webnovel

Chapter 7 Lead The Way

Sebelumnya.... 

"Mas Line... Kita akan ke mana?"

"Ke stasiun Zama."

"Ha... Kenapa ke stasiun itu? Bukankah kereta terakhir yang ada di stasiun itu tadi akan menuju ke Kyoto?"

"Itu keretanya, bukan Uminoke... Aku sudah tahu kepribadian Uminoke. Dia akan lebih menyesal meninggalkan kita di sini meskipun aku yang mendorongnya ke kereta," kata Line, membuat Imea terdiam.

"(Apa Mas Line benar-benar bisa membaca pemikiran... Jika memang begitu, itu berarti dia hebat,)" pikirnya dengan serius.

Tak lama kemudian, Line berhenti karena melihat sebuah pagar besar yang menutup jalan, dan di balik pagar besar itu ada banyak sekali zombie.

"Sepertinya tidak ada jalan."

"Eh, di mana Mas Roland?" Imea melihat sekitar.

Tiba-tiba ada mobil Jeep yang melompat di atas mereka dan berhenti tepat di depan mereka, pengemudinya tidak lain adalah Roland.

"Hoi, cepat masuk," ia menatap dengan tatapan percaya dirinya.

"Waw, Mas Roland hebat," Imea terkesan.

"Kau akan lewat mana?" Line menatap biasa. Lalu Roland memberikan senapan padanya. Line menjadi bingung.

"Cari jalan untukku, aku mau dekat dengan gadis pemikat ini," Roland berbisik. Lalu Line tersenyum kecil dan menerima senapan itu. "Dengan senang hati, Imea, kau duduk di depan bersama Roland."

"Eh, apa, lalu Mas Line?"

"Aku tidak akan naik, kau akan aman berada di dalam."

"Tapi..."

"Sudahlah gadis, dia adalah PEMIMPIN," Roland menyela. Dengan ragu, Imea duduk di bangku samping Roland. Line menutup pintu dan Roland memundurkan mobilnya.

Di balik pagar, para zombie mencoba memasukkan tangan mereka ke sela-sela pagar dan pagar itu hampir roboh. Tapi tiba-tiba suara dari pagar besi di samping sebuah gedung mengalihkan perhatian mereka. Di sana ada Line yang rupanya membuat suara dengan memukul-mukul pelan pagar besi menggunakan senapannya. "Ayo kesini, dan makan aku, kalau bisa," ia menatap seperti haus darah. Tentu saja para zombie itu berjalan ke arahnya dan pagar di sisi barat telah agak kosong.

Roland segera memasukkan gigi mobil.

"M... Mas Roland, apa kau akan menerobos pagar ini?"

"Ya, kau tidak percaya?"

"Jangan, itu bahaya," Imea menyela, membuat Roland bingung.

"Pagar ini pasti dibuat oleh orang-orang profesional untuk melindungi daerah ini. Jika kau melubanginya, pastinya tidak akan ada keselamatan di sini."

"(Gadis ini terlalu peduli,)" Roland terkejut. Di tengah menerangkan dengan tangannya, Imea terkejut karena Roland memegang tangannya.

"M... Mas Roland?" ia terkejut dan sedikit bermuka merah.

"Kau lebih mementingkan orang lain, bukan? Sekarang yang lebih penting adalah diri kita sendiri. Jika kau mati karena menyelamatkan orang lain, belum tentu kau akan diingat oleh orang yang kau selamatkan. Jadi jangan pedulikan orang lain yang bukan urusan kita," kata Roland.

". . ." Imea mengangguk cepat, lalu Roland menginjak gas dan menerobos merusak pagar besar itu. Ia memberhentikan mobilnya untuk menunggu Line, tapi Line sama sekali belum datang dan kawanan zombie yang tadinya di selatan kini menghampiri mereka yang ada di barat jalan.

"Cih, di mana dia?" kata Roland.

"Mas Roland, apa yang kau tunggu?" Imea panik.

Roland melihat Line sudah tidak ada. Jadi dia menginjak gas menerobos beberapa zombie yang ada di depan.

Sebelumnya, saat kawanan zombie itu mengincar Line, ia tiba-tiba mendengar suara minta tolong yang sangat pelan dari dalam gedung. Ia segera berbalik dan mencoba masuk ke gedung, tapi gerbang pintu kaca gedung yang tebal itu terkunci. Apalagi kalau bukan Line yang memecahkan kaca itu dengan sekali pukul.

Ia kemudian masuk.

"(Suara itu tidak lagi terdengar,)" ia melihat sekitar sementara zombie-zombie itu sudah masuk dari pintu.

Line mengingat-ingat dari mana suara itu berasal. Lalu ia ingat bahwa suara itu berasal dari pintu lantai 2. Ia segera ke sana dan rupanya pintu itu terkunci dari dalam.

"Ada orang di sini?" kata Line. Di dalam ada seorang perempuan berlogat Iran.

"Hah... Syukurlah ada orang. Tolong aku, kakiku terkilir di sini," kata gadis itu.

Line segera mendobrak meja itu dengan sekali tendangan dan melihat gadis itu yang terduduk di lantai sambil memegangi kakinya yang terkilir.

"Apa kau baik-baik saja? Kau tidak tergigit kan?" Line mendekat.

"Ya, aku baik-baik saja dan tidak tergigit."

"Kalau begitu ulurkan tanganmu, aku akan membantumu keluar."

"Tapi, aku tidak bisa. Kakiku terkilir."

"Aku akan membawamu."

"Maaf... Kau lelaki tidak boleh menyentuhku," gadis itu menolak uluran Line.

Sementara zombie-zombie itu sudah masuk dan ada yang akan menyerang Line. Tapi ia menendangnya dan melawan mereka.

"Kau menghambatku," ia menoleh dengan rasa kesal. Seketika ia menggendong gadis itu dan terjun melewati jendela gedung lantai 2.

"Aaahh... Apa yang kau lakukan!!!!" gadis itu berteriak terkejut. Yang paling parah, di bawah ada sekumpulan zombie.

"Kyaaah, apa yang kau lakukan?" ia semakin berteriak.

"Diamlah, gadis menjengkelkan," Line membalas. Ia melemparnya melompati zombie-zombie itu.

"Ahhhh, aku takut!!! Tolong aku," ia terus berteriak. Untungnya pendaratannya ditangkap Roland yang sudah turun dari mobil. Tapi Line mendarat di tengah-tengah zombie itu.

"Line!!" Roland terkejut dan menjatuhkan gadis itu.

"Auw," ia terjatuh.

". . . Ah, maaf," Roland kembali mengangkatnya.

Suara tembakan muncul dari tengah-tengah zombie dan satu zombie terlempar lalu muncul Line. Ia muncul sambil membersihkan darah di bajunya.

"Cepat bawa gadis itu," ia menatap. Lalu mereka berlari ke arah mobil yang sedang diparkir.

Imea yang sudah ada di bangku kedua sedikit terkejut ada gadis yang dibawa Roland.

"Kita tak punya banyak waktu, cepat," kata Line sambil naik mobil dan menembaki para zombie yang mendekat dari arah belakang.

"Berisik lah, aku tahu itu," Roland membalas dan menginjak kemudinya. Mereka akhirnya bisa menjauh dari kawanan.

"Aku benar-benar berterima kasih pada kalian," kata gadis itu.

"Apa Mas Line yang menyelamatkanmu?" Imea menatap.

"Line?" gadis itu bingung.

Sementara di depan, Line menyobek baju lengannya karena terluka.

Roland yang melihat itu memberikannya perban yang ada di depan mobil.

"Apa kau tergigit?" ia menatap.

"Tidak, aku terkena kaca saat lompat dari jendela itu. Gadis itu benar-benar menghambatku."

Mendengar hal itu, gadis rambut pendek itu menangis.

"Apa, apa yang terjadi padamu?" Imea terkejut. Line dan Roland menoleh ke belakang.

"Aku benar-benar minta maaf, aku seharusnya tidak membuatmu menyelamatkanku."

". . . Mas Line, kau tidak boleh bicara begitu padanya," Imea menatap kesal.

"Aku tidak berkata apa-apa padanya. Itu memang kenyataan," Line membalas sambil menatap dingin. Imea agak bingung dengan sikap Line.

"Oh iya, namaku Imea dan Mas Line itu yang ini dan itu Mas Roland."

". . . Aku Kella, senang bertemu dengan kalian."

"Mbak Kella berasal dari mana?"

"Sebenarnya orang tuaku berasal dari Iran dan aku lahir di sana juga, cuma setelah lahir kami pindah ke sini," gadis bernama Kella itu membalas.

"Wah jauh juga ya."

"Tapi, aku ingin bertanya, kemana kalian akan pergi?"

"Kami akan ke stasiun Zama. Di sana ada orang yang harus dijemput Mas Line."

"Apa aku mengganggu?" Kella menatap.

"Tidak, kau tidak mengganggu, benar kan Mas Line?" Imea menatap.

"Ya, tidak," Line membalas sambil terus fokus ke depan dengan tatapan tajamnya.

Setelah beberapa menit, Roland menghentikan mobilnya di sebuah tempat pengisian bahan bakar.

"Tinggal 59 meter lagi itu stasiun Zama. Kau duluan saja ke sana bersama mereka," kata Roland.

"Aku akan meninggalkan gadis rambut pendek itu, karena kakinya butuh perawatanmu."

". . . Dari mana kau tahu begituan?"

". . ." Line meliriknya dan menatap tajam, membuat Roland kaget tak berkutik.

"Imea, ayo segera pergi," kata Line.

"Eh, bagaimana dengan Mbak Kella?"

"Dia akan bersama Roland," Line membalas.

"Mbak Kella, aku pergi dulu ya, jangan khawatir kau akan aman bersama Mas Roland."

"Baik, hati-hati di jalan," Kella mengangguk. Lalu Imea mengikuti Line pergi.

Dan begitulah bagaimana Line dan Imea bisa sampai di sana.

---

"Ouh, jadi begitu, ya," kata Mera.

"Ya, tapi kenapa mereka berdua tidak ke sini?"

". . . Mungkin sedang merawat Kella kan," Mera membalas.

Sementara itu di pengisian bahan bakar, Kella berteriak. "Aaahh!!"

Rupanya ia duduk di garda mobil dengan Roland yang mengobati kakinya yang terkilir.

"Mas Roland, apa tidak bisa hati-hati?" kata Kella.

"Mengobati kaki terkilir itu memang harus cepat. Kau jangan berteriak terus, akan memancing makhluk penggigit nantinya."

Tapi saat Kella melihat ke belakang Roland, ia terkejut dan gemetar sambil memegang bahu Roland.

"Kenapa?" ia menatap.

Dengan takutnya, Kella menunjuk ke belakangnya yang ternyata ada banyak sekali zombie mengepung mereka. "Habislah." Roland terkejut sekaligus terpucat.

---

"Line, apa kau benar-benar tidak terluka? Kenapa dengan tanganmu?"

"Itu sedikit luka saat menyelamatkan gadis Iran itu."

"Gadis Iran?"

"Sepertinya mereka belum datang," kata Line, tapi tiba-tiba suara ledakan mengarah ke pengisian bensin. Sepertinya tempat itu meledak.

"Hah, apa yang terjadi?" Uminoke terkejut.

"Tetaplah di sini," Line berlari meninggalkannya.

"Line," Uminoke terkejut.

Sebelumnya, para zombie sudah akan memangsa mereka saat Roland akan menarik pelatuk senapannya, ia terhenti dan melihat ada korek api menyala terlempar ke pengisian.

"Cepat pergi!!" ia menarik tangan Kella melompat dan menunduk seketika pengisian bahan bakar itu meledak dengan sangat besar menghancurkan sebagian para zombie.

"Aduh, astaga," Kella terbangun dan terkejut melihat tubuh-tubuh sebagian zombie itu hancur. Tapi sebagian lagi akan menyerang mereka. Roland terbangun dan menembaki mereka yang mendekat dengan pistol. Tapi tiba-tiba pelurunya habis.

Untungnya Line melesat dan berhenti di depan mereka, ia membawa dua pisau di tangannya.

"Bertarunglah seperti pahlawan, kau tukang panik," Line melemparkan pisau yang diterima Roland. Ia tersenyum memperlihatkan gigi-giginya dan mereka menghabisi para zombie hanya dengan pisau.

Kella yang melihat itu menjadi terkagum-kagum.

15 menit berlalu, mereka berdiri lemas sambil bernapas berat dan menjatuhkan pisau penuh darah itu lalu melakukan tos tangan dan tersenyum.

"Aku seperti nostalgia," kata Roland.

"Ini akan terulang lagi, mantan rivalku," Line membalas. Mereka sudah mengalahkan semua zombie.

Roland terdiam mendengar itu. Ia lalu mengambil pisau yang ia lempar tadi, menatapnya dengan diam, lalu menoleh ke Line yang mengusap keringatnya dengan bajunya.

"Line, kenapa kau menggunakan pisau? Bukankah kau dulu menggunakan sebuah pedang?" Roland menatap.

". . . Kenapa bahas itu? Bukankah kau tahu sendiri pedangku ketinggalan ketika aku kabur?"

"Bagaimana jika aku membawanya untukmu? Apa kau akan kembali seperti dulu?"

"Mustahil kau bisa memberikanku pedang milikku sendiri," Line menyela. Entah apa yang mereka bicarakan.

Next chapter