webnovel

Chapter 20 Lead The Way

"(Kucing itu... Kone, kucing jenis terbuas dari segala hewan buas, saat itu aku pernah meneliti kucing itu tanpa sepengetahuan Line sendiri dan aku menjadi tahu kucing itu adalah kucing hasil percobaan genetik,)" Labis melirik kucing itu yang melesat naik ke pundak Line.

"Ayo... Seranglah aku kalian tak berguna, kalian lapar bukan, huh... Cepat tangkap aku dan makan aku..." kata Line dengan santainya. Ia mengeluarkan 2 kain kecil dari dalam bajunya, lalu melilitkan 2 kain itu ke kedua tangannya.

"Aku akan melawan sendiri," kata Line. Satu harimau maju menerkamnya, namun tak disangka-sangka Line memukul kepala samping harimau itu sampai terjatuh diiringi dengan semua harimau yang menyerang bersamaan.

"Di-dia melawan semuanya sendiri—hebat," semuanya yang menyaksikan itu menjadi terkaku melihatnya. Labis mengepal tangan lalu mengeluarkan walkie talkie dari sakunya. "Eksekusi dia di sini."

"SEMUANYA PERGI KE TEMPAT AMAN!!" seseorang berteriak, lalu semua orang yang banyak itu masuk ke ruangan besar dan tertutup seperti bunker yang besar. Lalu semua penjaga dan petugas berlarian turun ke posisi tersembunyi masing-masing. Mereka menyiapkan sniper untuk membidik Line.

Semua harimau itu terkapar kalah oleh Line sendiri. Ia sekarang menjadi lelah dan melepas 2 kain itu. "(Fyuh... Seperti dulu saja,)" ia bernapas lega. Namun Labis datang mendekat membawa seseorang.

"Line..." ia memanggil sambil menyandera Uminoke di sampingnya dengan pisau. Line menatap dan terkejut. "Uminoke..."

"Line..."

"Diamlah gadis manis," kata Labis yang menahan bahu Uminoke agar tak lari.

"Lepaskan dia Labis!!" kata Line dengan tatapan dingin.

"Aku akan melepaskannya dengan satu kondisi, serahkan kucing itu dan bunuh dirilah di sini," Labis menatap. Seketika kucing Line menegakkan bulunya menandakan marah dan akan melesat menyerang, tapi Line menahan tangan kucingnya. "Hentikan ini... Jangan menyerangnya," kata Line sambil menurunkannya.

"Apa kau akan melepaskannya?"

"Tentu saja, aku akan melepaskannya, sekarang berikan kucing itu," Labis menatap. Lalu Line memandang kucingnya. "Pergilah."

"..." kucingnya tentu saja tak percaya dengan apa yang dikatakan Line. Dia menatap Line dengan tatapan memelas, tapi Line tak memperhatikannya. Alhasil, kucing kecil itu berjalan menuju Labis. "Haha sangat mudah," Labis tertawa lalu memasukkan kucing itu ke dalam kurungan kecil.

"Lepaskan Uminoke sekarang," kata Line.

"Hei... Aku tadi bilang bunuh dirimu dulu."

"Apa maksudmu, jika aku mati mana bisa aku menjaga Uminoke," Line menyela dengan kesal.

"Kau menginginkan ini bukan?" Labis semakin mendekatkan pisau itu ke leher Uminoke yang gemetar.

"Ini pilihan yang mudah Line," kata Labis.

Line menjadi terdiam, tapi ia terpikirkan sesuatu yang membuatnya tersenyum kecil. "Ah, sepertinya kucingku hilang," Line menatap lalu Labis terkejut dan menoleh ke kandangnya bahwa kucingnya masih di sana. Ia dibohongi lalu melihat Line lagi, namun Line sudah tak ada dan Uminoke juga hilang. "Apa... Dimana dia?!" ia terkejut.

"MEREKA KABUR!!" Labis berteriak seketika semua orang berlarian mencari.

"Cih... Otaknya tak dangkal juga rupanya," Labis menjadi kesal lalu membawa kucing itu ke dalam kantornya. "(Kurang hajar... Line awas saja kau, tapi lumayan aku dapat kucingnya.) Benar bukan?" Labis menatap kucing itu yang beraura dingin.

"Sekarang tunjukkan padaku kekuatanmu," Labis mendekat, namun kucing itu menggeram dan mengamuk membuat Labis terkejut. Kucing itu kebetulan melihat sebuah kotak medis di meja Labis.

"Hoi... Ada apa denganmu?" Labis menjadi terheran.

Sementara itu Roland menghentikan motornya.

"Ada apa Mas Roland?" Imea menatap.

"Sepertinya bensinnya habis, di sini tak ada apa-apa," Roland melihat sekitar bahwa mereka sekarang ada di tempat antah berantah.

"Tak ada seseorang di sini," Imea juga melihat sekitar lalu mereka turun.

"(Bagaimana caranya kembali??)" Roland menjadi bingung.

"Mas Roland, lihat itu," Imea menunjuk ada kereta berhenti lama di tengah tempat luas. Kereta itu hanya memiliki satu gerbong. "Sebaiknya kita pastikan terlebih dahulu," kata Roland. Lalu mereka berjalan ke kereta itu. Saat dilihat dari dekat, kereta itu kosong tak ada siapapun dan hanya menyisakan beberapa kantung pasir semen.

"Kereta ini sangat aneh," Imea melihat sekitar.

"Hari sudah gelap, kita harus beristirahat di sini," kata Roland yang menutup pintu kereta setelah mereka masuk, namun Imea melihat ada mobil van yang terparkir di samping agak jauh dari kereta. "Mas Roland, apa di sana ada orang?"

"... Aku akan melihatnya."

"Tunggu, kau ke sana sendiri?"

"Ya, kau harus menunggu di sini. Aku hanya sebentar," kata Roland lalu Imea mengangguk.

Roland mendekat ke mobil van itu dan melihat di bagian supir tak ada siapa-siapa lalu ia mencoba membukanya namun tak bisa, tiba-tiba muncul suara dari belakang mobil van. Ia mendekat perlahan ke pintu belakang mobil van yang tergembok. Roland akan membukanya namun mendadak ada tangan penuh darah muncul diiringi suara lapar zombie.

"Cih..." Roland tak jadi membuka dan kembali ke kereta.

"Apa yang terjadi Mas Roland?"

"Mobil itu tak ada apa-apa, sebaiknya kita istirahat karena hari sudah malam."

"Em... Ini agak aneh," Imea menjadi ambigu. Lalu Roland duduk bersandar di dinding kereta. "Kemarilah, kau akan hangat di sini," ia merentang tangan.

"Apa... Em... Tak bisa aku..." Imea menjadi berwajah merah.

"Kemari saja, tidurlah lebih cepat dan bangun lebih cepat jika tidak aku akan meninggalkanmu," kata Roland. Imea lalu duduk di depan Roland seketika Roland mendekapnya dan memeluknya dari belakang. "Mas Ro... Roland," Imea terkejut. Namun Roland terdiam tidur. Imea menjadi tersenyum kecil lalu menutup matanya.

"Line..." Uminoke menatap Line yang menggendongnya di dada. Line berjalan menjauhi benteng itu. "Line... Ba-bagaimana bisa?"

"Karena aku sudah berjanji untuk melindungimu," kata Line. Uminoke menjadi tersenyum dan memeluknya membuat Line terdiam. "Apa yang terjadi denganmu?"

"Aku hanya senang bertemu denganmu," kata Uminoke dengan nada rintih. Kemudian dia menangis memeluk erat Line membuat Line tersenyum kecil.

"Lain kali aku harus bicara padamu bahwa dunia kiamat menjadikan orang-orang buruk termasuk lelaki yang awalnya baik," kata Line membuat Uminoke berwajah merah tanpa diketahui Line.

Kemudian mereka melihat ada apartemen lalu Line memasuki apartemen.

"... Kau yakin di sini aman?"

"Sepertinya begitu, kita istirahat di sini karena sudah sangat malam," Line menurunkan Uminoke lalu ia membuka pintu apartemen dan apartemen itu rupanya bersih tak ada orang.

"Fyuh... Akhirnya bisa tenang. Tapi apakah ini akan aman? Kita bahkan tidak sangat jauh dari benteng itu?"

"Untuk sementara saja... Aku akan keluar mengambil sesuatu, tetaplah di sini."

"Tunggu, jangan tinggalkan aku Line," Uminoke menahan tangan Line.

"... Jangan khawatir, aku akan kembali cepat," Line membelai rambutnya lalu berjalan keluar menutup pintu.

"... Uh... Line dasar, hmp..." Uminoke membuang muka lalu ia melihat kulkas di dapur. "(Mungkin ada makanan yang bisa kumasak,)" ia berjalan mendekat dan membuka kulkas itu. Rupanya kulkas itu berisi banyak makanan kaleng.

"Wuah... Ini enak untuk dimasak," Uminoke tersenyum senang. Di sisi lain, Line berhasil masuk ke bis tua yang ia hampiri sebelum ke benteng. Ia membuka bagasi atas dan mengambil tas berisi serum yang ia kumpulkan lalu kembali lagi ke apartemen Uminoke.

Imea perlahan membuka matanya dan terbangun di dinding kereta, ia melihat ke sekitar dan tak ada Roland, ia menjadi terkejut. "Mas Roland... Mas Roland," ia menjadi sedikit ketakutan sambil memanggil Roland dengan pelan.

"(Di... Di mana Mas Roland... Apa dia pergi meninggalkanku?)" Imea mulai gemetar ketakutan melihat di lorong kereta itu yang sangat gelap.

Bayang-bayang mulai menghantuinya membuatnya menghayal seperti ada suara zombie di sana yang bersiap muncul dari sisi gerbong yang gelap dan memakannya.

Tapi Roland memanggilnya dan menyadarkannya dari imajinasi anehnya itu.

"Imea," Roland memanggil sambil masuk ke kereta.

"Mas Roland...! (Syukurlah...)" seketika Imea memeluknya membuat Roland terdiam bingung.

"Ada apa, Imea?"

"Mas Roland, aku benar-benar takut, jangan tinggalkan aku sendiri," Imea menjadi menangis. Roland yang mendengar itu menjadi terdiam.

"(Padahal aku hanya meninggalkannya sebentar... Tapi aku tidak akan heran karena dia juga perempuan. Perempuan berhak memiliki rasa takut yang besar pada keselamatannya sendiri... Mungkin lebih baik lain kali aku akan mengatakan padanya dulu bahwa aku akan pergi sebentar.)... Jangan khawatir, aku hanya mencari bensin di belakang pintu kereta, karena sudah mendapatkannya kita akan kembali ke jalan tempat motorku berada."

"Ya," Imea mengangguk lalu mereka pergi dari kereta itu. Di jalan menuju jalan beraspal, mereka mendengar sesuatu dari arah belakang.

Imea awalnya menoleh ke belakang dan ia menjadi terkejut kaku dengan pandangan lurus.

"M... Mas Roland..." Imea menatap lalu menoleh ke belakang diikuti Roland. Mereka terkaku karena melihat ada zombie wanita berpakaian gaun pengantin putih datang berjalan mendekat.

"Mas Roland aku benar-benar takut!!" Imea menjadi bersembunyi di belakang Roland. Zombie itu tak sengaja melihat mereka dan berlari ke arah mereka. Dengan wajah mengerikannya, dia berlari dengan buas ke mereka.

"Lewat sini," Roland menarik tangan Imea dan berlari, lalu ia melihat ada pos penjagaan yang tinggi. "Imea naiklah."

"Ya," Imea mengangguk lalu naik duluan diikuti Roland. Zombie pengantin itu sudah sampai di bawah mereka dan akan memanjat, hal itu membuatnya mengguncang pos penjagaan itu.

"(Sialan... Hanya ini satu-satunya jalan yang ada...)" Roland meletakkan kotak bensin yang ia bawa tadi lalu mendapatkan papan kayu dari sana dan melempar papan kayu ke bawah dan mengenai zombie wanita itu hingga membuatnya terguling-guling jatuh.

"Fyuh... Baiklah Imea, ayo turun," Roland mengulur tangan. Namun Imea terpojok depresi dengan menutup wajahnya menunduk.

"Imea kau baik-baik saja?" Roland menurunkan tubuhnya dan menatapnya.

"Maafkan aku, aku hanya belum terbiasa dengan hal ini," kata Imea. Lalu Roland menjadi mengerti.

"(Kenapa dia menjadi ketakutan saat bersamaku... Apa dia takut aku tak bisa melindunginya... Atau karena jalan yang kita lewati selalu berbahaya...?)" Roland terdiam berpikir dan berkata sesuatu pada Imea. "Imea, bagaimana jika kau aku ajari bertarung?"

"Apa bertarung??? Tidak, aku tidak mau..." Imea menggeleng panik.

"Kenapa? Itu bisa melindungimu nanti, jika kau sudah pandai bertarung kau juga akan bisa mengendalikan rasa takutmu."

"Tapi... Aku tidak bisa," Imea merasa ragu-ragu sambil memandangi kedua telapak tangannya. Lalu Roland memegang kedua tangannya membuat Imea terkejut. "(M... Mas Roland... Memegang tanganku...)"

"Dengar Imea, aku akan senang jika kau bisa melindungi dirimu sendiri, jika kau sudah bisa melindungi dirimu sendiri maka kau juga akan bisa melindungiku nanti," kata Roland sambil mencium kedua tangan Imea membuatnya terdiam berwajah merah dan merasa lebih baik.

Next chapter