Esok paginya di tempat yang sama, Line masih tertidur di sofa. Uminoke keluar dari kamar mandi, ia selesai mandi pagi.
"(Hm... Baju yang ku pakai ini rasanya berbau darah dan kotor, sepertinya aku harus berganti mungkin meminjam yah...)" Uminoke mencari baju di lemari kamar milik orang yang punya rumah.
Selesai berganti pakaian, ia menutup lemari dan mendadak mendengar sesuatu seperti napas dalam dari sebuah pintu gudang di kamar itu.
"(Astaga apa itu... Aku... Aku terkejut... Bagaimana jika makhluk itu... Tapi aku takut, tapi aku juga penasaran, aku akan melihatnya sedikit saja,)" ia bingung dengan suara itu, karena penasaran ia berjalan ke pintu gudang itu dan memegang gagang pintu akan membukanya.
Uminoke membukanya pelan-pelan, yang ia lihat hanyalah kegelapan. Tapi tiba-tiba satu zombie muncul menerkamnya.
"Aaaaahhhh!!!" Uminoke langsung terkejut dan berteriak sangat keras membuat Line yang ada di tempatnya menjadi ikut terkejut dari tidurnya karena teriakan itu.
Uminoke mencoba menahan tubuh zombie itu dengan tangannya, sementara zombie itu terus memaksa akan menggigitnya. Ia sudah tidak kuat lagi. "Aku, tidak kuat. Tolong aku.... Tolong..."
Tapi anehnya, secara tiba tiba zombie itu berhenti meronta untuk menyerang Uminoke dan langsung terjatuh ke bawah. Uminoke melihat Line yang sudah menyelamatkannya dengan menusuk kepala zombie itu dari belakang.
Uminoke terdiam perlahan meneteskan air mata.
"Hiks, hiks, aku benar-benar takut, aku tidak ingin hidup dengan ketakutan," Uminoke menangis di depan Line.
"Haizz, aku tahu kau ketakutan tapi kau harus tetap bisa kuat untuk hidup."
"Aku tak bisa!!!" Uminoke membentak dan langsung berlari dari hadapannya.
"Hoi, kau mau kemana?" Line terkejut. Uminoke akan membuka pintu rumah. Dan betapa terkejutnya dia, para zombie yang sangat banyak sudah mengepung rumah itu. Karena ada di depan pintu, Uminoke akan digigit. Dengan cepat Line mendorongnya, mereka berguling-guling hingga berakhir punggung Line yang menabrak tembok.
"Uuhh," ia terkejut kesakitan.
"Hah, kau baik-baik saja?!" Uminoke menatap.
"Ya, aku baik-baik saja," Line membalas, tapi para zombie itu berjalan ke mereka.
"Line cepat bangunlah, mereka akan mendekat," Uminoke panik. Sementara Line mencoba bangun sambil memegangi punggungnya.
"Ayo cepat," ia menarik lengan Uminoke ke dalam rumah itu, tapi mereka harus keluar lewat balkon lantai 2. "(Aku tak bisa,)" Line berbatin sambil melihat ke bawah.
"Mereka mendekat!!" kata Uminoke.
Line terdiam mengumpulkan niat dan menggendong Uminoke lalu terjun dengan cepat. Bukannya mendarat dengan sempurna, mereka malah jatuh terguling-guling. Line lah yang paling parah jatuh.
"Uhh, ah sakit, Line, Line...." Uminoke mencoba berdiri dan terkejut melihat Line yang tidak bangun terbaring di jalanan membelakangi nya.
"Line... Line, katakan padaku kalau kau masih hidup, Line," ia mencoba membangunkannya tapi Line sama sekali tidak bangun.
"Huhu, Line, aku mohon bangunlah, kau sudah janji ingin mengantarku. Jika kau bangun aku janji tidak akan membuka pintu itu lagi... (Aku mohon jangan mati Line,)" Uminoke menangis merengek dengan lucu.
Tiba-tiba terdengar suara Line tertawa kecil. "Pft hahahaha aku hanya bercanda, dasar kau gadis bodoh," Line terbangun dengan tawanya.
"Line, kau masih hidup!" Uminoke senang.
"Tentu saja, aku kan sudah berjanji padamu."
"Line," Uminoke tersenyum. Tapi kebahagiaan itu dihancurkan oleh kawanan zombie yang berjalan ke mereka.
"Hah, mereka menemukan kita!"
"Cepat masuk ke mobil itu," Line menunjuk mobil merah di ujung komplek.
"Apa, apa kau ingin membajak mobil itu?!"
"Ikut saja cepat," Line menarik Uminoke. Mereka berdua segera masuk ke mobil. Line menyambungkan kabel kemudi tanpa kunci. Dia bisa mengambil mobil itu lalu mengendarainya pergi. Alhasil mereka berhasil menjauh dari kawanan zombie itu.
"Huf, wahhhh, bagaimana kau bisa melakukannya, itu sangat hebat tapi itu mencuri," kata Uminoke.
"Biasa saja, oh ngomong-ngomong, apa kau merasa lapar?"
". . . Em, ya, karena kau mengatakannya begitu. Perutku jadi lapar."
"Kalau begitu berhenti di mini market," Line membelokkan kemudi dan langsung terparkir mobilnya secara paralel. Uminoke menjadi terdiam terpelongoh melihatnya.
"Sekarang, ambil sesukamu."
"Apa itu juga mencuri, aku tidak mau mencuri."
"Haizz... Dunia ini sudah kiamat, memangnya kau mau membayar pada siapa?"
"Em, tapi aku masih takut bagaimana jika ada zombie lain yang langsung menerkamku."
"Bilang saja mau ku temani," Line menyela lalu keluar mobil. Saat keluar mobil mereka mendengar suara dari jalan.
"To-tolong tolong aku..." kata suara itu. Terlihat di kiri jalan ada gadis yang lemas berlari dikejar satu zombie wanita.
"Hah, Line... Selamatkan dia," kata Uminoke dengan panik.
Line berjalan ke tengah jalan lalu gadis itu berhenti dengan ketakutan.
"Menunduk," kata Line, gadis itu menunduk seketika zombie wanita yang ada di belakangnya tumbang begitu saja.
Gadis itu menoleh ke belakang dan melihat zombie wanita itu mati dengan tembakan peluru di kepalanya.
"Te-terima kasih," ia berdiri dengan lemas.
"Apa kau baik-baik saja?" Uminoke mendekat.
"Ti... Tidak," gadis yang terlihat hampir sebaya dengan Uminoke itu menjawab dengan lemas dan mendadak pingsan. Line segera menangkap tubuh gadis itu.
"Apa yang terjadi?" Uminoke menjadi terkejut.
"Dia sepertinya kelelahan."
---
Gadis itu bermimpi ia saat itu ada di kamar dan mendengar suara ibunya berteriak dari luar kamar. Ia membuka dan seketika seekor zombie wanita memakannya dari balik pintu tersebut.
Mimpi itu membuatnya bangun dengan terkejut. Ia melihat sekitar, ia ada di sebuah sofa rumah. Di samping sofa satunya ada Line yang duduk sambil tertidur. Gadis itu menatap sekitar yang gelap.
"(Dimana aku... Siapa lelaki itu... Jangan-jangan dia menculikku.)"
"Kau sudah bangun," kata Line. Gadis itu terkejut karena Line pura-pura tidur.
"Apa aku sudah mati, kau siapa?"
"Aku Line, ingat yang menyelamatkanmu, sepertinya kau punya mimpi yang menarik," Line menatapnya dengan wajah sedikit licik.
"Kau tahu mimpiku?"
"Tentu saja, zombie yang mengejar mu itu ibumu kan, aku harus minta maaf karena membunuhnya."
"Ti, tidak, dia bukan ibuku. Benar-benar berbeda dari ibuku, entahlah maksudku saat aku terbangun dunia ini sudah menjadi mengerikan, aku berlari dan terus berlari sampai bertemu ibuku yang sudah mati itu."
"Hei, apa kau sudah bangun?" Uminoke menghampiri mereka.
"Siapa kau?"
"Aku Uminoke dan dia Line, kau sendiri?"
"Aku Imea, senang bertemu dengan kalian, aku benar-benar berterima kasih."
"Jangan khawatir, kau aman selama berada pada Line."
"Mas Line, terima kasih banyak, tapi aku sepertinya mengganggu kalian."
". . . Apa maksudmu?!" Uminoke terkejut.
"Em, bukankah kalian sepasang kekasih?"
"Line bukan kekasihku," Uminoke menyela. Line hanya menatap biasa dan berdiri lalu pergi.
"Mas Line, jika Mas Line bukan kekasihmu, bagaimana kau kenal dia?"
". . . Ba bagaimana ya... Aku juga bingung," Uminoke berpikir sendiri. Mereka menjadi mengobrol dan sepertinya tipe wanita itu begitu lembut.
Sementara itu Line melihat dari balkon atas rumah tadi. Ia melihat zombie-zombie berkeliaran di kompleks itu. Tapi untungnya mereka hanya satu-satu bukan berkelompok.
"(Aku benar-benar tidak menyangka akan secepat ini mereka menyebar begitu saja,)" ia mengambil ponsel dari sakunya dan menyalakannya. Melihat masih ada sinyal. "(Masih ada sinyal dan listrik karena kejadian ini juga baru saja,)" ia terdiam menatap langit lalu menghela napas panjang.
"(Cih, menyebalkan... Aku harus cepat-cepat menemukan situs serum itu, ini benar-benar kecelakaan yang berbahaya,)" ia berbatin dengan rasa kesal.
Lalu ia berjalan ke mereka yang sedang mengobrol.
"Sebaiknya kita berangkat sekarang, sebelum akses di seluruh tempat mati dan jalan tertutup."
"Kemana kita akan pergi?" Imea menatap.
"Kita akan ke stasiun, menggunakan kereta, aku akan pergi ke Kyoto untuk menjemput kakak."
"Mbak Uminoke punya kakak di sana?"
"Ya... Aku harus menyelamatkannya."
"Tapi Kyoto itu jauh, belum tentu juga aman kan?"
"Tapi aku ingin menjemput Kachi," Uminoke menatap khawatir.
Lalu Line mendekat pada Imea dan berbisik. "Aku sudah memberitahunya beberapa kali tapi dia tidak mau dengar," kata Line membuat Imea terdiam.
"Hei... Aku bisa dengar itu!!" Uminoke melempar Line dengan botol minuman.
"Uakhh..." Line menjadi tertumbang.
"Baiklah kalau begitu, aku ingin ikut kalian."
"Beneran... Hmm, makasih Imea," Uminoke menatap senang.
"Tapi bagaimana jika agak nanti saja?" tanya Imea.
"Eh... Kenapa?"
"Aku masih harus menggunakan kamar mandi, apa mbak Uminoke tidak butuh mandi?"
"Aku sudah mandi pagi tadi... Kau mandilah dulu kalau begitu, aku akan mencarikan baju," kata Uminoke.
"Ya... Baiklah, terima kasih," Imea mengangguk lalu berjalan ke kamar mandi.
"Beneran kah... Nanti ada makhluk itu lagi muncul dari lemarimu," tanya Line sambil menakuti Uminoke.
"Apaan sih... Jangan begitu..." Uminoke mencueki-nya dan langsung masuk ke kamar mencari baju.
Sementara Line menyalakan televisi dan televisi itu benar-benar menyala.
"(Sepertinya ini masih putus nyambung,)" ia memindah channel tapi di mana-mana ada banyak berita seperti itu.
Uminoke datang dengan menatap ke televisi melihat siaran langsung yang sedang merekam bahaya di luar.
Di sana seorang pemegang kamera merekam banyaknya orang buas yang menjadi kanibal menyerang semua manusia dan membuat tragedi kebakaran dan ledakan di sana.
Di akhir siaran dia tergigit salah satu zombie itu.
Uminoke yang menatap dari tadi menjadi terkejut dan terkaku. "Di... Di mana itu tadi?"
"Itu di Kyoto, aku sudah bilang bukan di luar terlalu buas sekarang," kata Line.
"Tapi aku ingin... Kachi."
"Haiz... Baiklah... Aku akan menyiapkan kendaraan," Line menyerah dengan keras kepala Uminoke lalu pergi ke garasi.
Di garasi rumah tersebut ada sebuah mobil. Line mengendarai mobil itu, Uminoke duduk di samping Imea yang ada di bangku tengah.
"Mas Line, bagaimana kau tahu isi mimpiku waktu itu?" Imea menatap.
"Gampang saja, itu bisa dilihat dari ekspresi wajahmu," Line membalas sambil terus fokus mengemudi.
Uminoke yang mendengar itu mulai curiga pada Line. "(Sebenarnya siapa Line ini... Kenapa dia juga tahu ekspresi seseorang, jangan-jangan dia benar-benar bisa membaca ekspresi orang... Apa dia seorang psikolog?)" dia terdiam berpikir.