Wisaka menguatkan hatinya untuk pergi malam ini juga. Leli memandangi suaminya dengan pilu. Air matanya berderai di pipinya yang putih mulus. Wisaka mengusapnya air mata Leli, sesungguhnya hatinya juga tak tega meninggalkan istrinya dalam keadaan hamil.
"Leli, aku takut kalau korban akan semakin banyak, kalau aku tidak cepat-cepat pergi dari sini, aku minta maaf harus meninggalkanmu," kata Wisaka sambil mengusap rambut Leli.
"Apa Kakang akan kembali lagi ke sini, kalau nanti tugas Kakang sudah selesai?" tanya Leli.
"Pasti, kalau Kakang selamat melawan mahluk jadi-jadian itu, tentu Kakang akan menengok anak kita," jawab Wisaka sambil menganggukkan kepalanya.
Leli mengusap air matanya, dia berdiri bersiap mengantarkan Wisaka ke dapur, karena di situlah gerbang antara kehidupan siluman dan manusia. Leli mengerti, tugas yang diemban Wisaka sangat mulia. Mereka berjalan beriringan.
"Sampaikan salamku kepada bapak dan ibu, sengaja Kakang tidak berpamitan, takutnya mereka malah tidak setuju, dan berusaha menghalang-halangi Kakang pergi," kata Wisaka.
"Baiklah, Kakang," ujar Leli sambil menahan tangis.
Wisaka naik ke atas tempat kayu bakar, meraih rerumputan di tepi sungai lalu berjalan menuju daratan. Demi melihat Wisaka, Onet berlari. Menyambut dengan riang, lalu meloncat ke pelukannya. Wisaka tertawa lebar menyambut Onet. Onet turun dan berjalan di samping Wisaka, menuntunnya ke suatu tempat.
"Uk uk uk uk, ek ek ek ek, eak eak."
Selama ditinggalkan rupanya Onet menemukan goa yang cukup luas sebagai tempat berteduh. Goa itu terdapat di ketinggian dengan batu-batu sebagai pijakan. Wisaka heran dengan gua yang tampak bersih ini.
"Kamu yang membersihkan gua ini, Onet?" tanya Wisaka sambil memandang berkeliling.
Onet menguik dengan berisik, lalu melompat-lompat, seolah-olah membenarkan perkataan Wisaka.
"Baiklah, malam ini kita bermalam di sini, sana cari tempat ternyaman untukmu," kata Wisaka sambil mengumpulkan ranting-ranting kering.
Onet seperti mengerti, ia juga mengumpulkan ranting kering. Wisaka kemudian menyulutnya, menjadikan api unggun. Mereka duduk sambil menatap api, menghangatkan badan dari cuaca malam yang kian terasa dingin.
Sekelebat Wisaka seperti melihat bayangan Leli. Wisaka mempertajam pandangannya, hanya terlihat kabut malam yang mulai tebal. Wisaka berbicara dalam hatinya.
"Leli, diamlah di rumah jangan pergi ke mana-mana, jaga calon anak kita."
Wisakaberkomunikasi dengan Leli lewat batinnya, Wisaka merasa Leli menjawab kata hatinya. Dia mendengar jawaban Leli. Perlahan Wisaka mengusap cincin pemberian mertuanya itu. Onet hanya memandangi majikannya itu.
"Onet, aku sudah menikah dengan Leli, perempuan siluman ikan, mungkin sebentar lagi aku akan mempunyai anak, karena kehidupan di sana berputar begitu cepat," kata Wisaka sambil menerawang bintang.
Onet hanya terdiam, seperti mengerti ia ikut melihat ke arah bintang yang terlihat dari mulut goa. Bintang yang terlihat kecil dan begitu banyak, sampai tak sanggup Onet menghitungnya. Namun, ada beberapa yang kelihatan sangat terang di antara beribu-ribu bintang.
Wisaka terbawa perasaan, pemuda itu teringat dengan istrinya Leli, juga teringat pula dengan Cempaka kekasihnya. Apa yang akan dia katakan nanti.
"Apakah Cempaka masih mau menerimaku? Lantas apa yang akan aku perbuat? Menikahi Cempaka juga?" Wisaka bingung sendiri.
Berbagai pertanyaan membuat Wisaka sakit kepala, dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha mengusir masalah yang mampir di otaknya. Memejamkan mata, mencoba untuk tidur, melupakan semua problema di hadapannya. Dia harus fokus ke tujuannya semula.
Malam yang bertambah larut membuai mereka tertidur lelap. Wisaka dan Onet mendengkur halus. Onet tidur terlentang seperti manusia, kadang berguling ke kanan dan ke kiri. Sekali-kali menendang-nendang kaki Wisaka.
Di luar goa terdengar suara gaduh, seperti orang yang sedang berkelahi. Wisaka terbangun, kemudian menajamkan telinganya mendengar suara-suara kasar bersahutan.
"Serahkan barang-barangmu, bangsat!" teriak seseorang.
"Tidak, tidak ada hak kamu atas barang-barangku, Kisanak."
"Sialan, kau mau aku mengambilnya dengan paksa, heh?"
"Ini adalah barang titipan seseorang, dan aku akan menjaganya dengan nyawaku, perampok biadab!"
"Kamu memang minta dihajar, mau kau serahkan atau tidak, manusia tak berguna!?"
"Kau yang tidak berguna, kau yang mencak-mencak, tidak akan kuserahkan barang ini!"
Pertarungan pun tak dapat dihindarkan lagi. Orang yang satu berusaha merebut dan satu lagi berusaha mempertahankan.
"Duuh, apa sih ini, berisik sekali?" Wisaka mengucek matanya yang masih terasa berat.
Wisaka beringsut dan membangunkan Onet. Onet pun terbangun lalu duduk melihat Wisaka dengan bingung.
"Ssst ...," Wisaka mendesis sambil menempelkan telunjuknya di bibir, lalu menunjuk ke arah orang yang sedang bertempur.
Onet diam sambil memandang ke arah mereka. Ia mengikuti Wisaka yang pelan-pelan menuju ke arah mereka untuk mengawasi lebih dekat lagi. Mereka tidak menyadari kehadiran Wisaka dan Onet.
Pertarungan semakin sengit, lawan merangsek maju, memukul ke arah wajah, dengan cepat orang yang mau dibegal berkelit. Tapi sayang rupanya kekuatan perampok itu lebih mumpuni. Dia bisa menguasai orang yang akan dibegalnya.
Orang yang akan dibegal tidak menyerah begitu saja, cepat sekali ia membuang buntalan yang diinginkan perampok. Wisaka yang tidak menyangka barang itu akan dibuang ke arahnya, refleks menyambut buntalan itu. Secepatnya pemuda itu menyerahkan kepada Onet.
"Bawa pergi ke atas pohon," bisik Wisaka.
Secepat kilat Onet membawa pergi buntalan itu ke atas pohon, bersembunyi di balik rimbunnya daun-daun. Ia memegang erat-erat barang tersebut.
Perampok itu mengikuti arah terlemparnya barang. Mereka mendapati Wisaka tengah berdiri.
"Siapa, kau?" tanya perampok.
"Aku Wisaka," jawab Wisaka.
"Jangan coba-coba ikut campur urusanku, Anak Muda, mana barang itu?!"
"Kamu telah mengganggu tidurku, jadi terpaksa aku turut campur, barang apa yang kau maksud?" Wisaka balik bertanya.
"Tidak usah pura-pura, Bangsat! Aku melihat buntalan itu dilemparkan ke arah sini," maki perampok.
"Silahkan kau cari sendiri," kata Wisaka.
"Keparat, kau!"
Perampok itu menyerang Wisaka dengan kalap, ia merasa terganggu dengan kehadiran Wisaka yang tidak berpihak kepadanya. Diserang dengan membabi-buta Wisaka tetap tenang. Ia meladeni setiap serangan perampok. Mengembalikan serangan saat ada kesempatan.
"Minta mati kau rupanya!" teriak perampok kalap.
"Tak usah kau teriak- teriak, lawan aku!" seru Wisaka.
Pada suatu kesempatan, Wisaka berhasil memukul telak wajah perampok itu. Perampok terjajar mundur, mengusap darah yang meleleh dari sudut bibirnya. Wajahnya kian memerah karena marah. Saat kembali menyerang, Wisaka dengan mudahnya menangkap tangannya dan memelintirnya. Perampok itu mengaduh keras, merasakan tangannya seperti patah.
Wisaka mengencangkan pelintirannya, lalu didorongnya tubuh perampok itu sampai terduduk di tanah. Wisaka menyusulnya kemudian menginjak dadanya, ditekannya dengan keras. Perampok itu terbatuk-batuk, darah keluar dari mulutnya.
"Ampun, Kang ... ampun!" teriaknya.
"Bacotmu doang yang gede, ilmu kamu tak seberapa," kata Wisaka.
Wisaka mengendurkan injakan kakinya.
"Pergi dan jangan pernah mengganggu milik orang lain," kata Wisaka.
"Baik, Kang, saya hanyalah suruhan orang."
"Sekarang pergi dan jangan ikuti dia lagi," kata Wisaka sambil menunjuk orang tadi.
"Aku bersumpah, Kang, asal jangan kau bunuh aku," ujar perampok itu ketakutan.
Wisaka melepaskan perampok yang segera berlari menembus kegelapan malam. Orang yang dibegal cepat menghampiri Wisaka. Menghaturkan terima kasih.
"Terima kasih, Kang, apa jadinya, kalau saya tidak ditolong oleh Kakang."
"Tidak apa-apa, kebetulan saya ada di sekitar sini dan mendengar kegaduhan, siapakah namamu?" tanya Wisaka, dia melihat sepertinya orang itu sepantaran dirinya.
"Namaku Faruq, mendapat titipan untuk disampaikan kepada Kyai Abdullah di balik gunung sana," kata Faruq sambil menunjuk gunung di kejauhan.
Wisaka merasa terkejut dengan tujuan Faruq, bukankah dia juga mempunyai tujuan yang sama?