"Itu bukan iblis yang kita cari," kata Wisaka sambil menggeleng.
"Kalau bukan, siapakah dia?" tanya Faruq.
Wisaka terdiam sejenak, dia bingung harus bagaimana menjelaskan kepada Faruq tentang yang dilihatnya ketika perjalanan dalam ilmu Lorong Waktu. "Nanti saatnya aku kasih tahu." Akhirnya Wisaka berkilah.
"Jelaskan sekarang," rengek Faruq. "Kita samperin gak, itu makhluk?" tanya Faruq lagi.
"Tidak usah, ada waktunya nanti kita balik ke sini," ujar Wisaka lagi. "Ayo berangkat, keburu malam kita harus mencari tempat bermalam," lanjut Wisaka.
Setengah berlari Faruq mengikuti langkah Wisaka yang lebar-lebar. Mereka bergegas sebab hari menjelang malam. Ekor Onet terayun-ayun di atas pundak Faruq.
Dengan pedang pusaka Naga Api, Wisaka membabat pohon dan menjadikannya pondok sederhana untuk menginap malam ini. Faruq mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun. Onet memanjat pohon yang sedang berbuah, dan melemparnya ke arah Faruq dan Wisaka.
Malam hadir dengan dinginnya yang menusuk tulang. Mereka duduk dalam pondok. Api unggun yang menyala-nyala tidak banyak membantu, mereka tetap kedinginan. Wisaka merasakan ada aura mistis di balik hawa dingin ini. Dia keluar pondok.
"Siapakah engkau wahai, Kisanak? Aku hanya numpang istirahat, tidak usah mengganggu dan kami pun tidak menggangumu!" seru Wisaka.
Tidak ada jawaban, hanya siur angin sedingin es. Ini bukan angin malam seperti biasanya. Ada yang sengaja ingin mengadu kekuatan.
"Duuh, setiap menginap di hutan seperti ini, selalu ada gangguan, hantu apa lagi kah ini?" Faruq bertanya setengah mengeluh. "Keluarlah, gak usah kirim-kirim hawa dingin, aku menggigil ini!" serunya lagi.
Hawa dingin itu semakin membuat Wisaka dan Faruq seperti membeku, Onet masih mending karena ia mempunyai bulu-bulu hangat. Wisaka mencoba melawan arus hawa dingin ini dengan jurus Matahari Terbenam. Hawa hangat mengalir dari kedua tangannya yang sudah berubah menjadi warna jingga.
Faruq bergerak mendekati Wisaka mencari kehangatan. Hawa dingin yang bertemu dengan hawa hangat dari tangan Wisaka mencairkan udara menjadi bulir-bulir embun.
Sekeliling masih tetap lengang, udara dingin berangsur-angsur hilang. Wisaka juga mengendurkan jurusnya. Sepertinya makhluk yang iseng itu juga mengakui kehebatan Wisaka.
"Kalau kau manusia, keluarlah! Kalau kau mahluk halus, enyahlah dari sini!" teriak Faruq.
Pluk.
Ada benda terjatuh dari atas pohon. Benda panjang berwarna merah tampak hidup menggeliat-geliat.
"Ular!" Faruq berteriak lagi. Dia mundur beberapa langkah, hampir saja menabrak Wisaka.
"Bukan ular, itu lidah," jelas Wisaka.
"Ya salam, lidah siapakah itu?" Faruq dengan takut-takut memandang ke atas pohon. Cepat-cepat dia berpaling kembali sambil bergidik. Bahkan badan pemuda tambun itu bergetar karena takut.
Wisaka penasaran, dia ikut-ikutan menengok ke atas. Terlihat satu makhluk dengan rambut panjang yang gimbal, berbaju hitam, berwajah pekat, matanya merah dan lidahnya yang menjulur merah sepanjang pohon.
"Makhluk apakah ini?" tanya Wisaka.
Faruq mengedikkan bahunya. Melihat pun baru kali ini, mana tahu itu hantu apa namanya.
"Mana aku tahu, Kang," jawabnya.
Wisaka berdiri, kemudian berkacak pinggang menantang makhluk menyeramkan itu, lidah itu turun naik seperti mengejek.
"Gulung lidahmu atau aku tebas pakai pedang Naga Api!" ancam Wisaka.
Wisaka mengeluarkan pedang pusaka, berkilauan terkena cahaya api unggun. Larik-larik sinarnya berkelebat, embun-embun yang bergelantungan bening di daun-daun, langsung menguap terkena larik cahaya pedang. Lidah yang menjulur begitu panjang tak luput terkena sabetan sinarnya.
Cess.
Terdengar suara ibarat bara api diguyur air. Lidah makhluk itu mengepul terkena larik sinar pedang pusaka. Hangus di bagian ujungnya.
Arrrgh.
Satu jeritan terdengar, bersamaan tergulungnya lidah itu ke atas. Wisaka menghunus pedangnya. Dia tidak mau main-main kini.
"Keluar!" bentak Wisaka.
Wisaka menunggu, tapi tidak ada pergerakan apa pun. Makhluk itu malah berpindah ke pohon lainnya. Rupanya ia menghindari larik cahaya pedang. Mungkin hantu lidah panjang itu berpikir, lariknya saja kekuatannya sudah begitu dahsyat, apalagi ketajaman bendanya.
"Aku minta tolong," katanya.
"Minta tolong apa?" tanya Wisaka.
"Anakku diculik genderuwo," jelasnya.
"Aku tidak bisa menolongmu, kali ini aku tidak mau terlibat dengan urusan duniamu, lebih baik kau pergi!" suruh Wisaka keras.
Hening, tidak terdengar apa pun, bahkan hembusan angin pun turut berhenti. Wisaka waspada, biasanya akan ada serangan tiba-tiba. Wisaka melihat makhluk itu berpindah tempat.
Wusss.
Satu hembusan angin terasa di samping Wisaka. Onet berteriak saat satu belitan membelenggu dirinya.
Eaak eak eak eak eak.
"Sudah aku bilang, enyahlah kau dari sini!"
Wisaka membabat lidah yang membelit Onet, sebelum sempat hantu itu membawa Onet pergi.
Craaash ... Aaargh.
Darah hitam menetes dari potongan lidah, disertai satu teriakan kesakitan menggema lantang. Faruq secepatnya mengambil Onet dan melepaskannya dari belitan lidah yang terpotong. Dibuangnya lidah itu ke rimbunan pohon.
Satu sosok berkelebat menyambar potongan lidah tersebut. Laksana angin topan saat makhluk itu lewat. Daun-daun kering berterbangan, begitu juga atap pondok yang dibangun Wisaka. Semua porak poranda. Setelah mendapatkan lidahnya makhluk itu terbang kian menjauh. Sunyi, tinggal Wisaka, Faruq dan Onet memandang kepergian hantu lidah itu.
"Akhirnya, dia pergi juga, makhluk penuh tipu daya, aku tidak mau terpedaya lagi," ujar Wisaka sambil membersihkan pedang dari sisa-sisa darah hitam.
"Hhhh, atapnya bagaimana ini?" Faruq bertanya sambil mengembuskan napas lega.
"Sudahlah, biarkan saja, kita tidur beratapkan langit," kata Wisaka sambil duduk. Dia bersiap merebahkan diri.
Wisaka tidur terlentang menatap langit yang penuh dengan bintang. Dia seperti melihat dirinya tengah berdiri di antara bintang-bintang tersebut. Dia melihat Cempaka berdiri di sisi kirinya, tersenyum dengan teramat manisnya. Sementara di sisi kanannya, pemuda itu seperti melihat Leli berdiri dengan kedua anaknya yang tersenyum lebar kepadanya. Wisaka mengembuskan napasnya yang terasa berat.
****
Keesokan harinya mereka meneruskan perjalanan. Masih separuhnya lagi yang harus ditempuh. Sesekali Wisaka berlari dengan ilmu meringankan tubuhnya. Tentu saja Faruq berlari pontang-panting mengejarnya. Wisaka kadang mengolok-oloknya, bersembunyi di atas pohon menunggu Faruq lewat.
"Kaaang ... Kang!" Faruq berseru. Kedua tangannya dijadikan corong di depan mulutnya.
Wisaka tetap diam sambil memperhatikan dari balik pohon, pemuda itu ingin mengerjai Faruq. Akan tetapi satu bayangan berkelebat dengan cepat. Tentu saja Faruq tidak menyadarinya. Wisaka kaget, cepat-cepat dia duduk tegak memperhatikan bayangan tersebut.
Witwiiiw ....
Suitan di tengah hutan itu memancing Faruq untuk mendekati sumber suara. Dia berjalan cepat sambil mengomel.
"Jangan main-main, Kang," gerutunya.
Faruq memandang berkeliling, tetapi orang yang dia cari tidak nampak. Akhirnya Faruq melancarkan pukulan ke arah suara cuitan tadi. Pukulan Faruq rupanya berpengaruh. Seseorang melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Seorang laki-laki berpakaian serba hitam berdiri dengan tangan bersedekap. Wisaka seperti mengenali orang tersebut. Namun, tidak dapat memastikan karena wajahnya tertutup kain batik. Wisaka mengenalinya sebagai milik ....
"Pak Amir ... Pak Amirkah itu?"