webnovel

Matahari Untuk Aletta

Author: Alexayo_
Urban
Ongoing · 140.4K Views
  • 398 Chs
    Content
  • 5.0
    12 ratings
  • NO.200+
    SUPPORT
Synopsis

WSA Indo 2022 #CEO —— Aletta Coline, gadis berusia 25 tahun, akhirnya pulang ke Indonesia setelah 8 tahun menetap di New York. Kehidupannya di kota yang sama dengan 8 tahun lalu, Jakarta, awalnya baik-baik saja sampai dia dipaksa untuk datang oleh sahabatnya ke reuni SMA. Pertemuan tak terduga dengan Arkhano, matahari bagi Aletta, yang juga datang ke reuni tersebut sukses membangkitkan kenangan yang telah lama dipendam oleh Aletta, cinta pertama yang belum sempat diutarakan. Tapi, ada yang aneh setelah acara reuni itu. Kenapa dia dan Arkhano malah sering bertemu di berbagai kesempatan? Apa takdir ingin mempermainkannya lagi? #Baca saja dulu. Siapa tahu kamu akan jatuh cinta dengan novel ini? Untuk melihat visualisasi tokoh di novel ini, silakan lihat di IG @alexayo81

Chapter 1Aletta

***

New York, 21.09 EDT

Kamar berwarna putih dengan lampu yang cukup redup itu terlihat berantakan. Pakaian dan barang-barang terlihat berserakan di sana sini. Seorang gadis berambut cokelat sepunggung dengan gurat-gurat kedewasaannya sedang melipat pakaian-pakaian tersebut dan memasukkannya ke dalam koper hitam besar.

"Kenapa masih banyak juga?" tanya gadis itu pada dirinya sendiri saat melihat banyak barang dan pakaian yang belum dimasukkan ke dalam koper.

"Ukh, harusnya semua ini sudah selesai daritadi." Gadis itu melihat jam digital yang sudah menunjukkan waktu malam.

Tok, tok, tok

"Aletta," panggil seseorang yang mengetuk pintu kamarnya.

Gadis bernama Aletta itu menghentikan pekerjaan sejenak, memandang ke arah pintu. "Buka saja, Ma. Aku tidak mengunci pintunya."

Pintu itu terbuka. Menampakkan seorang wanita berusia lima puluh dua tahun dengan kacamata berbingkai hitam, Stefani namanya, ibu Aletta.

"Belum selesai? Kita kan berangkat jam lima pagi." Stefani masuk dan duduk di pinggir ranjang

"Profesor mengajak bertemu tiba-tiba. Aku baru pulang setengah jam lalu dan langsung membereskan semua ini." Aletta bangkit untuk mengambil pakaiannya yang masih berada di lemari. "Aku tidak akan tidur sebelum semuanya selesai. Kalau Mama mengantuk, tidur saja. Aku akan pasang alarm agar tidak kesiangan."

"Profesor Hammington?" tanya Stefani mengangkat sebelah alis.

"Ya." Aletta mengambil beberapa gantung baju, kemudian meletakkannya di atas kasur sebelum melipatnya.

Mata Stefani tertuju pada seikat Bunga Lily di atas laci kecil di samping tempat tidur. "Memberikan Lily padamu?"

"Dan menyatakan perasaannya," tambah Aletta dengan nada datar. Tidak senang ataupun marah.

"Kamu menerimanya?"

"Tentu saja tidak. Aku menolaknya." Aletta duduk di pinggir ranjang dan melanjutkan pekerjaannya. "Tapi, profesor memintaku untuk menerima bunga itu. Aku tidak enak kalau terus-terusan menolak. Pada akhirnya, kuterima juga."

"Kamu menyukainya?"

"Apa aku terlihat seperti orang yang menyukai profesor?" tanya Aletta tanpa menatap Stefani.

"Yah... itu tidak. Kamu bahkan tidak banyak berekspresi saat membicarakannya."

"Ya, Mama benar. Aku tidak memiliki ketertarikan pada profesor. Dia hanya seorang profesor, dosenku di kampus, tidak lebih dan tidak kurang. Lagipula aku tidak punya niat untuk menjalin cinta dengan siapapun untuk saat ini."

Stefani menatap putrinya dengan rinci. "Kamu...."

Aletta menghentikan pekerjaan dan balik menatap Stefani. "Kenapa menatapku seperti itu, Ma? Apa ada yang salah dengan ucapan ku?"

"... tidak." Stefani menggeleng kecil. "Aku hanya merasa bersalah padamu dan profesor."

Aletta terkekeh kecil dan kembali melanjutkan pekerjaannya. "Bersalah kenapa?"

"Kamu tahu, kan... aku cukup menyukai Profesor Hammington. Dia pria yang baik dan tanpa sadar aku mendukungnya denganmu."

Aletta tersenyum kecil. "Profesor memang pria yang baik. Aku tahu keinginan Papa dan Mama. Melihat putri tunggalnya tidak pernah menjalin hubungan spesial dengan siapapun, pasti ada perasaan gelisah." Dia memasukkan pakaian yang telah dilipatnya ke dalam koper,kemudian berdiri, berjalan ke arah lemari untuk mengambil barang-barang penting yang tersisa di sana.

"Aku tahu, Ma. Mungkin memang belum waktunya untukku menemukan pria yang tepat."

"Tapi, Ale--"

Tak

Selembar foto terjatuh saat Aletta meraba-raba tingkat ke dua pada lemari. Pandangan Aletta dan Stefani sama-sama tertuju pada foto yang terjatuh itu.

Mata Aletta bergetar panik. Dia langsung menunduk dan mengambilnya, kemudian menyelipkannya ke dalam pakaian lain, berpura-pura seolah tak ada yang terjadi.

"Kamu masih menyimpan foto itu. Mama kira kamu sudah melupakannya. Ternyata terpisah oleh jarak dan benua tidak menghapus ingatanmu tentangnya," ujar Stefani di tengah kecanggungan tersebut.

Tangan Aletta berhenti bergerak. Tatapannya berubah menjadi sendu. Bibirnya terasa sedikit kelu, tetapi dia menjawabnya dengan mantap.

"Kamu tahu, Ma. Cinta pertama itu sulit untuk dilupakan."

***

Bel rumah berbunyi berkali-kali. Aletta yang saat itu baru selesai mandi berjalan menuruni tangga, melewati ruang tamu sambil bergumam kesal. Sudah ditinggal sendirian di rumah, ada seorang pengganggu yang tidak tahu sopan santun pula.

"Tunggu sebentar!" seru Aletta yang langsung meraih kunci dan membuka pintu. Gadis berusia lima belas tahun itu tersentak kaget melihat laki-laki dengan wajah mengantuk berdiri menjulang di depan pintu rumahnya.

"Siapa?" tanya Aletta seraya memasang alarm bahaya. Dia belum pernah melihat laki-laki ini sekalipun.

Laki-laki itu tidak segera menjawab. Tangannya mengulurkan satu kantung plastik berwarna putih yang memiliki harum masakan. Pandangan Aletta tertuju pada plastik tersebut.

"Tetanggamu. Keluarlah sekali-kali, jangan hanya di rumah seperti ayam."

"Hah?" kaget Aletta. Dia bahkan tidak kenal siapa laki-laki di hadapannya. Ini pertemuan pertama dan laki-laki itu sudah mengomentarinya seakan-akan mereka sudah akrab. "E--eh?" Tangan Aletta ditarik untuk mengambil kantung plastik tersebut.

"Ambillah. Aku cukup lelah menunggumu," ujar laki-laki yang wajahnya masih terlihat mengantuk itu.

Aletta menatap plastik tersebut, kemudian beralih menatapnya. "Thanks. Mama Papa sedang tidak di rumah. Aku tidak bisa menawarkanmu untuk masuk, sorry."

Laki-laki itu memasang raut terkejut. Terdiam sejenak, kemudian tertawa seraya memegangi perut. Dia menatap Aletta dengan tak percaya.

"God... aku baru pertama kali bertemu perempuan sepertimu. Terlalu kaku, kamu tahu itu?"

Aletta mengerutkan kening karena ucapan laki-laki berbaju merah itu.

"Memangnya salah? Sebagai perempuan, aku juga harus waspada dengan laki-laki  sepertimu. Bahaya. Tahu, kan?" balasnya dengan berani.

Laki-laki itu berhenti tertawa. Dia menatap Aletta cukup lama sampai gadis itu mengerutkan alis.

"Kenapa menatapku seperti itu? Kamu aneh," ujar Aletta dengan pandangan tak nyaman.

Laki-laki itu tersenyum. Dia mengulurkan tangan. "Aku Arkhano. Sepertinya kita cocok untuk menjadi teman."

Aletta menatap uluran tangan tersebut. "Aletta. Sorry, tidak bisa membalas uluran tanganmu. Tanganku sedang memegang plastik."

"Yang satunya lagi?"

"Memegang gagang pintu."

"Kamu bisa melepasnya dulu, Letta."

Alis Aletta berkedut. "Namaku Aletta, bukan Letta! Dan tangan satu lagi untuk jaga-jaga kalau kamu semakin aneh!" serunya.

Lagi-lagi Arkhano tertawa. Membuat Aletta bertanya-tanya, memangnya apa yang lucu, sih?

Tangan Arkhano tak kunjung dijabatnya, laki-laki itu memutuskan untuk menarik uluran tangannya.

"Oke, Letta. Aku pergi dulu. Sampai bertemu besok!" pamit Arkhano berjalan mundur sambil melambaikan tangan, keluar dari halaman rumahnya.

Aletta tidak menjawab. Dia terus mengerutkan kening dengan kelakuan Arkhano. Gadis itu memandangi kepergian Arkhano sampai laki-laki itu masuk ke rumah yang berada di seberangnya.

'Oh, tetangga seberang?' batin Aletta seraya menutup pintu dan menguncinya.

***

Sekarang Aletta tahu kenapa laki-laki itu mengucapkan salam berpisah 'sampai bertemu besok'.

"Hai, Letta!" sapa Arkhano mendekati Aletta yang sedang makan di kantin bersama dengan Gea, sahabatnya.

Aletta memasang wajah terkejut, sementara Gea bertanya-tanya siapa gerangan laki-laki yang tiba-tiba datang ke meja mereka dengan senyum lebar.

"Kamu...? Sekolah di sini?" tanya Aletta menjeda makan siangnya.

"Iya. Kan kemarin sudah kukatakan, 'sampai bertemu besok'. Dan, yeah, aku sekolah di sini. Bagaimana bisa kamu tidak menyadari tetanggamu sekolah di sini?" jawab Arkhano seolah-olah bukan suatu masalah berbicara seperti itu.

"Yah, itu bukan urusanku juga," balas Aletta sambil merotasikan mata, malas.

Gea menyenggol kaki Aletta. "Siapa?" tanyanya dengan gerakan bibir.

Melihat dasi yang dipakai Arkhano, jelas laki-laki itu kelas dua SMA. Satu tingkat di atas Aletta dan Gea, senior mereka.

"Arkhano. Tetangganya Letta. Baru menjadi temannya kemarin sore," jawab Arkhano ramah.

"Oh, halo, Kak Arkhano! Aku Gea, sahabatnya Aletta," sapa gadis berambut pendek yang langsung menghentikan makan siangnya begitu Arkhano sampai di meja mereka.

"Santai saja. Tidak perlu memanggilku dengan sebutan kakak. Aku tidak terlalu suka itu," ujarnya menanggapi Gea. Arkhano menoleh pada Aletta dan memanggilnya, "Letta."

Aletta tidak menjawab karena merasa itu bukan nama panggilannya. Dia melanjutkan makan siang, seolah-olah kehadiran Arkhano tidak pernah ada di sana.

"Letta," panggil Arkhano lagi.

Sudut bibir Aletta berkedut. Gea hanya menatap mereka dengan bingung.

"Aletta!" panggil Arkhano yang ke tiga kalinya.

"Apa?!" jawab Aletta menoleh dengan raut kesal.

Arkhano terkekeh kecil. "Katanya teman, kenapa pura-pura tidak kenal?"

"Ya kamu memanggilku Letta. Sudah kukatakan, namaku Aletta, bukan Letta."

"Panggil Ale saja. Itu nama panggilannya yang lain," ujar Gea yang menengahi. Membuat Aletta menggenggam erat garpu dan mengarahkannya pada Gea, bermaksud untuk mengancamnya. Hanya Gea yang menyadari hal itu, membuat bulu kuduknya berdiri.

"Oh... oke, Ale."

Aletta menghela napas pasrah. "Kenapa?"

"Kamu punya baju olahraga, kan?"

"Punya."

"Yey! Pinjam dong!"

Aletta mengerutkan alis. Menatap Arkhano dengan raut aneh. "Sebelum bicara, ada baiknya untuk memikirkannya dulu. Tubuhmu sebesar itu, dan kamu mau meminjam bajuku? Yang benar saja," keluh Aletta pada laki-laki yang tubuhnya dua kali lipat lebih besar daripadanya.

"Ah, bukan untukku kok?"

Aletta menaikkan sebelah alis. "Untuk siapa?"

"Seorang perempuan di kelasku. Dia lupa membawa baju olahraga. Kebetulan posturnya mirip denganmu. Boleh, ya, Ale?"

Aletta menatap makan siangnya. "Aku tidak ada jadwal olahraga hari ini."

"Yah... harusnya kamu mengatakannya sejak tadi." Nada bicara Arkhano tampak kecewa. "Uh, aku harus pinjam dengan siapa, ya? Kasihan sekali kalau dia tidak bisa ikut olahraga karena lupa membawa bajunya. Yang lebih parahnya lagi, dia bisa dihukum oleh guru olahraga."

Aletta dan Gea bertatapan satu sama lain. Aletta mengode sahabatnya dengan kedipan mata. Untungnya, Gea langsung bisa menerimanya dengan tanggap.

"Ah, kelas 10 MIPA-2 ada jadwal olahraga hari ini. Mungkin kamu bisa mendapatkan baju pinjaman di sana," sahut Gea sambil tersenyum kecil pada Arkhano.

"Begitu? Hmm, makasih Gea, Ale." Laki-laki itu langsung berlari keluar dari kantin, menuju kelas 10 MIPA-2 yang berada di lantai tiga.

Gea sempat menatap kepergian Arkhano, kemudian beralih menatap sahabatnya yang makan siang seolah tidak bersalah.

"Ale, bukannya kamu menyimpan baju olahraga di lemari kelas?"

"Kamu juga menyimpannya di sana, kan? Kenapa tidak kamu saja yang memberikan pinjaman padanya?" Aletta bertanya balik.

"Ya, karena aku baru kenal dengannya. Aku juga tidak tahu siapa perempuan yang dia maksud. Bukannya berprasangka buruk, tapi kalau kakak kelas meminjam sesuatu, mereka seolah-olah lupa kalau barang yang mereka pinjam itu milik orang lain."

"Nah, itulah mengapa aku tidak bisa meminjamkan bajuku." Aletta meletakkan sendok dan garpu di atas piring, kemudian mengelap bibirnya menggunakan tisu. "Aku baru mengenalnya kemarin sore, tapi laki-laki itu bertingkah seperti sudah mengenalku sejak lama."

Gea menatap Aletta tanpa berkedip. Hampir tak bisa berkata-kata dengan jawaban Aletta.

"Kupikir kamu akan meminjamkan karena wajahnya tampan. Bukan begitu?"

"Kamu pikir aku apa?"

Gea terkekeh kecil. Dia menatap piring Aletta yang masih tersisa makanan. "Tidak makan lagi?"

"Sudah tidak nafsu. Kamu makan saja. Aku akan menunggumu sampai selesai," ujar Aletta sambil mengeluarkan ponsel dari saku roknya.

———

You May Also Like

Menikah dengan Saudara Tiriku yang Miliarder

``` Pada hari pernikahannya dengan kekasih masa kecilnya, Natalie Ford menerima hadiah yang tidak terduga: sebuah sertifikat pernikahan. Ternyata ia sudah menikah dengan seorang yang sama sekali tak dikenal—Aiden Handrix. Sementara para tamu pernikahan terus mengejek dan menghina, kekasihnya Ivan memutuskan untuk meninggalkannya, memilih untuk menikah dengan saudara tirinya Briena. Untuk menambah cobaan, ia diusir dari rumahnya sendiri. Untuk membuktikan kepolosannya, Natalie Ford hanya bisa mengambil satu tindakan - ia harus menemukan Aiden Handrix yang misterius ini dan menuntaskan semua ini! Keesokan harinya, ada berita yang trending di TV. Justine Harper, ahli waris keluarga terkaya di Bayford kembali ke rumah. Mata Natalie menyipit ke layar TV. 'Mengapa pria ini tampak persis seperti pria di foto sertifikat pernikahan saya?' Dalam usahanya menguak misteri pernikahan yang dikatakan itu, ia memutuskan untuk mengikutinya dan bertanya secara langsung. “Apakah kamu sudah menikah?” “Tidak.” “Apakah kamu punya saudara kembar?” “Tidak?” “Kebetulan kamu pernah mendengar nama Aiden Handrix?” “Tidak.” “Lalu, siapa sebenarnya kamu ini?’ “Adikmu.” “Tunggu, apa?” “Ya. Sekarang kemas barang-barangmu dan pulang bersamaku.” Pertama-tama mendapatkan suami secara tiba-tiba dan sekarang seorang saudara dengan wajah yang sama? Apakah tuhan menciptakan klon dan menawarkannya pada dia dengan hubungan yang berbeda? ```

Sera_b17 · Urban
Not enough ratings
297 Chs

Pernikahan Elite Penuh Cinta: Suami Licik, Istri Manis Penyendiri

Wen Xuxu adalah seorang wanita ulet, berbakat, cerdas dan berani yang diasuh oleh keluarga Yan pada usia empat tahun ketika dia kehilangan kedua orang tuanya. Dibesarkan untuk menjadi penerus konglomerat besar, Yan Rusheng adalah seorang pria penyendiri, cerdas dan sombong yang merupakan seorang bujangan paling dicari di ibu kota. Meskipun tumbuh bersama, keduanya seperti saling memperlakukan dengan buruk. Wen Xuxu mengecap Yan Rusheng sebagai seorang yang berengsek dan penakluk wanita, sementara di mata Yan Rusheng, Wen Xuxu adalah seorang wanita pemarah. Seiring waktu, mereka saling jatuh cinta, tetapi mereka tetap menyembunyikan perasaan mereka satu sama lain. Karena sebuah nasib, mereka dipaksa untuk menikah. Dan tidak diketahui oleh orang lain dan Yan Rusheng, Wen Xuxu telah menyembunyikan rahasia yang mendalam selama bertahun-tahun .... Kata kunci: Kekasih masa kecil, Penakluk Wanita, Penyendiri, Belahan Jiwa, Pernikahan Paksa, Anak Yatim, Sekretaris Adegan Manis: Tiba-tiba, Wen Xuxu mengulurkan tangannya untuk mencengkeram dan menarik pergelangan tangan Yan Rusheng dengan paksa. Yan Rusheng tertangkap basah dan dia kehilangan pijakannya. Dia jatuh di tempat tidur dan kemudian napasnya melambat. Tuan Muda Yan takut bahwa dia mungkin kehilangan kendali atas dirinya dan melakukan sesuatu pada Wen Xuxu ... wanita yang dibencinya. Oleh karena itu dia buru-buru mengangkat kepalanya. Tetapi dia belum sempat bergerak menjauh ketika Wen Xuxu mengulurkan tangan dan melingkarkannya ke leher Yan Rusheng. "Jangan pergi."

Wei yang · Urban
4.6
1998 Chs

Tuan, Bagaimana Dengan Pernikahan?

Pada puncak karirnya, aktris A-list Song Ning mengumumkan pengunduran dirinya dari industri hiburan demi cinta, menggemparkan seluruh negara. Semua orang berpikir bahwa dia pasti telah menemukan rumah idamannya. Itulah mengapa dia begitu bertekad. Semula, Song Ning juga berpikir demikian. Untuk sisa hidupnya, dia tidak akan menjadi seorang selebriti. Dia hanya akan menjadi wanita yang baik dan berbudi luhur yang akan merawat suami dan anak-anak di rumah. Namun, pada malam sebelum pernikahannya, dia mengetahui bahwa tunangannya berselingkuh dengan sahabatnya. Dalam amarah, Song Ning menemukan seorang pria secara acak untuk mendaftar pernikahan mereka di pintu masuk Biro Urusan Sipil. Dia awalnya ingin membalas dendam pada tunangan bajingannya itu, tetapi dia tidak menyangka bahwa pria yang mendaftarkan pernikahannya dengan dia adalah pewaris grup keuangan terbesar di negara itu, Mu Chen. Setelah mereka menikah, Mu Chen sangat menyayangi Song Ning dan melindunginya dengan segala cara yang mungkin. Dia tidak mengizinkan siapa pun untuk mengganggunya. Song Ning selalu berpikir bahwa dia akan bahagia seumur hidupnya dan menjalani kehidupan terbaik yang dia inginkan. Benar, dia mendapatkannya. Hanya saja sedikit berbeda dari apa yang dia bayangkan semula. Orang yang memberikan segalanya kepadanya adalah orang lain. Bertahun-tahun kemudian… Song Ning menatap Mu Chen dengan penuh kasih sayang. "Aku benar-benar beruntung. Terima kasih Tuhan aku bertemu denganmu dan menyelamatkanku dari neraka." Mu Chen tersenyum lembut. “Ya, bersyukur kepada Tuhan.” Namun, Song Ning tidak akan pernah tahu. Mu Chen tidak berbicara tentang berterima kasih kepada Tuhan karena membiarkan dia bertemu Song Ning. Dia berterima kasih kepada Tuhan karena membiarkan tunangan Song Ning berselingkuh sehingga dia memiliki kesempatan. Tidak ada yang namanya pertemuan yang tidak disengaja. Itu hanyalah sebuah pengejaran yang direncanakan sebelumnya. Hari itu, dia menunggu Song Ning di luar Biro Urusan Sipil selama sepuluh jam…

Mountain Springs · Urban
Not enough ratings
524 Chs
Table of Contents
Volume 1