webnovel

Bab 18. CEMPAKA MENJADI KORBAN

Cempaka memperhatikan bayangan itu. Sosoknya seperti Wisaka. Lama dia perhatikan, tapi sosok itu tidak bergeming. Cempaka penasaran, dia pun memanggilnya.

"Kang!" serunya.

Wisaka kemudian menoleh, melihat ke arah Cempaka, terlihat oleh Cempaka pemuda itu tersenyum. Cempaka ingin sekali keluar dan menemuinya. Mimpi buruknya menahannya sejenak.

"Apa arti mimpiku?" tanyanya dalam hati.

Karena mimpi itu pula dan kerinduan yang mendalam, membuat Cempaka meloncati jendela untuk menemui Wisaka. Dia mengabaikan kata hatinya yang menyuarakan tanda bahaya di kepalanya. Berhasil meloncati jendela lantas menghambur ke pelukan Wisaka.

"Kang, aku rindu," ujar Cempaka.

Wisaka memeluk erat tubuh Cempaka. Lama tak melepaskan, Cempaka berusaha melepaskan diri dari pelukan Wisaka. Dia heran mengapa tidak seperti biasanya Wisaka bertingkah. Cempaka menyimpan keheranannya dalam hati.

Wisaka mengajak Cempaka duduk, mereka mengobrol melepaskan kerinduan. Cempaka yang masih dihantui mimpi buruknya tadi, perasaannya kini sedikit lebih tenang. Mimpi buruk itu tidak menjadi kenyataan.

"Kakang juga rindu," kata Wisaka.

Wisaka melingkarkan tangannya ke pinggang Cempaka. Menatap mesra muka kekasihnya tersebut. Merasa jengah, Cempaka hanya bisa menunduk.

Dak duk dak duk, detak jantungnya berdegup lebih kencang.

"Sayang."

Wisaka tambah berani, lelaki itu mendekatkan mukanya ke muka gadis cantik itu, mencium keningnya, lalu turun hendak mencium bibirnya. Cempaka yang seumur pacaran dengan Wisaka tak pernah mendapat perlakuan seperti itu kaget.

Refleks dia menjauhkan mukanya dari wajah Wisaka. Badannya gemetar, dia ketakutan. Tapi Wisaka tambah erat menggenggam tangannya.

"Tidak apa-apa, tenanglah," bisik Wisaka.

"Jangan, Kang," tolak Cempaka.

Wisaka meremas tangan Cempaka, mengalirkan kehangatan di tengah dinginnya malam yang berada di puncaknya. Bulan semakin terang menerangi mayapada. Menghanyutkan sepasang insan yang tengah dimabuk asmara.

"Bukankah kamu rindu sama Kakang," bisik Wisaka di telinga Cempaka.

"Ya, Kakang."

Wisaka membawa kepala gadis itu untuk bersandar di bahunya. Malu-malu Cempaka merebahkan kepalanya. Wisaka berbalik, lalu memegang dagunya. Mencium lembut bibirnya. Semakin lama semakin panas gejolak birahi mereka.

"Aah." Cempaka mendesah.

Puncaknya Wisaka bermaksud melucuti pakaian Cempaka. Cempaka tersadar, dia tak ingin kehormatannya lenyap begitu saja tanpa upacara pernikahan. Walaupun oleh laki-laki yang dicintainya. Gadis itu berusaha melepaskan diri dari Wisaka.

"Mengapa?" tanya Wisaka kecewa.

"Tidak, Kakang, belum waktunya," jawab Wisaka.

"Bukankah kau mencintai aku," Wisaka bertanya kembali.

"Iya, Kakang, tapi kan tap ...." ujar Cempaka sambil menoleh ke arah wajah Wisaka. Dia tak melanjutkan ucapannya karena melihat keanehan pada diri pemuda itu.

Cahaya bulan yang jatuh tepat di muka Wisaka memantulkan cahaya lain pada matanya. Mata itu bersinar sangat terang dan berkilat. Cempaka menatapnya dengan tubuh gemetar.

Sadar Wisaka diperhatikan begitu rupa oleh kekasihnya, dia bergeser sedikit menghindari cahaya bulan. Menunduk tak berani menentang pandangan Cempaka. Lelaki itu bermaksud memeluk kembali dan meneruskan hasratnya yang tertunda.

Cempaka beringsut mundur, gadis itu hendak lari dari tempat itu. Wisaka yang dapat membaca pergerakannya mendekati Cempaka lalu dengan kasar memeluknya.

"Ja ... jangan, Kang," desis Cempaka dengan bibir bergetar.

Rasa takut yang hebat menguasainya. Tangannya berusaha mendorong Wisaka, tetapi tangan mungil itu kalah tenaga dalam pelukan pemuda itu. Gadis itu malah semakin masuk dalam pelukannya.

Pemuda itu semakin gencar menciumi Cempaka, leher gadis itu mulai mendapat sasaran. Di antara rasa ketagihan untuk tetap menikmati, gadis itu masih mempunyai akal sehat untuk menolaknya. Pada satu kesempatan dia berhasil menendang kemaluan Wisaka.

Pelukan pemuda itu terlepas. Tak mau melepaskan kesempatan baik itu, Cempaka berlari tunggang langgang menyelamatkan diri. Wisaka terjengkang, menyeringai sambil memegangi burungnya yang terkena tendangan maut, perlahan-lahan wajahnya berubah ke wujud aslinya.

"Sialan, gadis keparat," umpatnya.

Pemuda itu bangkit setelah reda sakitnya, berusaha mengejar Cempaka.

"Tunggu, gadis sialan!" serunya lagi.

Demi mendengar segala umpatan itu, sejenak Cempaka tertegun, "Wisaka memakinya? Sungguh tidak masuk akal, Wisaka tidak pernah melakukan itu, kepada orang lain sekalipun, apalagi kepada dirinya."

Cempaka berbalik dan menatap tajam Wisaka yang sedang mengejarnya. Dia berusaha mengenali orang yang barusan memakinya. Semakin lama semakin jelas bahwa pemuda itu bukanlah dia.

"Siapa, kau!" bentak Cempaka.

Tanpa menunggu jawaban, Cempaka kembali berlari. Rupanya dia kalah cepat dengan orang yang mengejarnya. Orang itu berhasil meraih baju Cempaka yang sedang berlari. Baju Cempaka sobek karenanya.

"Untuk menikmati malam ini, kau tak perlu tahu siapa aku, Gadis Ayu," katanya sambil terus mengejar Cempaka.

Dengan baju yang compang-camping, gadis itu mempercepat larinya, tetapi malang, orang itu berhasil meraih badannya. Cempaka jatuh ke pelukannya. Mereka berguling-guling di tanah. Semakin Cempaka meronta, semakin erat pelukan orang itu. Cempaka ingin menjerit tapi suaranya tidak keluar, tertahan di tenggorokan. Lelaki itu menindihnya.

****

Malam ini Pak Amir terlihat gelisah di pembaringannya. Dia tak dapat tidur, entah mengapa. Merasa tidak nyaman karena hatinya berbisik, akan ada satu kegegeran lagi di kampung ini.

Pak Amir mencoba tak perduli dengan kata hatinya. Tidak ada orang hajatan di kampungnya kali ini. Tidak ada perkawinan yang akan dilangsungkan esok harinya. "Bukankah kegegeran hanya terjadi apabila ada acara pernikahan?"Begitu hatinya berceloteh.

Badannya dimiringkan mencoba mencari sisi yang nyaman. Tetap saja tak terlelap juga. Dia bangkit dari tempat tidur, duduk di amben, melihat ke arah langit-langit rumahnya. Mencoba mencerna isyarat ini, akhirnya Pak Amir beranjak keluar kamar.

Di ruang tengah dia termangu, tangannya kemudian bergerak ke tempat rokok, bermaksud mengisap benda itu untuk mengusir dingin. Suara lolongan anjing hutan di kejauhan menjadi perhatiannya. "Apakah ini pertanda," bisik hatinya.

Setelah menyalakan rokok, dia keluar rumah. Hawa rumah mendadak terasa panas dan pengap, padahal hari masih tengah malam. Pak Amir berjalan sedikit di sekitar rumahnya sambil mengawasi sekeliling. Memperhatikan baik-baik semua pergerakan.

Tiba-tiba terdengar olehnya suara orang seperti berlari-lari. Pak Amir menajamkan pendengarannya, memastikan dari mana arah suara itu. Secepatnya dia berlari menuju sumber bunyi tersebut. Terlihat olehnya seorang wanita sedang dikejar oleh seorang laki-laki.

Pak Amir bersembunyi saat melihat laki-laki itu berhasil meraih baju wanita tersebut. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan laki-laki tersebut. Sang lelaki mendekap erat wanita yang meronta-ronta itu.

Terlihat jelas ke arah mana tujuan pria tersebut. Pria brengsek itu hendak mengambil kehormatannya. Saat mereka tengah berguling-guling di tanah. Pak Amir meloncat keluar dan menghardik penuh amarah.

"Lepaskan perempuan itu, lelaki laknat!" suara Pak Amir terdengar jelas di keheningan malam.

Sesaat laki-laki itu memandang dengan mata berkilat. Marah karena hasratnya tak tersalurkan. Ia bangkit dan menatap garang Pak Amir.

"Beraninya kau menghalangiku, Pak Tua!" bentaknya.

Cempaka yang terbebas dari cengkeraman laki-laki tadi, secepatnya berdiri dan berlari menghampiri Pak Amir. Gadis itu mematung di belakang Pak Amir dengan air mata yang berderai. Orang tua itu bersiap dengan segala kemungkinan.

"Siapa kau? Apakah kau penebar teror yang selalu memperkosa pengantin dan mengisap jiwanya?" Pak Amir bertanya sambil matanya menelisik muka orang tersebut. Namun, cahaya rembulan tertutup awan sehingga cahayanya tak cukup menerangi wajah laki-laki itu.

"Tak perlu tahu siapa aku, terimalah hadiah untuk orang yang mengganggu kesenanganku," jawabnya sambil melancarkan serangan terhadap Pak Amir.

"Apakah kau mahluk jahanam yang memperkosa Sulastri?" tanya Pak Amir lagi.

"Ahahaha .... hahaha." Lelaki misterius itu tertawa lepas.

"Bajingan, malam ini rahasiamu akan terbongkar," kata orang tua itu sambil menghindari serangan laki-laki itu.

Next chapter