webnovel

22. Makan Malam

Reygan menoleh. Dia melihat Aneska yang menunduk. "Gue udah dengar sejak lama soal Sonia. Tapi sejak gue lihat dia nangis di belakang sekolah, gue takut dia jadi gue. Apalagi dia perempuan. Gue takut dia lari ke hal-hal negatif. Tapi justru gue yang jadi alasan atas semua kesedihan dia."

"Tapi semenjak kenal lo, dia sedikit berubah. Bisa senyum."

"Lihat seminggu yang lalu Sonia berdiri di sana," Reygan menatap lurus. "Jujur, gue juga pengen lompat bareng dia waktu itu. Tapi gue nggak seputus asa itu. Bukan begitu cara menghukum orangtua kami. Lompat dari atas sini nggak akan menyelesaikan masalah apapun."

Lalu pikirin Aneska melayang ke kejadian waktu itu. Bagaimana dia melihat situasi hanya dari sudut pandang Sonia. Menganggap jika yang menangis-lah yang paling tersakiti waktu itu. Sementara dia mengabaikan dari sudut pandang Reygan. Dia bahkan menghakimi lelaki ini sesuka hati. Tanpa tahu apa-apa, dia berani bicara macam-macam. Karena mungkin saja Reygan yang paling terluka. Dan dia menaburi luka itu dengan garam.

Reygan menjaga dan melindung Sonia, hanya untuk kemudian tahu jika justru mamanya-lah yang menjadi penyebab hancurnya hidup Sonia.

"Gue minta maaf." Aneska mengangkat kepalanya dan menolah. Reygan masih menatapnya. "Gue jadi orang sok paling tahu waktu itu."

"Coba lo nggak datang, gue emosi dan Sonia mungkin udah lompat ke bawah."

"Ya tapi gue udah ngejudge lo macam-macam."

"Dengan ngembaliin foto ini dua kali ke gue, itu udah cukup, Nes. Cuma foto ini yang tersisa. Foto keluarga kami satu-satunya."

****

"Nes, makan, Nes!"

Tidak ada sahutan.

"Oyyy! Makan malam nggak lo?"

Maya malas jika harus naik ke lantai dua hanya untuk mengajak Aneska makan. Biasanya juga anak itu yang paling rajin membantu Mama di dapur. Ini tumben dia tidak lihat batang hidungnya sejak tadi.

"Kamu susulin gih ke kamarnya. Mungkin masih tidur."

"Nanti kalau lapar juga bangun sendiri, Ma."

Mama menyerah jika harus menyuruh Maya. Kemudian dia menoleh ke anak lelakinya yang sudah menumpuk nasi di piring. Bebas. Papa sedang keluar kota, baru akan pulang lusa. Makanya tadi Maya berani teriak-teriak di meja makan. Tidak ada Papa.

"Nan, tengok adikmu sebentar."

Kinan gagal menyendok lauk, mendengar titah Mama, dia langusng berdiri. Tapi tidak jadi karena orang yang dicari sudah muncul di tangga.

"Astaga, Anes!" Mama kaget. Dia hendak duduk tapi disuguhi pemandangan sosok berambut hitam yang seperti singa, sedang duduk di anak tangga paling atas.

Maya yang menoleh juga mengumpat. "Kambing lo, Nes!"

Kinan tidak peduli. Dia sibuk dengan piringnya sendiri.

"Huss. Kamu kalau ngomong dijaga." Mama memperingatkan. "Itu adikmu. Bukan kambing."

Maya hanya bergumam.

"Mama masak apa?" Anseka bertanya seraya mengucek mata. Dia masih di sana, belum beranjak turun. Masih mengumpulkan nyawa. Dia merenggangkan badan ke sana ke mari. "Kok nggak ada yang bangunin aku?"

Maya diam daripada tidka bisa menahan diri menghina adiknya.

"Kamu cepetan turun. Cuci muka. Terus makan. Sebelum lauk habis sama Mas Kinan."

Aneska baru menyadari fakta itu. Dia menyibak rambut yang menghalangi pandangan kemudian bergegas turun. Tidak akan dia biarkan!

"Jorok banget sih, Nes. Sana cuci muka. Mula iler semua itu!" Maya tentu saja harus nyinyir, karena Aneska duduk di sebelahnya. Apalagi Aneska belum mandi. Jorok.

Aneska berlari ke kamar mandi di dekat dapur. Mencuci wajah secara kilat kemudian duduk tenang di kursi. Dia menatap lauk di atas meja satu per satu. Cacing di perutnya bersorak senang.

Dia sudah meraih centong nasi, tapi teringat sesuatu. "Ma."

"Kenapa, Nes?" Mama menatap Aneska yang hanya diam dengan centong nasinya.

"Reygan pasti belum makan."

Mama mengerti kode itu. "Mau makan di sana aja? Mama bungkusin kalau gitu."

Aneska meringis senang. Maya mendengus. "Kayak gitu cuma temen? Kids jaman now."

Sindiran itu dibalas dengan juluran lidah.

"Jorok, Anes! Itu ludah lo nyiprat ke piring gue!"

Namanya juga Maya. Apa-apa dibikin masalah. Kalau nggak ada masalah, ya nanti dia bikin masalah sendiri. Satu rumah sudah hafal tabiatnya.

"Nih." Mama kembali dari dapur dengan satu set Tupperware. "Mama bikin puding pisang tadi. Tapi ludes sama Mas kamu."

"Anes kan juga belum ngerasain. Dasar kulkas dua pintu gadungan!" Aneska bingung harus menjuluki kakak laki-lakinya itu dengan apa. Makannya super banyak, tapi entah lari ke mana semua makanan itu. Badannya tetap ideal seperti mas-mas tukang fitnes. Tidak adil!

Para perempuan yang ingin menjadi istri Mas Kinan. Tolong dipikirkan kembali.

Mama mendorong bahunya agar lekas pergi. "Besok lagi Mama bikin yang banyak."

Kinan sempat menjulurkan lidah ketika dia melangkah pergi.

Jalanan aspal masih basah. Sisa hujan tadi siang hingga sore. Makanya Aneska bisa tidur siang hingga kebablasan. Cuaca mendukung.

Butuh wajktu dua menit untuk sampai di depan rumah reygan. Aneska sebenarnya hanya iseng. Dia tidak yakin apakah Reyfan sudah makan atau belum. Bisa saja mamanya pulang lebih awal. Atau mungkin Reygan sudah pesan makanan.

Ah, tahulah. Yang penting menggeser gerbang dan mengetuk pintu. Ketukan ketiga, belum ada sahutan dari dalam. Karena masih setengah mengantuk, Aneska baru melihat bel putih di sisi kanan pintu. Coba Maya ada di sini, dia sudah dikata-katai.

Pintu akhirnya terbuka. Reygan muncul dengan handuk di kepala. "Ngapain lo?"

Ah, iya. Reygan tetaplah Reygan yang biasa. Jangan harap setelah cerita menye-menye di atas sekolah tadi, dia akan berubah jadi manis. Salah besar!

Aneska seperti ditampar dengan daun pintu. Reygan masih menunggu jawaban. Dar ekspresinya seolah bilang; kalau nggak penting, gue tutup pintunya sekarang.

"Gue bawa makanan."

Barulah pintu dibuka lebar. Reygan melangkah lebih dulu.

"Kamar gue berantakan. Makan di teras belakang aja."

Ini orang aneh ya. Sejak dulu. Kalau makan ya di meja makan. Bukan di balkon atas, dan sekarang di teras belakang. Baiklah.

"Belum mandi lo?"

Aneska reflek mencium dirinya sendiri. "Bau kecut?"

"Nggak juga." Reygan santai makan di sebelah Aneska.

Aneska juga melanjutkan makannya. "Gue baru bangun."

"Mama lo suka masak?"

"Suka. Ada gentong di rumah soalnya."

"Perasaan di rumah lo nggak ada gentong." Reygan berkata polos.

"Mas Kinan."

"Oh."

"Makannya banyak. Ngalahin satu RT."

Reygan ingin tertawa tapi takut tersedak. "Kok bisa? Sama lo kan gendutan lo."

"JADI GUE GENDUT?"

"Ya apa salahnya gendut?"

"Jawab!"

"Apanya yang harus dijawab?"

"Gue gendut atau nggak?"

Reygan meletakkan piringnya di pangkuan, dia mengangkat kedua tangannya. Dia menimbang-nimbang, membentuk jarinya menjadi kubus. Lalu mendecak. Aneska gemas menunggu. "Gendut kalau lo berdiri di samping Maura."

Next chapter