webnovel

Mangsa yang Menyerahkan Diri

Marion membulatkan maniknya kala mendengar pertanyaan William yang mulai keluar dari konteks. Marion memang mencemaskan kondisi William, tetapi bukan lantaran benar-benar mencemaskannya, melainkan akan mengkhawatirkan jika William memaksakan diri untuk mengantar Marion dalam keadaan tidak sehat, bukan?

Lagi pula, bukankah itu sudah menjadi tugasnya?

Benarkah? Sungguhkah Marion tak peduli bagaimana kondisi William saat ini selain hanya menjalankan tugas sebagai asisten pribadi yang ia jalankan tanpa tanda kutip atau dengan kata lain, benar-benar sebagai asisten pribadi?

Tak adakah sedikit saja rasa cemas yang mungkin mampir sejenak di rongga kepala dan hatinya?

"P-pertanyaan macam apa itu, Pak? Apakah aku harus menjawabnya?" tanya Marion yang wajahnya sudah mulai merona bagai buah plum.

Pria itu masih memaku tatapannya pada manik Hazel milik Marion, menanti jawaban yang jujur dari gadis itu. Karena William tak bisa membaca pikiran Marion langsung. "Tentu saja kau harus menjawabnya. Itu perintah."

Entah mengapa dada William seperti merekah rasanya ketika mengatakan itu. Ternyata menjadi lelaki yang sedikit nakal dan iseng cukup menyenangkan dibanding menjadi pria dingin yang sok jaga imej.

Lihatlah, memandangi pipi Marion yang bersemu merah, membuat William seakan berbunga-bunga.

"Aku ... aku sebenarnya ...."

Sialan! Marion ingin sekali mengumpat dan menyemburkan sumpah serapah pada bosnya itu andai ia tak ingat kalau pria itu kini tengah sakit.

"Uhm ... apakah kau masih merasa sakit, Pak? Di mana bagian yang sakit?" tanya Marion, berusaha mengalihkan pembicaraan agar tidak berputar di topik yang sama. Ia tak mungkin mengatakan pada pria itu bahwa Leah yang memaksanya untuk datang, bukan? Bagaimana jika William merasa patah hati?

Ah! Itu bukan urusannya, bukan?

"Ya ... pada mulanya sakit. Sekujur tubuhku terasa sakit dan panas," keluh William, antara mengutarakan sebuah kejujuran sekaligus pancingan untuk Marion agar mengungkapkan apa yang kini ada dalam pikirannya.

Apakah gadis itu akan peduli dengan apa pun yang William ucapkan?

Mendengar itu, Marion menilik sekujur tubuh William. "Bagian mana yang sakit, Pak?"

Sungguh, Marion tak tahu harus berbuat apa selain memeriksa bagian tubuh William dengan polosnya. Ia tak sadar bahwa William mungkin saja tengah mengerjainya. Terlebih wajah cemas Marion, jelas bukan main-main.

Melihat apa yang terjadi di depan matanya, William hanya mengulum senyum. Dalam hati ia sangat puas bisa melihat sendiri bagaimana manisnya seorang wanita jika sedang mencemaskan sesuatu.

Oh, beginikah rasanya kasmaran?

Tidak, tidak! Ini bukan kasmaran melainkan hanya menguji coba. Ya, benar seperti itu. William bukan sedang jatuh cinta melainkan memastikan apa yang ada di kepala gadis itu karena ia sama sekali tidak bisa membaca isi pikirannya.

Marion sudah memeriksa beberapa bagian tubuh William dengan pindaian maniknya, seolah matanya itu adalah sinar X yang bisa menembus tubuh manusia dan menemukan di mana bagian yang bermasalah. Anggap saja seperti itu.

Lalu kini Marion bergerak ke atas. Tangannya tak bisa ia tahan untuk tidak memegang kening William demi memeriksa apakah suhu tubuh pria itu sudah turun. Saat itulah, manik keduanya bertemu, dalam atmosfer yang bergerak mengelilingi keduanya seolah mereka berada dalam satu kubah yang melindungi hingga tak akan ada yang menyentuh kecuali satu sama lain.

Momen yang istimewa dan romantis.

Marion berusaha menelan saliva yang tercekat di kerongkongannya. Memandangi manik coklat keemasan yang kini tengah menatapnya dan membuatnya seolah merasa terjebak dalam atmosfer yang diciptakan William.

"Apakah kepalamu sakit, Pak?" tanya Marion, tak mampu alihkan maniknya dari sosok menawan di hadapannya.

"Ya ... sedikit," lirih William.

"Apakah kau sudah ke dokter?" tanya Marion lagi, masih dengan volume yang hanya mereka berdua yang mendengar, saking lirihnya.

Kali ini, giliran William yang berusaha menelan kegugupan sekaligus gelegak hormonal dalam tubuhnya yang seolah nyaris menyembur. "T-tidak."

Dammit! Aroma tubuh Marion kini seolah berputar-putar di rongga hidung William. Membuat konsentrasinya terhadap manik gadis itu, terpecah sudah. Tatapannya berpindah dari mata menuju ke bibir merona merah tepat di depan matanya. Ia kembali menelan salivanya hingga tampak jakunnya yang naik turun, napas yang terembus memburu.

Aroma napas mereka bercampur dan bertukar. William tak tahu bagaimana harus bereaksi atas apa yang tersaji di hadapannya.

Haruskah ia menikmati begitu saja, atau meminta izin terlebih dahulu?

Tidak! Tidak boleh seperti itu!

Di perjanjian tak ada hal itu. Meski sebelumnya sudah pernah menjadi perdebatan antara dirinya dan Marion, nyatanya William tak ingin melanjutkan perdebatan itu sehingga ia berusaha untuk melupakan itu semua.

Marion bukanlah asisten pribadi dalam tanda kutip, seperti apa yang ia pikirkan.

Marion adalah gadis suci yang sudah ia rusak malam itu. William-lah yang mendapat kehormatan melepaskan segel kewanitaannya yang berarti ia adalah lelaki yang beruntung. Seorang lelaki sejati.

Oh, benarkah? Berapa usia Marion sekarang? Dua puluh lima, kalau tidak salah. Dan ia masih perawan. Bukankah itu berarti ia menjaganya dengan baik selama ini? Namun, mengapa ia tak menolak saat William dengan liarnya menerobos batas itu? Mengapa Marion tidak memberontak malah justru ikut menikmatinya? Dan ... ia bahkan tak keberatan, juga tak tahu jika William-lah yang telah menidurinya malam itu.

Hingga saat ini, Marion tampaknya belum tahu bahwa pria beruntung itu kini ada di depan matanya.

William kini membayangkan apa yang akan dilakukan Marion terhadapnya andai gadis itu tahu? Apakah ia akan marah? Atau ... berterima kasih dan ingin mengulangnya kembali?

Bodoh! Mana mungkin ia akan berterima kasih pada pria yang justru telan merusaknya?

Mata William tertumbuk pada sesuatu yang ada di leher Marion. Beberapa goresan abstrak yang sedikit ia lupakan dan tak pernah ia perhatikan ada di sana selama beberapa hari ini, atau bahkan mungkin akan bertahan di sana selamanya.

Tangannya menelusur goresan di leher gadis itu, membuat Marion memejamkan mata, menikmati sensasi sentuhan antara kulitnya dan jemari pria itu.

Dada Marion mulai bergemuruh, tetapi sekuat tenaga ia menahan diri agar tak meloloskan desahan yang mungkin akan ia sesali nantinya. Tak hanya di leher, William kini meraih tangan Marion dan melihat goresan yang sama pada pergelangan tangan bagian dalam gadis itu.

"Apa ini?" tanya pria itu, masih ... dengan volume yang terdengar halus di telinga Marion. Memanjakannya yang selama ini mendengar hanya suara bass dari pria itu. William ternyata bisa bicara begitu lemah lembut.

Manik hazelnya mengerjap samar. "Aku tak tahu, Pak. Tanda itu ada sejak malam pesta perusahaan. Uh, tidak ... melainkan di pagi harinya."

William tertegun mendengar penjelasan Marion barusan. Ia bahkan tak ingat telah meninggalkan bekas itu di tubuh Marion.

"Bagian mana lagi yang memiliki bekas ini?" tanya William, bertubi sejak tadi karena ia tak bisa lagi menahan rasa penasaran yang mengganggunya setalah melihat tanda itu.

Tunggu! Apakah itu benar sebuah tanda? Ataukah ia lakukan tanpa sengaja? Dan jika memang tanpa sengaja, apakah bisa disebut tanda yang berarti ia tak perlu lagi menandai Marion karena gadis itu jelas miliknya sekarang?

Marion menatap William, ragu. Dengan gerakan sangat perlahan ia membuka kancing kemejanya, berniat menunjukkan bekas lain yang tertinggal dari malam itu. Ia tak menyadari, apa yang ia lakukan kini membuat William menelan air liurnya melihat kulit mulus kemerahan yang mulai terlihat di balik kemeja satin yang dikenakan gadis itu.

Mangsa berada di sarangnya, menyerahkan diri, dan mungkin siap untuk diterkam olehnya.

Next chapter