mulut. Hal yang serupa juga dialami oleh para prajuritnya. Itu pertanda tenaga kuda maupun kuda para prajurit telah melemah. Kalaupun mereka dapat membantu penyerangan, mereka tidak dapat menyerang dengan kekuatan penuh.

Telik sandinya yang berada jauh di depan segera berputar haluan untuk memberitahu posisi Nushibi saat ini. Berbeda dari prajurit lainnya, telik sandi pasukannya memakai zirah lebih ringan dan kuda yang lebih kencang untuk berlari. Sore menjelang maghrib itu Iltas dapat mengetahui posisi Nushibi meski samar-samar. 

Tanpa disadari oleh Iltas, Heshana berusaha untuk menyusul pasukannya sedari siang dengan memacu gerak kuda pasukannya lebih kencang lagi meninggalkan Irbis yang berada di belakangnya.

Hal ini menimbulkan kejanggalan besar di dalam benak Iltas, mengapa Heshana yang biasanya cermat itu terburu-buru mengejarnya tanpa menyusun rencana terlebih dahulu. Rasa curiganya yang selama ini ia tepis tidak dapat dipendam lagi.

Di posisi paling belakang iring-iringan pasukan itu, amarah Irbis memuncak. Dadanya terasa seperti terbakar karena Iltas telah mengkhianatinya. ia tidak menyangka bahwa Iltas dan Heshana telah bersekongkol untuk membunuhnya.

"Panggil semua pasukan telik sandi kemari, suruh mereka memperkuat bagian belakang dan samping!" sahut Irbis dari atas kudanya.

"Apa ada serangan musuh kapten!?"

"Musuh kita adalah Iltas dan Heshana! lakukan saja apa yang kuperintahkan!"

--

"Haha kalian belum makan ya haha, apa cuman ini kehebatan Gokturk? aku bisa membantai kalian semua dengan mudah!" sahut seorang penombak Chechen.

Saat ini posisi pasukan Uldin semakin terdesak. Pasukan musuh yang berjumlah lebih besar mulai memukul mundur pasukannya dari dua sisi. Pasukan berkuda itu kewalahan menghadapi serangan tombak yang begitu ganas laksana ombak lautan yang menerjang.

Uldin berencana untuk meloloskan diri dari kepungan infatri, akan tetapi pasukannya tidak sanggup lagi untuk mendobrak kokohnya pertahanan musuh sekalipun mempunyai persenjataan yang lebih lengkap.

Srat!

Aaarrrggghhh!

"Kapten! mereka terlalu kuat mau sampai berapa lama lagi kita seperti ini!?"

"Sudah jelas seperti perintahku tadi!"

Tidak ada yang bisa Uldin lakukan kecuali bertahan menunggu terbenamnya matahari. Posisi pasukan Nushibi saat ini sedang mengejar pasukan berkuda avar yang melarikan diri keluar dari hutan. 

Kondisi semakin bertambah buruk di pihak Uldin. Anak buahnya telah banyak yang ambruk ke tanah bersimbah darah ataupun kelalahan. Kuda mereka kebanyakan telah mati, akan tetapi mereka semua telah bertekad secara tersirat akan bertarung sampai mati. 

Manakh di dalam hatinya merasa kagum dengan semangat juang pasukan berkuda itu, akan tetapi pertarungan ini harus diselesaikan. Nakchi diperintah olehnya untuk mengambil alih kepemimpinan pasukan penombak.

"Kepung mereka serang lebih kuat lagi pukul mundur mereka!" teriak Nakhci, serangan tombak yang diarahkan ke pasukan musuh mereka menjadi semakin ganas.

Inilah saatnya untuk membantai mereka semua, pemanah yang dari tadi berlindung di dalam pagar kini mulai turun ikut membantu pasukan penombak dengan pedang mereka. 

Srat!

"Maju kalian kalau mau kubantai! pasukanku, kalau kita menang dan bertahan hidup kita bisa minum khamr lagi malam ini!" teriaknya dengan darah yang mengalir dari kepalanya.

Haaaaaa!

Srat!

Musuh di hadapannya menjadi gentar, melihat gaya bertarung Uldin yang seakan seperti binatang buas.  Zirahnya telah dipenuhi oleh goresan dan bagian tubuhnya yang luput dari lindungan zirah di bawah leher telah dipenuhi oleh lumuran darah.

Sekilas ia melihat kuda yang menemaninya sejak 5 tahun itu telah mati dijulang dan amarahnya mulai memuncak, tubuhnya yang kelelahan bertarung dari tadi seakan-akan terisi oleh tenaga.

Manakh terbakar semangat pertarungannya ketika melihat kemarahan Uldin. Pria tua itu segera merengsek masuk ke dalam barisan lalu menghantamkan perisainya ke arah Uldin. Kedua pasukan menghindar, memberi ruang untuk duel maut ini. 

Ting! 

"Haha hebat sekali dari tadi aku kagum dengan semangat juang dan kemampuan tempur kalian!" sahut Manakh sembari mengayunkan pedangnya.

"Terima kasih baru pertama kali aku bertemu musuh yang memuji lawannya" balas Uldin.

Pedang yang mereka genggam segera beradu. Manakh menangkis tiap serangan Uldin, kapten itu tidak ingin kalah dari lawannya. Berkali-kali Uldin menghindari tebasan pedang yang selalu mengincar wajahnya yang tidak dilindungi oleh zirah itu.

Ting! 

"Pada akhirnya kita semua disini adalah manusia. Manusia yang mencintai perang dan pertumpahan darah benar tidak!" ujar Manakh.

"Tepat sekali pak tua!"

Tangan Uldin mulai gemetar, semarah apapun dirinya sejatinya ia telah kehabisan tenaga. Ia harus segera mengakhiri pertarungan. Dengan sekali hentakan kaki di atas salju, tebasan pamungkasnya mengarah ke leher Manakh.

Ting!

Poof!

Tumpukan salju segera melayang ke wajahnya, Manakh dapat dengan mudah membaca apa yang hendak dilakukan oleh Uldin. Serangan yang sebenarnya kembali menyasar ke arah leher.

Ting!

Pedang Uldin terlempar jauh ke belakang, nafasnya memburu sembari mengeluarkan pedangnya yang kedua. Dari gaya bertarungnya yang lebih banyak bertahan meskipun termakan oleh amarah, Manakh tahu kalau lawannya itu telah kehabisan tenaga.

Ting!

Manakh menghantamkan perisainya berkali-kali mencoba untuk menjatuhkan Uldin namun ia masih berdiri dengan tegak menahan serangan.

"Sayang sekali! andai kita bertarung saat kau dalam kondisi prima!"

"Aku tidak peduli pak tua! kau dan pasukanmu juga akan membayar semua ini karena telah menghilangkan nyawa peliharaan Kapten Gokturk Uldin!"

"Coba dan kalahkan Manakh di hadapanmu ini nak Uldin!"

Manakh terus mencoba mendorong dan sesekali menghantamkan perisainya. Uldin bertahan menghadapi setiap serangan dan berusaha mencari celah untuk menebaskan pedangnya.

Nafas Manakh mulai memburu sama seperti Uldin. Usianya yang sudah senja membuatnya kehabisan tenaga dengan cepat.

-- 

Di padang rumput yang telah tertutupi oleh salju itu, Nushibi dan pasukan berzirah beratnya terus mengejar para pemanah berkuda avar yang memakai zirah lebih ringan. Ketika rimba itu telah berada jauh sekali di belakangnya, baru Nushibi teringat dengan Uldin dan pasukannya. 

Kuda yang dinaikinya telah kelelahan, akan tetapi Nushibi tetap menghentakan kakinya. Ketika mereka berputar haluan, tiba-tiba saja para pemanah itu menaruh busur dan anak panah di pelana kuda mereka dan menggantinya dengan tombak. 

Nushibi telah tertipu oleh taktik mundur palsu yang pernah diajarkan gurunya dulu. Kini pasukan avar mulai menyebar ke segala arah, mengelilingi mereka dan mulai menombak dengan ganas. 

"Jangan gentar! zirah kita tidak dapat ditembus!" teriak Nushibi sekali lagi ia menghentakan kakinya ke badan kuda.

Kelima pasukan avar mengepungnya, dengan memanfaatkan zirah yang dikenakan olehnya, Nushibi terus maju melibas musuh di hadapannya tanpa khawatir terhadap setiap serangan mereka.

"Ada apa? hanya segini saja kemampuan kalian. Perempuan goth hanya melahirkan anak-anak yang lemah!" sahut Nushibi sembari mengangkat tombak yang telah dipancanginya kepala musuh.

"Kurang ajar! Kapten mereka harus dihabisi bersama-sama!" sahut pengendara kuda yang lain mulai mengeroyoknya. 

Nushibi hanya tersenyum sinis, dengan kemampuan berkuda dan tombak yang hampir tidak dapat ditandingi ia yakin dapat menang dengan mudah. Tiba-tiba kuda yang ia naiki jatuh karena tidak kuat menahan lelah, seketika Nushibi jatuh ke tanah.

Brak! 

Tubuh bagian belakangnya menghantam batu. Meskipun terlindung oleh zirah, ia tetap kesulitan untuk bergerak karena rasa sakit yang ditimbulkan. Musuhnya dengan sigap bersiap untuk segera menombak bagian tubuhnya yang tidak terlindungi.

Srat!

Batang tombak mereka telah patah dihantam oleh pedang Iltas. Kuda segera mengamuk dengan mulut berbusa, menendang apa saja di hadapan binatang itu dengan kakinya. Digenggammya dengan erat tali kekang kuda itu sembari mengayunkan pedang.

Srat!

"Sial monster satu lagi!" teriak para pengendara kuda.

"Bukan monster, kalian yang harusnya banyak berlatih!" balas Iltas langsung memotong leher musuhnya yang hanya diam ketakutan.

Tidak lama kemudian, pasukan Iltas mulai mendobrak masuk ke barisan musuh untuk bergabung bersama temannya. 

"Heh siapa yang butuh bantuanmu, aku ini petarung paling tangguh! hanya kurang beruntung saja tadi itulah kenapa aku bisa terjatuh dari kuda" ketus Nushibi.

"Kurang beruntung ya sejujurnya aku masih ragu dengan kemampuanmu" jawab Iltas dengan santai sembari mempersilahkan Nushibi untuk menaiki kudanya yang telah berdiri menunggu tuannya.

Karena serangan dadakan Iltas yang ganas itu, pengendara kuda avar mundur dengan formasi acak-acakan. Iltas hanya membiarkan pasukan itu untuk dihabisi oleh Heshana atau Irbis yang berada di belakang.

Matahari telah tenggelam dan angin malam di musim dingin mulai berhembus, namun pertempuran belum sepenuhnya berakhir. Mengingat kudanya sudah sangat kelelahan, Iltas berjalan menuntun kuda ke arah Uldin yang masih bertarung di dalam hutan. 

Catatan:

Untuk Chapter selanjutnya kelanjutannya ada di KBM