Wisaka dan Faruq berpandangan. Wisaka tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Kyai Abdullah tentang 'siapa Amir'
Wisaka ingat bagaimana Pak Amir melawan Ifrit, bagaimana penduduk menuduh Pak Amir, bagaimana dia begitu gigih menjelaskan tentang dirinya.
"Lho, Pak Amir bukannya murid Kakek, ya?" tanya Wisaka hati-hati.
"Aku tidak punya murid yang bernama Amir," kata Kyai Abdullah.
"Mengapa dia bisa tahu tentang Kakek?" tanya Wisaka.
"Entahlah, nanti aku cari tahu," kata Kyai Abdullah.
Wisaka tidak habis pikir siapa sesungguhnya Pak Amir itu? Bisa tahu Iprit juga tahu Awang dan Barshi tidak pernah sampai ke tempat Kyai Abdullah. Serta menyuruh Wisaka untuk datang ke sini.
"Sudahlah tidak usah dipikirkan, lebih baik kamu mandi dan beristirahat, kosongkan pikiran dan bersiap untuk menerima apa yang aku ajarkan," suruh Kyai Abdullah. "Setelah mandi, nanti kamu bersemedi di sana." Kyai Abdullah menunjuk sebuah batu besar di bawah pohon.
Wisaka mengikuti apa yang disuruh Kyai Abdullah. Sementara Faruq dan Onet, beristirahat karena hari sudah mulai malam. Baru kali ini dia tidur dengan nyenyak tanpa ada gangguan dari mahluk halus.
Wisaka bersemedi mengosongkan pikiran, perlahan-lahan muncul layar seperti sebuah film yang sedang diputar, sama seperti saat dulu dia bersemedi di goa tempat Eyang Astamaya. Akan tetapi apa yang muncul dalam penglihatan Wisaka seperti kelanjutan kisah dulu yang sempat terpenggal.
***
Eyang Astamaya yang sedang mengejar Untari atau Dewi Kematian nampak semakin kehilangan jejak. Rupanya sekian waktu tidak bersama membuat Eyang Astamaya tertinggal jauh ilmunya dari Untari.
Dia berdiri memandang berkeliling, tidak ada tanda-tanda bekas dilewati orang. Tap ... tap ... tap, Eyang Astamaya memanjat pohon menggunakan ilmu meringankan tubuh, kemudian berdiri di puncak tertinggi, memandang berkeliling, nihil, tak ada pergerakan apa pun di kejauhan sana.
Wisaka melihat lagi saat Eyang Astamaya sampai di suatu tempat seperti goa dengan lorong yang panjang. Ada cahaya merah di ujung lorong. Eyang Astamaya berjalan menuju ke sana.
Semakin dekat dengan sumber cahaya tadi, semakin jelas kalau cahaya itu berasal dari mata sebuah binatang yang sangat besar. Bergulung seperti ular, tetapi terdapat kaki di perutnya, mungkin itu seekor naga.
Merasa terganggu dengan kehadiran Eyang Astamaya, binatang itu menggeliat dan mengeluarkan suara menyeramkan. Kedua lubang hidungnya mendengkuskan asap tipis berwarna putih.
Eyang Astamaya terlihat hendak mengambil sesuatu yang terdapat di tengah-tengah naga tersebut. Lidah api menyembur dari mulutnya, menjilati batu-batu disekitarnya.
Wusss.
Begitu terkena batu, lidah api itu menghasilkan asam hitam yang membuat sesak napas. Naga itu tidak mau ada seorang pun mendekatinya, apalagi mau mengambil sesuatu yang sudah dijaganya berpuluh-puluh tahun.
Wisaka melihat bagaimana Eyang Astamaya bertarung dengan naga tersebut sampai akhirnya naga itu menyerah dan membiarkan Eyang Astamaya mengambil benda tersebut.
"Bukalah matamu!" Seruan Kyai Abdullah mengejutkan Wisaka yang sedang melakukan perjalanan waktu.
Perlahan-lahan Wisaka membuka matanya. Satu sosok berpakaian serba putih tersenyum kepadanya. Memakai jubah putih serta serban berwarna putih juga.
"Besok, pergilah ke arah matahari terbit. Ada goa di sana, kemudian masuklah. Ambillah sebuah pusaka untukmu, malam ini aku akan mengajarimu ilmu untuk melawan Ifrit itu," kata Kyai Abdullah. Dia menunjuk tempat di depan mereka.
Jadilah malam ini Wisaka belajar ilmu dari Kyai Abdullah. Hari hampir pagi ketika Kyai Abdullah selesai mentransfer ilmunya kepada Wisaka. Wisaka nampak bermandikan peluh, tetapi hatinya senang sekali. Wisaka ingin segera pulang untuk membasmi sepasang makhluk jahanam tersebut.
Wisaka berkacak pinggang memandangi alam yang masih kelam. Pohon-pohon yang bergerombol seperti gundukan-gundukan hantu yang sedang bersembunyi menanti saatnya menerkam. Wisaka duduk mendinginkan badannya.
Tiba-tiba Wisaka melihat titik merah dari arah yang ditunjuk oleh Kyai Abdullah tadi. Mula-mula kecil, kemudian bertambah besar. Persis seperti kobaran api yang menyala-nyala. Wisaka kaget dan berdiri memperhatikan benda apakah itu.
"Kakek, apakah di sana telah terjadi kebakaran?" tanya Wisaka. Pemuda itu menunjuk tempat dimana tadi melihat seperti ada nyala api.
Kyai Abdullah melihat ke arah yang ditunjuk oleh Wisaka. Orang tua itu maklum sesuatu telah memperlihatkan diri kepada Wisaka. Kakek tua itu hanya tersenyum.
"Dia sudah menampakkan diri," katanya.
"Siapa, Kakek?" tanya Wisaka penasaran.
"Penjaga pusaka leluhur," jawab Kyai Abdullah sambil melangkah. Dia masuk ke dalam pondok.
Refleks Wisaka menoleh kembali ke arah kobaran api tadi. Tidak terlihat apa pun, hanya kegelapan malam tanpa bintang. Wisaka melangkah ke arah teras pondok. Dia merebahkan diri di sana. Onet membuka matanya sedikit. Mengintip Wisaka yang juga sedang meliriknya.
Wisaka tertidur pulas. Kali ini tanpa mimpi apa pun. Benar-benar seperti balas dendam setelah berbulan-bulan tidur tidak pernah tenang karena banyak yang mengganggu.
Keesokan harinya Wisaka pergi ke tempat yang sudah digambarkan oleh Kyai. Berlari menembus lebatnya hutan. Tanpa sadar dia menubruk pohon roboh yang melintang di jalur yang dilaluinya.
Brukkk.
Wisaka mengaduh, kemudian memegangi perutnya. Pemuda itu merasakan sesuatu menyengat perutnya. Wisaka merasa ada yang tidak beres dengan kejadian ini.
Dia mencari tempat duduk sambil terhuyung. Wisaka yang mempunyai tenaga dalam cukup tinggi, merasa aneh kalau cuma terkena kayu melintang dirinya harus kesakitan. Wisaka bersila dan mengatur pernafasan. Menyalurkan tenaga dalam ke perutnya. Mengobati memar di organ dalamnya. Perlahan-lahan rasa sakit di perutnya berangsur hilang.
Wisaka bangkit lalu meneruskan perjalanannya dengan meningkatkan kewaspadaan. Dia mendengar ada pergerakan yang membuntutinya.
Plak plak plak.
Wisaka menepis balok-balok kayu kecil yang tiba-tiba menghujaninya. Wisaka menapakkan kakinya ke pohon besar dan berjalan cepat seolah-olah terbang. Bersembunyi di balik daun yang lebat.
Seorang pria berpakaian hitam dan penutup wajah nampak celingukan. Ia kehilangan buruannya. Wisaka memperhatikan dari atas pohon. Terbersit niat untuk mempermainkannya. Kebetulan pohon yang Wisaka panjat sedang berbuah lebat.
Pluk.
Buah yang sudah diisi tenaga dalam oleh Wisaka mendarat cantik di kepala orang misterius itu. Ia mengaduh sambil melihat ke atas pohon. Namun, tanpa diketahui orang yang membuntutinya Wisaka sudah berpindah tempat.
Pluk.
Kembali satu buah yang sudah berubah sekeras batu menghantam kepalanya. Wisaka menjentikannya dari atas. Rupanya pemuda itu marah karena sentilan buah itu berhasil membuat benjol kepalanya.
"Hai, keluar kau, songong, melempar orang tetapi sembunyi!" teriaknya.
Tunggu! Wisaka seperti mendengar suara halus di balik kegarangan sikapnya. Pemuda itu ingin mendengar kembali suara itu. Kali ini Wisaka melemparkan buah duwet itu mengenai punggungnya.
"Aww!" Orang asing itu menjerit sambil mengusap punggungnya memakai tangan kanan.
Kali ini Wisaka yakin, ada yang berusaha disembunyikan di balik penampilannya. Wisaka memperhatikan orang yang sedang mencari dirinya itu baik-baik.
'Siapakah orang yang menyamar itu?'