webnovel

Sebuah Kisah Sederhana

Seorang laki-laki bernama lengkap Riski Andre Syahputra atau yang kerap di panggil oleh teman-temannya dengan sebutan Riski. Pagi ini, ia baru saja terbangun dari tidur yang sangat mengerikan, ia harus tidur di lantai dengan alas hanya selimutnya. Riski bukan anak konglomerat yang hidupnya serba mewah, bukan juga seseorang yang gagah dan berani layaknya pejuang, dan yang lebih penting lagi ia bukan seorang yang mempunyai wajah yang tampan.

Tapi, dengan keadaan yang di milikinya sekarang membuat Riski sadar. Sadar akan semua itu, karena menurutnya hidup bukan tentang di mana kamu di lahirkan, dari keluarga kaya raya atau justru keluarga yang miskin. Kita tidak bisa memilih untuk hidup di keluarga yang mana, tapi satu hal yang pasti, kita harus tetap bersyukur dimanapun kita berada. Sebab, jika kita hanya fokus mengeluh dan tidak mau berusaha apapun, itu juga akan membuat kita mati.

Dan yang lebih parahnya lagi, orang tua Riski saat ini sudah berpisah. Sejak Riski duduk di bangku SMP, ia sudah merasakan betapa menyakitkannya melihat dua orang manusia sedang berdebat dan penuh emosi. Kala itu, Riski hanya bisa diam. Ia tidak tahu harus berbuat apa, mana yang baik dan mana juga yang benar.

Riski memilih hidup dengan ibunya yang bernama Satro Ningrum, ya karena menurut ajaran di agamanya. Ibu di sebutkan sebanyak 3x, dan ayah hanya 1x. Itu yang membuat Riski semakin yakin untuk tetap bersama ibunya dan membiarkan ayahnya pergi meninggalkannya. Tak hanya Riski, kedua kakaknya pun juga sama, ia memilih tinggal bersama ibunya. Tak adil memang, tapi mau gimana lagi. Toh, juga mereka semua sudah setuju.

Kakak Riski yang pertama bernama, Joko Seno. Dan kakak yang kedua bernama Rudy Rias.

Untung saja, sewaktu orang tua Riski pisah. Si Joko sudah bekerja di sebuah perusahaan cukup terkenal. Tapi, Joko sendiri belum bekerja sebagai karyawan tetap di sana. Gajinya pun juga terbilang masih kecil, ya cukup untuk biaya makan dan bayar cicilan rumah kontrakan.

Sastro sendiri memiliki usaha makanan kecil-kecil'an. Ya, untuk membiayai hidup Riski dan Rudy yang masih sekolah. Saat itu Riski masih duduk di bangku SMP dan Rudy sendiri masih berada di bangku SMA. Sastro berjuang lebih keras untuk dapat membiayai semua anaknya sekolah, terkadang Joko juga ikut membantu adik-adiknya.

"Ahhh, udah jam segini aja" kesal Riski yang melihat jam di dinding dengan mengucek matanya yang masih ngantuk.

Riski mulai bangun dari tidurnya, dan bergegas menuju kamar mandi. Di tengah-tengah perjalanan menuju kamar mandi langkahnya terhenti.

"Dik, hari ini ibu belum ada uang buat jajan kamu di sekolah. Nggak papa ya?" kata Sastro dengan lembut dan mata yang berkaca-kaca.

Riski hanya bisa diam mendengarkan itu, rasa-rasanya itu sudah menjadi hal yang wajar untuknya. Bahkan, sarapan saja ia tidak melakukannya.

"Nggak papa, bu. Riski udah bisa sekolah aja udah senang kok" jawab Riski dengan tersenyum lebar.

Untung saja anak-anak Sastro semua memiliki sikap yang mengerti akan keadaannya sekarang. Bayangkan jika Riski dan Rudy berontak apa yang akan terjadi pada Sastro?

"Yasudah buruan mandi, nanti telat lho sekolahnya" ketus Sastro lalu pergi meninggalkan Riski, ia baru mulai memasak untuk kemudian ia jual di depan rumah. Terkadang juga di titipkan di warung.

Riski menghela napasnya gusar, ia harus bisa menerima kondisi seperti ini. Terkadang Riski juga ingin membantu bekerja agar bisa membantu ekonomi keluarganya dan juga untuk membeli jajannya sendiri, ah tapi anak se-usia Riskin bisa apa sekarang?

Tapi, bukan Riski namanya kalo tidak mencobanya. Ia berniat sepulang sekolah nanti ingin mencari pekerjaan apapun itu, asalkan halal. Pekerjaan yang bisa di lakukan ketika pulang sekolahnya.

Saat ini Riski sudah memasuki akhir di SMP, ia akan segera lulus dan melanjutkan ke SMA. Tentunya melanjutkan kesana juga membutuhkan biaya yang tak sedikit.

"Kayaknya aku harus bekerja deh, kalo kayak gini terus gimana aku bisa masuk ke SMA?" batin Riski sembari ia mengguyur air ke seluruh tubuhnya.

"Kebutuhan di SMA pastinya juga akan lebih banyak, kalo sekarang mah aku nggak ada uang jajan nggak masalah. Tapi nanti? Masa iya gini terus, ah nggak-nggak, aku harus bisa cari kerja sendiri. Yakin bisa" Riski terus menyakinkan dirinya sendiri untuk bisa bekerja.

Jam sudah menunjukkan pukul 6.30, dan Riski sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Jarak sekolah Riski dan juga rumah cukup dekat, ia menuju sekolah hanya dengan jalan kaki kurang lebih 10 menit saja.

"Bu, aku berangkat dulu yaa" tukas Riskin dengan menyalimi tangan ibunya.

"Iyaa, hati-hati ya di jalannya" jawabnya dengan penuh semangat.

"Kenapa hati-hati, kan jalan kaki. Aman lah" jawab Riski dengan cengengesan khasnya yang memperlihatkan giginya.

"Iya kenapa kalo jalan? Kalo kamu kesandung atau kepleset kan bisa saja? Udah-udah sana, nanti kamu telat lagi. Belajar yang pintar ya, biar jadi orang yang sukses nanti. Fokus belajar, oke?" Sastro memegang rambut anaknya dengan penuh kasih sayang yang sangat tulus sekali.

"Siap, bu." Riski berbalik arah dan berjalan menuju sekolahnya.

Sementara kedua kakaknya di jam segini masih molor, si Joko mulai kerja pukul 08.00 dan si Rudy sekarang sedang libur karena sedang sakit. Badan Rudy sangat panas, bahkan semalam saja subu di tubuhnya mencapai 39°C.

Riski tak malu jika harus berjalan menuju sekolah, tapi yang menjadi masalahnya adalah sikap irinya. Ia iri dengan temannya yang di antar menggunakan mobil dan supir pribadi.

Kapan Riski bisa seperti itu? Kapan bisa mempunyai mobil dan juga supir sendiri? Riski juga ingin seperti orang itu.

Percuma saja, rasa iri Riski terlalu besar. Ia hanya bisa berdoa dan berdoa. Agar suatu saat ia juga memiliki hal yang di inginkannya.

Sewaktu di pertengahan jalan, Riski melihat ada seorang yang mendekatinya menggunakan sepeda. Riski sontak kaget, ia juga tak mengenal siapa laki-laki yang ada di sebelahnya saat ini dan berjumlah 2 orang.

"Haha, gak capek apa jalan kaki? Beli sepeda dong kayak kita jadi lebih cepat ke sekolah" ejek laki-laki itu dengan tertawa puas, seolah ia sudah paling bahagia.

Riski hanya diam menanggapi itu.

Laki-laki yang satunya lagi ikut bersuara, "Gak mampu beli ya? Ya gak mampu lah, ini kan sepeda mahal. Anak macam kamu mana bisa membeli ini"

Riski hanya bisa diam, ya memang Riski tidak mampu membeli semua itu. Tapi, satu hal yang pasti, mengejek dengan cara seperti itu juga tidak akan membuat Riski merasa marah dan emosi. Dan tidak ada utungnya juga bagi mereka berdua.

Next chapter