Riski sudah mendapatkan handphone yang sesuai dengan budgetnya, tentunya di bantu oleh Ardhi.
"Gimana handphone lo? Masih bagus, kan?" tanya Ardhi. Sebenarnya Ardhi membohongi Riski masalah harga. Ardhi menambahkan uangnya ke penjual handphone tanpa sepengetahuan Riski. Ardhi ingin membantu, ya meskipun tidak banyak tapi semoga bisa bermanfaat. Ada alasan lain, yaitu Ardhi ingin handphone yang di bawa Riski tidak gampang rusak, bisa juga di buat media promosi usahanya.
"Bagus banget ini mah, lo pintar banget nyari yang model begini, Ar. Sumpah gue seneng banget, akhirnya bisa membeli apa yang gue inginkan dari kerja keras gue sendiri. Semoga kedepan bisa membeli yang gue inginkan lainnya." gembira Riski, ia benar-benar sangat happy.
"Sipp, apalagi yang mau lo beli kali ini? Sekalian aja sama gue. Gue juga nggak ada kegiatan di rumah." ucap Ardhi dengan memakan kacang.
"Oh iya, lo bisa gunakan handphone itu untuk media promosi lo. Misalnya di facebook, ntar gue juga bantuin deh." sambung Ardhi.
"Tapi gue belum punya facebook, dan gak paham sama sekali, Ar. Gimana cara buatnya? Kayak gimana sih?"
"Jadi, lo ntar orang bisa di lihat jualan lo disana. Lo promosiin aja di facebook itu. Ntar gue ajarin caranya. Btw, lo habis ini mau beli apa?" ucap Ardhi santai.
Sekarang mereka berdua berada di depan minimarket. Karena sehabis membeli handphone, Ardhi ingin membeli sebuah camilan dan minuman.
"Gue mau beli wrap, Ar. Tapi gue gak tahu tempatnya dimana?" jawab Riski, ia juga sedang memakan kacang bersama Ardhi.
"Wrap?" tanya Ardhi bingung.
Riski membuka botol minumnya, "Iyaa, buat kemasan sayurnya. Tinggal itu aja sih yang belum kebeli."
"Yakin itu aja?"
Riski meneguk minumnya, mengobati rasa hausnya setelah melakukan perjalanan yang lumayan.
"Barang yang lainnya sih udah ada, gampang-gampang juga. Kayak gunting, pisau, solasi. Itu aja sih, buat wadahnya gue juga udah punya." jawab Riski. Dan wadah yang di maksudkan adalah wadah/tatakan tempat sayurnya.
"Coba kayak gimana sih wrap. Gue browsing dulu." Ardhi mengeluarkan handphonenya, tetapi sudah dicegah oleh Riski. Karena Riski sudah browsing terlebih dahulu menggunakan handphone barunya. Meskipun belinya bekas, tapi masih terlihat seperti baru.
"Nihh." Riski menjulurkan tangan beserta handphonenya.
Ardhi mengamatinya dengan teliti, "Kayak plastik gitu ya?"
"Iyaa, tapi bisa lengket gitu."
"Ohh, gue tau. Kayak di toko buah ini mah, biasanya buat bungkus anggur." tukas Ardhi.
"Yaa, betul. Lo tau dimana belinya?"
"Coba aja ke toko plastik. Kan emang plastik, tapi kayaknya nggak semua toko plastik ada. Kita ke toko plastik yang besar aja." Ardhi lalu berdiri, tak lupa ia membuang kulit kacangnya ke tong sampah.
Riski juga ikut membersihkan kulit kacangnya, lalu juga membuangnya ke tong sampah. Karena minuman mereka berdua masih ada, jadi Riski juga terburu-buru menghabiskannya.
Ardhi sudah siap dengan motornya, disusul Riski yang baru saja menghabiskan minummya, "Udahh, gas." kata Riski.
Ardhi langsung menancapkan gas motornya dengan pelan. Karena cuaca hari ini sangat terik, matahari terasa menyengat ke kulit tangan dan kaki.
"Panasss banget aslii. Bikin gue item." keluh Ardhi saat berada di lampu merah. Ardhi berhenti di tempat yang teduh, di bawah pohon yang besar.
"Gak boleh mengeluh, Ar. Ingat, matahari itu ciptaan Allah. Siapa tau ada yang memanfaatkan panas matahari dengan menjemur pakaian, kerupuk, batu-bata. Selalu ada rejeki di setiap cuaca, jadi bersyukur aja." jelas Riski menceramahi layaknya ustads.
"Tapi emang panas sih." sambung Riski.
"Yeee, udah ceramah panjang tapi lo sendiri juga ngeluh. Gimana sih." ketus Ardhi bingung.
"Itu bukan ngeluh, kalo ngeluh mah kayak lo.Gue cuman bilang kalo panas doang." alibi Riski, ia tak mau kalah.
"Iya-iyaa, terserah lo deh."
Lampu sudah hijau, Ardhi melanjutkan kembali perjalanannya. Dan Riski di belakang hanya menengok kanan dan kirinya.
15 menit berlalu. Ardhi dan Riski sudah sampai di toko plastik terbesar di kota ini.
"Lo tau darimana ada toko plastik yang besar kayak gini, Ar?" tanya Riski, sebab ia belum mengetahui ada toko sebesar ini.
"Tau dongg, udah lo cepet tanya aja. Kayaknya sih pasti ada." perintah Ardhi. Dan Ardhi hanya menunggu di motor
"Oke." Riski berjalan menuju toko itu.
"Mau beli apa mas?" tanya penjaga toko itu ramah.
"Mau beli wrap, ada?"
"Wrap? Oh ada, mau ukuran yang seberapa. Dan mau yang bagus atau murah." jelas penjaga itu ramah. Penjaga itu terlihat masih muda, Riski sempat tertarik padanya. Tapi, ia sadar diri kalo Riski tak pantas mendapatkan cinta dari lawan jenis. Ah sudahlah, Riski memang gampang insecure masalah wajah.
"Bisa lihat contohnya dulu, mbak?" tanya Riski. Karena sebelumnya ia tak pernah membeli wrap.
"Bentar yaa." penjaga itu mengambilkan wrap yang macam-macam, total ada 3 macam harga dan 2 ukuran.
Karena Riski menunggu wrapnya, ia melihat Ardhi dan memberikan simbol menganggukan kepalanya bahwa wrap yang ia maksudkan ada di sini.
Ardhi hanya mengangguk kecil.
"Ini mas. yang paling kiri yang murah, dan paling kanan yang mahal."
Riski meraba-raba wrap itu, "Perbedaannya apa ya, mbak?"
"Kalo yang mahal ini bisa muat yang lebih berat sih, mas. Karena, lebih tebal dan juga lebih lentur." jelasnya dengan tenang.
Riski mengangguk mengerti, ya memang sudah jelas dari harganya. Ada harga, ada kualitas.
"Emang mau di buat apa, mas?" tanya penjaga itu yang bernama Maharani.
"Mau di buat bungkus sayuran sih, mbak. Dan buah juga, kalo itu enaknya yang mana ya?" Riski menanyakannya, karena memang ia tak paham akan hal ini. Dan sedikit basa-basi ke Maharani.
"Kalo saran aku yang tengah aja, mas. Karena tidak terlalu tipis juga, sayur kan nanti ada yang berat semacam tomat?" Maharani memberikan sebuah perumpamaan.
Riski mengernyitkan keningnya, "Benar juga. Yaudah ambil yang tengah aja ya, mbak."
"Yaudah, bayarnya ke kasir ya mas."
Riski langsung menuju ke kasir, dan membayar wrap tersebut.
Setelah mendapatkan wrap, Riski berjalan kbali ke arah Ardhi, "Udah ada, Ar."
Ardhi mengambil sesuatu yang di tangan Riski, dan melihat wrap itu seperti apa. "Plastik kayak gini bisa lengket ya?" tanyanya sambil meraba-raba.
"Bisa, ntar aja deh sampai rumah. Gue kasih contoh cara pemakaiannya. Btw, makasih yaa, Ar. Udah nganterin gue ke berbagai tempat. Udah bantuin gue banyak bangett."
Ardhi menepuk pundak Riski, "Udah santai aja, bro. Lo harus semangat usaha lo, jangan sampai nyerah. Kalo nyerah, gue nyesel bantuin lo. Kalo lo nggak nyerah, gue bangga atas kerja keras lo." kata Ardhi penuh penekanan membuat Riski hatinya semakin kuat dengan usahanya kali ini.