Jadi Line sekarang benar-benar terpisah dari jejak motor Roland yang membawa Imea.
Line sepertinya tidak punya rasa lelah dari tadi hanya berjalan. Namun ia merasakan di depan ada suatu benteng. Lalu ia mencoba mendekat perlahan dan memojokkan diri di dinding. Rupanya di depannya ada sebuah benteng yang tidak terlalu besar tempat penampungan orang-orang.
"(Itu....)" dia terdiam.
--
Sebelumnya Uminoke melihat sebuah kotak koper kecil hitam yang tergeletak rapi di meja sofa. Ia mendekat dan penasaran dengan isinya. Lalu Labis datang dan mendekat. "Apa Uminoke ingin melihat apa yang ada di dalam ini?"
"Eh... Memangnya apa isinya?"
Lalu Labis membukanya dan terlihat sebuah serum. Uminoke langsung terkejut. "Ini, se, serum."
"Ya, serum ini nomor 7 dari sepuluh serum lain untuk menyembuhkan kiamat ini."
"Apa Mas Labis yang membuatnya?"
"Ya, begitulah, aku dan para rekanku dulu membuat serum ini, meskipun beberapa kali gagal tapi hasilnya membuahkan senyuman untuk kita. Meskipun serum ini nomor 7 tapi tetaplah penting untuk menambahkan kombinan para serum."
". . . (Rekan?!) Bicara soal rekan, aku ingin keluar mencari semua teman-temanku."
"Apa kau yakin mereka selamat?"
"Aku sangat yakin, Mas Labis bisa tolong membantuku."
"Tentu saja, di gudang ada mobil, kita bisa gunakan sekarang."
"Hore, makasih Mas Labis," Uminoke sangat senang dan Labis tersenyum senang juga.
Mereka menuju ke tempat benteng tadi. Uminoke merasa bingung.
"Kita turun di sini dulu Uminoke, berharaplah teman-temanmu itu tertampung di sini," kata Labis sambil membukakan pintu untuknya. Lalu ia masuk membawa Uminoke. Sepertinya ada kemungkinan Uminoke bertemu Line di benteng itu.
-
Line melihat ada mobil yang rupanya mobil yang dikendarai Labis dan Uminoke tadi. Tapi ia masih belum tahu mobil siapa itu. "(Aku harus cari cara masuk, tapi sebelumnya serum ini harus kusembunyikan,)" ia memegangi tas kecil yang ia bawa sambil melihat sekitar. Lalu ia melihat ada bis rusak bekas tabrakan yang tak jauh dari pertigaan tadi. Ia masuk bis itu dan terlihat banyak sekali bercak darah. Tapi Line tidak peduli, ia menyimpan tasnya di atas tempat penyimpanan barang. "(Aku harap, serum ini bisa aman,)" ia menutupinya agar tidak ada yang menemukan serum itu, lalu ia keluar dari bis dan kembali ke benteng tadi. Ia sudah menyiapkan cara masuk yaitu menutupi mulut dan hidungnya dengan sebuah masker hitam.
"(Aku penasaran apa yang ada di dalam benteng itu, sepertinya tempat dari salah satu benteng perlindungan yang aman dari orang-orang yang belum terinfeksi, tapi kenapa aku merasa di sana ada banyak sekali makhluk infected itu... Apa benar di benteng itu milik militer, sepertinya iya,)" pikir Line, dia mencoba mencari cara untuk bisa masuk ke benteng itu.
Terlihat 2 orang berbaju tentara memegang senjata jenis senapan sedang berjaga di depan pintu benteng. Mereka menjadi waspada ketika ada orang muncul dari balik kabut depan mereka.
Line lah yang muncul, ia berjalan santai ke depan mereka yang masih menunjukkan ujung senapan padanya.
"Maafkan aku, kedatanganku mengganggu kalian. Aku kesini untuk mencari temanku yang ada di sini, siapa tahu dia ada di sini," kata Line.
"Bisa kau buka maskermu?"
"Maafkan aku, tapi aku punya bekas luka yang sangat parah di sini dan aku malu untuk menunjukannya."
"Oh... Baiklah kalau begitu, siapa nama temanmu itu?"
"Kalian akan tahu setelah aku ketemu nantinya."
"Biarkan saja dia masuk, kau antar saja dia aku akan berjaga di sini," tentara satunya berbisik pada kawannya.
"Baiklah, ikutlah denganku," tentara yang mengantar itu menuntun Line jalan masuknya.
Line melihat ke bawah dan ke atas, tempat itu sangat besar jika sudah masuk dari dalam.
"Ah, itu ketua," tentara yang menuntunnya melihat seseorang yang ternyata itu Labis sedang mengobrol dengan seorang gadis yang terlihat membelakangi mereka. Line terkejut ketika melihat Labis.
"Ketua... Maaf mengganggu ada seseorang yang ingin mencari rekannya di sini," tentara itu mendekat.
"Di mana dia?" Labis menatap bingung karena dia tak melihat siapa-siapa.
"Di sini.... Hah..." Tentara itu terkejut ketika Line tidak ada. "Tadi, dia ada di sini."
"Apa kau sedang mencoba bercanda denganku?" Labis menjadi menatap serius dan sedikit kesal.
"Ketua aku bisa bersumpah dia tadi ada di belakangku."
". . . Itu berarti dia penyusup, cepat kerahkan semua pasukan untuk mencarinya agar dia tidak membuat keributan," kata Labis.
"Siap," Tentara itu berlari pergi bergegas memanggil semua rekannya.
"Mas Labis, ada apa?" Uminoke menatap.
"Sepertinya ada penyusup, dia berani masuk tanpa kawalan, Uminoke istirahatlah dulu di kantorku, aku akan menghantarmu."
"Ya, terima kasih."
Sesampainya di kantor, Labis berdiri di depan pintu. "Uminoke, akan ada seseorang yang datang, orang itu akan mengajakmu untuk melihat setiap orang yang ada di tempat ini, mungkin seseorang di sini bisa jadi rekanmu yang terpisah."
"Ya, terima kasih Mas Labis," Uminoke mengangguk. Lalu Labis tersenyum senang dan berjalan pergi meninggalkannya. Selama menunggu orang yang dibicarakan Labis, Uminoke melihat ke sekitar kantor itu, ia melihat sebuah dokumen kecil yang ada di rak.
"(Dokumen itu terlihat sangat tersembunyi, apa ya... Yang ada di dalamnya... Boleh aku ambil kan?)" ia penasaran dan mengambilnya tapi ia ragu dan memastikan dengan melihat sekitar dan tak ada orang di sana, jadi dia bisa langsung mengambilnya. Dokumen itu berjudul "RIVAL."
Uminoke menjadi bingung lalu membukannya. Ia terkejut saat melihat foto Line yang memakai baju tentara yang sedang duduk di sebuah meja yang digunakan untuk siswa sekolah, foto itu sudah jelas diambil saat Line menoleh ke kamera dengan kebetulan. Dan anehnya rambut Line yang ada di foto itu berwarna perak sedangkan Line yang saat ini berambut hitam.
"Tentara, Line adalah tentara. Rupanya memang benar dia seorang tentara. (Kenapa rambutnya berwarna perak, dan dia terlihat sangat tampan... Tapi tidak kalah dengan yang sekarang sih... Tapi, kenapa dia ada di buku dokumen ini?)" Uminoke bingung tapi ada seseorang yang akan membuka pintu, Uminoke segera mengambil foto itu lalu mengantunginya dan meletakkan dokumen itu lagi ke tempatnya. Seorang lelaki membuka pintu dan menatap Uminoke. "Salam kenal, namaku Youn, aku yang akan mengantarmu berkeliling."
"E... Iya, mohon bantuannya," Uminoke menundukkan badan. Lalu dia ikut lelaki bernama Youn itu yang berpakaian baju tentara.
"Anu... Apa Mas Youn seorang tentara?" tatap Uminoke sambil berjalan di sampingnya mengikutinya.
"Aku dari militer, bertugas mengatur bersama kelompok ini yang dipimpin ketua Labis, kami dengan cepat membangun benteng ini saat tahu ada bahaya menyerang," balas Youn.
"Apa yang dilakukan mereka di sini?"
"Di sini kami merawat semua orang yang terkena luka, ngomong-ngomong bisa beritahu siapa nama rekanmu?"
"Ah, mereka Imea, Line, dan Roland," kata Uminoke. Tapi hal itu membuat Youn terdiam berpikir dengan serius.
". . . (Perasaan aku pernah mendengar nama itu. . . tapi di mana?)"
"Apa ada yang salah?" Uminoke menatap bingung.
"Hah... Tidak ada apa-apa, maafkan aku sepertinya nama-nama itu belum pernah ada di sini, mereka mungkin ada di luar sana."
"(Sudah kuduga, aku harap mereka baik-baik saja,)" Uminoke tampak khawatir.
Di tempat lain, Roland turun dari motor, tapi ia mendadak harus menangkap tubuh Imea yang pingsan. "(Sepertinya dia sudah sangat lelah,)" ia menggendongnya masuk, Tuan Rudi kebetulan lewat dan menyambutnya. "Siapa dia, apa dia orang yang kau maksud?"
"Bukan, dia Imea salah satu dari rekan-rekanku, jangan khawatir aku akan berusaha mencari Uminoke."
"Yah, sebaiknya kau bawa masuk sebelum dia kedinginan," kata Tuan Rudi. Lalu Roland membawanya masuk. "Dimana Nian?"
"Dia sedang tidur bersama istriku."
Lalu Roland mengerti dan masuk ke salah satu kamar dengan ruangan yang gelap tanpa lampu. Roland membaringkan Imea di ranjang itu tapi sepertinya ia menjadi terdiam ketika melihat wajah Imea yang masih tetap cantik ketika tertidur.
Roland membela pipi Imea. "(Kau bahkan masih bisa terlihat cantik ketika tertidur, padahal dulu kau sering diperlakukan buruk kan Imea... Sikapmu benar-benar patut dikatakan contoh yang baik karena kau berkembang dari perkataan orang lain,)" Roland tersenyum kecil lalu berdiri dan menyalakan saklar lampu tapi ia bingung karena saklarnya tidak membuat lampu menyala.
"(Mungkin memang terputus... Ini juga sudah tanggal 10 yang artinya 12 hari sudah berlalu dihitung dari mulai hujan pertama,)" dia berpikir seperti itu lalu berjalan keluar.
-
Tak lama kemudian, terlihat Imea membuka matanya. Ia ada di ruangan kasur yang kosong. Lalu Roland membuka pintu membawa minum hangat. "Oh, kau sudah bangun. Bagaimana perasaanmu?" ia mendekat.
"Aku hanya sedikit lelah, tapi sepertinya sudah hilang, terima kasih banyak Mas Roland," Imea membalas.
"Tidak masalah, setelah kau sembuh bisa kau bantu aku menemukan Uminoke."
"Kenapa hanya Mbak Uminoke?"
"Istri Tuan Rudi akan melahirkan sebentar lagi, hanya Uminoke yang tahu dan dapat membantunya nanti."
"Hm... Jika tidak salah, Mbak Uminoke akan bertemu dengan orang lain bukan sementara Mas Line akan mencari Mbak Uminoke terlebih dahulu."
"Kau benar, tepat seperti yang kupikirkan, aku akan pergi sekarang."
"Tunggu aku akan ikut."
"Tubuhmu masih lelah."
"Aku sudah sehat, aku ingin ikut Mas Roland," Imea berdiri.
Setelah itu mereka berdua keluar dari kamar. Nona Bertha sudah ada di sofa bersama Nian. "Yei, sudah pulang," Nian berteriak senang dan memeluk Roland.
". . . Mas Roland..!!" Imea terkejut ketika melihat itu. "K... Kau sudah punya putri?!"
"Apa?! Tidak, bukan!!" Roland menjadi terkejut.
"Huhuhu, Mas Roland kenapa kau tidak pernah bilang," Imea menjadi sedih.
"Tu,, Tunggu Imea, Nian bukan putriku," Roland menjadi panik.
"Ahahaha, anak muda... Iri rasanya," Nona Bertha tertawa kecil sendiri. Imea menjadi menatap Roland dengan polos.
"Dia Nian, gadis yang kutemukan saat kita berpisah," kata Roland.
"Kakak, apa kakak cantik ini pacarmu?" Nian menatap. Seketika Imea terkejut berwajah merah.
"Yeah... Sejauh ini kita berteman sangat-sangat dekat sekali," kata Roland sambil merangkul bahu Imea.
"(Mas Ro- Roland,)" Imea bertambah berwajah merah.