webnovel

PERNIKAHAN WISAKA

"Leli, tidakkah kamu merasakan keanehan? Mengapa kita selalu kembali ke tempat yang sama, kau tahu apa sebabnya?" tanya Wisaka.

Leli menggelengkan kepalanya.

"Tidak," jawabnya singkat.

Wisaka putus asa, dia mengajak Leli duduk di sebuah batu besar. Pandangannya lurus ke depan.

"Leli, aku tak habis pikir mengapa kampung ini seperti bola," kata Wisaka.

Leli tersenyum kecil mendengar kata-kata Wisaka yang membandingkan kampungnya seperti bola tanpa ujung. Gadis itu diam saja sambil terpekur. Mereka akhirnya kembali berjalan dan berakhir di rumah.

Selama hampir seminggu Wisaka berusaha mencari jalan. Hatinya cemas, "Bagaimana aku mencapai padepokan Kyai Abdullah kalau tertahan di sini?" pikirnya. Karena penasaran dia pun bertanya kepada Pak Ali.

"Pak Ali, bagaimana aku bisa menemukan jalan keluar? coba kasih tahu caranya, Pak," tanya Wisaka.

"Caranya, kamu harus menikahi anakku, Leli," kata Pak Ali.

"Hubungannya apa? Menikah dengan jalan keluar?" tanya Wisaka lagi.

"Karena tempat ini adalah rahasia. Kalau sudah menjadi keluarga, dia tidak akan menceritakan atau mengajak orang untuk datang ke sini, yang bisa saja sangat membahayakan kami," jelas Pak Ali panjang lebar.

"Lho, ini memang tempat apa?" Wisaka bertanya lagi.

"Sama saja seperti kampungmu juga, seperti kampung yang lainnya juga," jawab Pak Ali.

"Tidak, samasekali tidak sama," tandas Wisaka.

"Pokoknya itu syaratnya, kamu nikahi anakku, baru bisa keluar dari sini," kata Pak Ali tegas.

"Kalau saya pergi, bagaimana nasib anak Bapak aku tinggalin?" tanya Wisaka.

"Tidak mengapa, kami terbiasa mencari makanan sendiri-sendiri," jawab Pak Ali.

"Aneh, betul-betul kampung dan penduduk yang aneh," kata Wisaka.

"Bagaimana?" Pak Ali tetap mendesak.

"Aku pikirkan dulu. Soalnya di kampung diriku meninggalkan seorang kekasih yang akan setia menunggu," jawab Wisaka lesu.

Wisaka merasa putus asa dengan persyaratan yang dirasakan sangat tidak masuk akal. Harus menikah tapi tidak dituntut untuk bertanggung jawab. "Pernikahan macam apa ini?" geram Wisaka putus asa.

******

Sementara Onet yang kehilangan Wisaka, setiap hari memandangi sungai berharap majikannya muncul. Berjalan menyusuri jalan kecil, siapa tahu bertemu jasad Wisaka yang terbawa arus. Nihil, ia tak menemukannya.

Dengan raut muka sedih, ia duduk di dahan sebuah pohon. Pandangannya tak lepas dari arus sungai di depannya. Dengan gelisah meloncat ke sana sini. Mencoba naik ke dahan yang lebih tinggi, melihat sekeliling dengan jangkauan lebih luas, tetap tak menemukan apapun.

Dengan gontai Onet kembali turun ke dahan paling bawah. Duduk dengan kaki menjuntai, dengan tangan satu di atas kepala, persis seperti manusia yang sedang bingung. Matanya sayu mengawasi sekeliling. Berharap Wisaka muncul dari rimbunan pepohonan.

Cinta seorang hewan pun, bisa setulus cinta manusia, lebih tanpa pamrih malah. Hewan akan mengerti apakah ia dicintai dengan tulus atau tidak. Hewan akan lebih peka, karena sesungguhnya yang ia butuhkan hanyalah ketulusan, tak butuh lagi kata apapun.

Seandainya Onet bisa berbicara. Sebait cinta sederhana tanpa menghitung untung rugi. Sudah langka di kehidupan manusia. Onet akan mengabdikan hidupnya kepada Wisaka, seandainya Wisaka bisa kembali. Harapan sederhana yang terdengar sia-sia, karena sudah hampir seminggu Wisaka tak muncul-muncul. Entah sudah terbawa arus atau belum, yang jelas Onet punya keyakinan kalau Wisaka akan kembali di tempat ini.

Waktu berlalu begitu cepat, pagi beranjak siang, siang beranjak malam, hari berganti minggu. Onet tak bergeming, tetap menunggu dengan setia. Walau terasa samar harapan itu tetap ada.

*****

Wisaka berusaha kembali mencari jalan keluar dari kampung ini, tapi sekeras apapun usahanya, tetap berakhir di jalan buntu. Di tengah keputus asaan ia akhirnya menyetujui pernikahan itu. Semua demi cita-citanya menuntaskan masalah di kampungnya. Bagaimana hendak mencapai padepokan Kyai Abdullah, kalau dia terperangkap di kampung ini?

Wisaka mengutarakan maksudnya kepada Pak Ali.

"Saya setuju untuk menikahi anak Bapak, tapi dengan satu syarat," kata Wisaka.

"Apa syaratmu, Anak Muda?"

"Apabila aku sudah menikahi Leli, izinkan aku pergi dari sini, aku minta maaf kalau aku tidak bertanggung jawab sepenuhnya, karena ada hal yang begitu penting yang harus aku selesaikan," jawab Wisaka.

"Tidak apa-apa, pergilah, kalau sudah waktunya, kamu pasti akan menemukan jalan, ini ... pakailah," suruh Pak Ali sambil mengangsurkan sebuah cincin. Wisaka menerimanya dengan ragu, ia mengelus-elus cincin tersebut.

"Ini apa?" tanya Wisaka.

"Cincin itu penghubung antara dunia ini dan duniamu, kamu bisa datang kapan saja dan keluar kapan saja, sekehendak hatimu," jawab Pak Ali.

"Dunia ini, Dunia apa? Memangnya ini ada di mana?" bertubi-tubi pertanyaan Wisaka.

"Nanti kamu akan mengerti sendiri," jawab Pak Ali penuh misteri.

Wisaka merasa kampung ini bukanlah kampung biasa, dari sejak hari pertama berada di sini, ia banyak melihat keganjilan demi keganjilan. Hari begitu cepat berganti. Penduduk yang selalu menghindar. Wisaka tidak habis mengerti.

Pernikahan sederhana pun digelar menurut adat setempat. Tamu-tamu yang hadir tidak begitu banyak dan tidak saling berbicara. Wisaka hanya diam memperhatikan. Setelah tamu-tamu pulang dan acara berakhir, Wisaka menagih janji mertuanya.

"Sebelah mana jalannya, Pak?"

"Kau lihat, Nak, bunga pengantin saja belum kering," kata mertuanya.

Wisaka menunduk, dia pikir begitu selesai upacara pernikahan, mertuanya itu akan langsung menunjukkan jalan keluar. Ternyata tidak semudah itu. Wisaka malah merasa kini, kalau itu hanyalah akal-akalan keluarga Leli untuk menjebaknya.

Saat tidur bersama Leli pun, Wisaka menjaga jarak, pemuda itu tidak mau menjalankan kewajibannya sebagai suami. Melakukan pernikahan, semata demi mencari jalan keluar. Dia tidak pernah mencintai Leli, Wisaka malah memikirkan Cempaka yang telah dikhianatinya.

"Maafkan, Akang, Cempaka.'Wisaka berkata dalam hati.

Leli yang tidur di samping Wisaka merasa sedih, merasa tidak dicintai. Pernikahan ini tak mampu mendekatkan Wisaka, apalagi mendapatkan hatinya. Tapi dia akan melakukan sesuatu saat nanti Wisaka tertidur. Sambil menahan perasaan hatinya yang perih karena tidak di anggap oleh Wisaka, Leli memperhatikan Wisaka diam-diam. Tidak lama kemudian terdengar suara dengkur halus Wisaka.

Leli bangkit dengan hati-hati. Duduk di tempat tidur, menangkupkan kedua tangan di dada. Melakukan semedi dengan kedua mata terpejam. Perlahan-lahan sukmanya melayang menembus alam bawah sadar Wisaka.

Wisaka yang tengah tertidur, bermimpi bertemu dengan Cempaka. Cempaka menangis di pelukan Wisaka demi mengetahui Wisaka menikah dengan orang lain. Dengan penuh penyesalan Wisaka mengusap rambut Cempaka. Entah bagaimana mulainya, semua terjadi begitu saja. Malam pertama Wisaka malah terjadi bersama Cempaka.

Wisaka memeluk Cempaka yang bugil tanpa busana sehelai pun. Cempaka terisak-isak halus, Menyesali semua yang terjadi, begitupun Wisaka.

"Maafkan aku, Cempaka," kata Wisaka.

"Tidak, Kakang, tidak usah minta maaf, bukankah aku istrimu?" jawab Cempaka.

"Apa, istri!" seru Wisaka kaget.

Kekagetan dalam mimpinya membuatnya terbangun, Leli berada di pelukannya. Wisaka dengan kagetnya melepaskan badan Leli. Leli turut bangun dan duduk.

"Ada apa, Kakang," kata Leli.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Wisaka.

"Lho, bukankah Kakang yang melakukan itu tadi, sebagai tanda kita sudah sah menjadi suami-istri?" Leli balik bertanya.

"Aaarrgghh ... !" teriak Wisaka. Ia menjambak rambutnya, menyesali semua yang terjadi.

Rupanya yang ia sangkakan mimpi dengan Cempaka, benar-benar terjadi bersama Leli. Wisaka curiga dengan istrinya.

"Ilmu apa yang Leli pakai," pikirnya.

Next chapter