"Ahh, hari ini sangat melelahkan." batin Riski yang merebahkan tubuhnya di lantai.
Riski ingin memejamkan matanya, tapi entah kenapa ia terus berpikir yang membuatnya tak bisa tidur. Padahal jam baru menunjukkan pukul 7 malam, Riski sangat mengantuk, capek, tubuhnya seolah tak ingin bergerak kemana-mana lagi.
Tiba-tiba ada suara motor dari luar, "Ada siapa lagi sihh. Ya elah, gue mau tidurr." batin Riski kesal.
Tapi kekesalannya sirna begitu saja ketika melihay ternyata Joko yang membawa motor itu.
Setelah memarkirkan motor, Joko langsung ingin menemui Riski. Karena motor itu juga hadiah buat Riski.
"Riskiiiii." teriak Joko sangat kencang, sehingga semua orang yang berada di rumah dengar. Ya meskipun hanya ada Sastro, Rudy, dan juga Riski sendiri.
Sastro keluar terlebih dahulu dari kamarnya, "Kenapa sih teriak-teriak? Nggak bisa omong dengan baik? Kayak ada apa aja." ucap Sastro sedikit kesal, "Adikmu lagi capek, dia dari pagi tadi beli buat usahanya." lanjutnya.
"Gue yakin, habis ini capeknya hilang." kata Joko santai. Joko sendiri jarang sekali di marahi oleh Sastro, entah karena anak pertama atau alasan lain.
"Emangnya kenapa?" tanya Riski yang tiba-tiba.
"Sini keluar." Joko mengajak Riski keluar untuk melihat motor barunya.
Riski menurut dengan perkataan Joko, di belakang Riski, Sastro membuntuti.
"Nih, motornya buat lo. Buat usaha dan sekolah lo nantinya. Gue denger usaha lo pake motor kan? Buat antar sayurnya?" kata Joko tersenyum mengembang. Joko mengetahui usaha Riski memakai motor dari temannya, karena istri temannya mendapatkan kartu nama sore tadi.
Riski juga tersenyum bahagia, ia tersenyum sangat lebar. Di ikuti tangis haru juga, "Makasih kak. Lo tau darimana kalo usaha gue pake motor?"
Sastro dibelakang hanya bisa menutupi mulutnya, air matanya tiba-tiba juga menetes, "Alhamdulillah ya allah. Bisa membuat keluarga kecilku ini saling mendukung, rela mengorbankan keinginannya terlebih dahulu untuk membantu adiknya." batin Sastro. Hatinya sangat sedih, dan juga kagum. Untung saja ia mempunyai anak yang mengerti akan keadaannya saat ini, keadaan yang tak memungkinkan lagi untuk hidup. Bahkan Sastro pernah juga ingin bunuh diri dengan memakan obat yang banyak, tetapi langkah itu dicegah oleh Joko dan yang lainnya. Sastro saat itu benar-benar hancur, tapi kali ini dengan perlahan mencoba membangkitkan semangatnya lagi.
"Gue tau dari si Andri. Udah lo pake aja motornya, gue doain usaha lo lancar dan untung banyak." ujar Joko mendoakan adiknya tercinta.
"Lo harus bisa bagi waktu lo, untuk usaha dan juga untuk sekolah lo. Gue nggak mau beliin motor ini malah buat lo jadi kesusahan, karena motor sendiri kan fungsinya buat memudahkan. Lo harus rajin di sekolah, dengarkan guru lo, dan kerjain tugas lo. Oh iya, yang penting dari SMK adalah yang penting lo masuk aja. Jangan sampai bolos sekolah, karena pergaulan SMK itu beda. Lo harus bisa mencari teman yang bisa membuat lo tumbuh." nasihat Joko panjang lebar. Joko sangat khawatir dengan adiknya ini, karena di usia yang saat ini Riski belum mengetahui apa-apa tentang dunia kerja maupun usaha. Ya, meskipun pernah bekerja sama Widya, tapi itu belum cukup.
"Iyaa.." Riski menunduk, ia menunduk karena benar-benar takut sama Joko. Nasihatnya selalu bagus, karena dahulu Joko tentu sudah mengalaminya.
"Terus satu hal lagi, ini benar-benar penting. Lo harus bisa catat pengeluaran dan juga pendapatan, bedain. Agar lo tau, lo untung berapa hari ini dan hari selanjutnya. Kalo lo mau pake uang dari usaha lo, ambil yang untungnya. Sisanya tentu buat modal lagi, jangan sampai ambil uang modal kalo nggak terpaksa banget. Kalo lo ambil uang itu, dan untuk keesokan harinya lo mau usaha apa?" jelas Joko, ia mengetahui ini juga karena dahulu sehabis lulus SMA, Joko pernah merasakan kerja di sebuah warnet. Dan ia disuruh juga untuk menulis pemasukan dan pengeluaran di sana. Tujuannya adalah agar mengetahui dan agar usaha itu terus berjalan.
Riski hanya mengangguk mengerti, dan ia mencoba mengingat perkataan Joko.
Joko menepuk pundak Riski, "Kalo lo butuh apa-apa, jangan ragu buat nyuruh gue ataupun ibu. Si Rudy juga ada kalo memang dia lagi senggang. Okey? Jangan ragu, kita ini keluarga." kata Joko. Joko terus menerus menyakinkan Riski, dan menyemangatinya.
"Dengerin apa kata kakakmu, itu semua di ingat-ingat. Kamu nggak sendirian di sini, nanti ibu juga bisa bantu sedikit-sedikit." ucap Sastro yang ikut menasehati. Karena besok merupakan pembuktian Riski, pembuktian seorang yang ingin sukses tanpa harta orang tua.
Riski tak kuat menahan air matanya untuk tak keluar. Cairan bening itu menetes dengan deras di pipinya, ini merupakan kesedihan kebahagiaan.
"Udah jangan nangis. Sekarang lo tidur, dan besok pagi harus bangun lebih awal, kan?" perintah Joko.
Handphone Riski berbunyi, membuyarkan semua obrolan ini. Riski langsung masuk kedalam dan mengambil handphonenya, padahal baru saja ia memiliki handphone, siapa yang menghubunginya?
Nomor tak di kenal.
"Haloo?"
"Ini nomor kamu yang jual sayur itu ya?"
Suara kakek tua, Riski sangat mengenalinya. Seorang yang telah membeli semua sayurannya.
"Iyaa, kek. Tadi kesana, tapi nggak ada orangnya."
"Iya, ini nemu kartu nama kamu di lantai. Udah mulai jualan lagi ya? Yaudah besok kirim sayur semua yang ada yaa, karena ada pesanan banyak."
Riski terlonjak kaget mendengar itu, "Semuanya? Serius? Nggak lagi bohong, kan?" tanya Riski memastikan.
"Serius, besok anterin pagi yaa. Jam 7 harus udah sampai sini, bisa?"
Riski mengangguk cepat, "Bisaa, bisaa. Sangat bisa. Makasih kek, makasih banyak."
"Yaudah, besok yaa." lalu kakek itu mematikan telfonnya.
"Ada apa? Lo beli handphone yaa?" tanya Joko dan Sastro yang juga melihat kejadian itu, wajah Riski yang tadi penuh air mata sekarang bisa tersenyum mengembang lagi.
"Langganan dulu sewaktu kerja sama bu Widya, besok minta di kirim sayur semuanya yang ada di sini." kata Riski penuh semangat, "Iyaa, gue beli handphone kak. Karena memang buat usaha ini, memudahkan juga buat komunikasinya. Seperti ini tadi." lanjut Riski.
Sastro ikut tersenyum bahagia, "Besok anterin jam berapa? Kamu kan harus packing terlebih dahulu, kan?"
Riski mengkerutkan keningnya, "Disuruh anter sampai sana jam 7, bu. Jadi mungkin jam 5 sudah harus packing, apalagi semuanya. Riski nggak mau bikin kakek ini kecewa, soalnya dulu juga pernah membeli semuanya kayak ini." jelas Riski.
Sasteo dan Joko mengangguk mengerti.
"Yaudah, sekarang lo tidur. Besok gue sama ibu akan bantuin lo untuk packingnya. Tenang aja, biar lo lebih cepat juga." perintah Joko.
Lalu Riski langsung menuju tempat tidurnya lagi.
Setelah melihat Riski sudah tak ada, "Dia semangat banget ya, bu. Semoga aja selalu laris sayurannya." kata Joko lirih.
"Aamiin." balas Sastro.