webnovel

Bab 6 Jarak ~ Apartemen

Alex membawa petasan kecil, lalu ia menaiki tangga untuk sampai di lantai dua. Jendela itu ia buka, lalu menghidupkan korek dan menyulut petasan, ia melemparnya tepat di halaman belakang rumah ini.

Kulihat para mayat hidup itu berlari ke arah belakang, menghampiri petasan yang masih berulang kali Alex lemparkan. Aku membantu membuka pintu depan yang diganjal, lalu menaiki mobil yang terparkir di depan, Alex segera menyusul dan kami pergi tanpa satupun dari mayat hidup yang tahu.

Jalanan cukup sulit dilewati, beberapa mobil berserakan. Mayat yang mati sudah seperti sampah yang tak dibuang pada tempatnya. Bau menyengat jelas sekali menusuk hidungku.

"Setelah menemukan dua temanmu itu, kita akan ke mana?" aku menanyakannya hanya untuk tahu ke mana mereka akan pergi. Soal dua orang itu, aku tak peduli lagi.

"Zona hijau," jawab Alex.

Aku diam. Zona hijau katanya? Omong kosong, yang kutahu semua itu hanya kebohongan publik. Walau aku tidak tahu pasti, tetapi aku tetap tak percaya.

"Kami takkan pergi ke sana tanpa dua teman kami itu." Helena terlihat sangat peduli. Sementara aku, aku merasa sedikit bersalah, tak enak hati jika kuterus bersama mereka.

Ah, setelah kupikir lagi, aku seharusnya tidak takut, lagipula kedua orang itu yang bersalah. Namun, apa yang kulakukan itu sudah benar?

"AWAS!"

Lamunanku buyar, setelah teriakan itu, ada sesuatu yang menabrak sisi kanan mobil dengan kuat. Ketika aku menatapnya, tentu saja satu mayat hidup yang mengetahui keberadaan mobil ini, bercak darah mengotori kaca, sementara mayat yang tertinggal di belakang itu terlihat bangkit berdiri, lalu berlari mengejar lagi.

"Udah gue bilang, naik mobil itu bukan pilihan bagus!" Si pria botak terlihat kesal.

Aku berada di kursi kedua sebelah kiri, di sampingku adalah Alex. Yang menyetir Wawan, dan sedang berseteru dengan Bobianto yang ada di kursi paling belakang.

"Kalian bisa diem, gak!?" Helena, yang ada di samping Alex berteriak. Sekaligus menyadarkan kami, bahwa di depan sana, gerombolan mayat hidup sedang berkumpul.

Alex menginjak rem secara mendadak. Untungnya jarak kami masih cukup jauh, dan sepertinya gerombolan itu sedang memakan sesuatu, jadi kami selamat.

Satu mayat hidup yang mengejar kami tadi menabrakkan dirinya ke mobil ini. Aku tidak tahu harus berbuat apa, satu hal yang harus kami lakukan.

"CEPAT KELUAR DARI SINI!" aku berteriak sekuat tenaga, lalu membuka pintu. Aku sudah menggenggam satu linggis, langkahku dengan cepat sampai di samping mayat yang masih sibuk ingin masuk ke dalam mobil, lalu kuhantamkan linggis tumpul itu ke arah kepalanya, berkali-kali.

Kepalanya masih keras, entah sudah berapa kali aku memukulnya. Hingga seseorang menghentikanku, "Hei! Lo sudah ngebunuhnya!"

Napasku tersengal-sengal. Kuusap wajahku dengan lengan kiri, bau amis sedikit membuatku mual dan cairan hitam kental kembali membasahi tubuhku.

"Cepat!" Teriak Helena, aku melihat mereka telah berada di sebuah gang, di antara dua gedung yang tidak terlalu tinggi.

Alex menarik tanganku kuat. "Anjing! Lo mau mati, hah!?"

Tidak, tentu aku masih mau hidup. Pria dengan tatapan tajam itu melepaskan tanganku, ia segera mengikuti teman-temannya ke arah gang. Sementara napasku masih belum kembali normal.

Pendengaranku tidak salah, saat aku melihat ke arah belakangku. Mayat-mayat hidup itu menuju arahku. Aku segera berlari ke arah gang itu, tetapi mereka sudah tak terlihat lagi, entah ke mana.

Ada sebuah tangga di samping kananku. Aku menaikinya menuju lantai dua gedung ini, lalu saat sampai di atas, kubuang tangga itu agar mereka tak dapat menggapaiku.

Satu fakta tentang para mayat itu, mereka tidak bisa memanjat. Mereka bodoh, lalu ya, mereka masih di bawah sana, mencoba meraihku.

Aku mengatur napasku yang masih begitu berat. Kutatap gedung ini, sementara tepat di belakangku ada pintu yang terbuat dari kaca, kupegang gagang pintu itu, mendorongnya, menariknya, tetapi percuma.

Tanpa mempedulikan erangan para mayat, kuhantamkan linggis tepat ke kaca pintu, cukup tebal, tidak hanya butuh satu hantaman. Saat pecah, satu kaca seukuran telapak tangan terlempar ke bawah, setelah kulihat, benda tajam itu menancap pada mata salah satu mayat.

Tentu saja mayat itu tak bereaksi, tidak mungkin akan kesakitan. Mereka itu tetaplah mayat, yang takkan mati jika otaknya belum dihancurkan. Aku mengetahui fakta ini dari pengalamanku sendiri.

Kulihat ruangan yang gelap itu, setelah kurasa aman, aku masuk perlahan. Menapakkan kakiku ke dalam lantai yang sudah berdebu. Sementara aku sudah bersiap, menggenggam linggis penuh darahku.

Aku tak boleh sedikitpun merasa aman di situasi saat ini, atau nyawaku menjadi taruhannya. Aku hanya perlu bersiaga, tetap melangkah dan bersiap jika sesuatu datang secara tiba-tiba.

Entah kenapa otakku menyuruhku agar langsung ke dapur. Saat tiba di sana, kubuka kulkas dan beberapa makanan masih tersedia.

Aku belum begitu lapar, karena itu langsung kuambil buah-buah yang masih segar. Air dalam botol, lalu makanan dalam kaleng. Untuk sayuran, aku tidak membutuhkannya, bukan tidak mau, tapi tidak sempat jika harus memasaknya terlebih dahulu. Semuanya kumasukkan ke dalam tas punggungku yang baru.

Meong, meong, meong ....

Hampir saja kupukul kucing yang tiba-tiba saja muncul. Dia berwarna putih, setelah kulihat lagi, mata kanannya berwarna biru, sementara yang kiri kuning cerah.

Kubiarkan kucing itu. Setelah selesai mengemas makanan, aku berdiri lagi. Kudekati jendela, lalu kulihat keluar, ah, tetap saja sama, sepi di luaran sana.

Kucing itu belum pergi, malah mengusapkan kepala serta badannya ke kakiku. Ia menggigit tali sepatu, kurasa cukup lucu juga.

"Kau ditinggal maji--"

Aku tersungkur ke depan. Kepala belakangku terasa begitu nyeri, sakit, seseorang datang dan sepertinya memukulku dengan balok kayu, setelah itu balok kayu itu terjatuh ke lantai.

Aku sedikit menjauh dengan mengusap kepalaku, sepertinya berdarah. Tanganku bersiap dengan linggis, tetapi setelah kulihat, yang memukulku tadi hanya seorang anak kecil yang sedang menggendong si kucing, kini ia berlari menuruni tangga.

"Hei! Tunggu!" aku berusaha berdiri, walau itu hantaman dari anak kecil, tetap saja rasanya sakit.

Kuturuni tangga sesegera mungkin. Bocah itu terlihat masuk ke salah satu ruangan, ia menutupnya dengan kasar sampai pintu berbunyi keras.

"Pelgi! Jangan ganggu aku!"

Pintu ini terkunci dari dalam. Ia pasti ketakutan, baiklah, akan coba kutenangkan, "Aku gak akan menyakitimu, kok. Kamu pasti takut, kan? Aku orang baik, kok."

Ya, setidaknya aku orang baik. Untuk dua orang yang kubunuh, itu urusan lain. Jangan diungkit lagi.

"Bohong! Kalian bawa ayah sama ibu! Kalian jahat!"

Apa yang barusan dikatakannya? Apa aku tidak salah dengar? Seseorang telah membawa kedua orang tuanya, dan aku percaya hal itu. Hal yang diucapkan anak kecil, terutama dalam kondisi saat ini, semakin memperkuat bahwa ia tak berbohong.

Ada bulu-bulu halus di kakiku, setelahnya terdengar kucing mengeong. Kucing miliknya tertinggal di sini.

"Jangan bunuh si bilu!"

Aku sedikit tersenyum, ia belum bisa mengucapkan huruf R, "Namanya Biru, ya? Kucingmu ini lucu, kebetulan aku juga suka kucing."

Aku bohong, sama sekali aku tak suka kucing. Ini hanya agar ia mau keluar dan tidak takut terhadapku.

"Bohong!"

Sepertinya aku tak bisa membohonginya.

"Jangan bunuh si Bilu!"

"Aku gak akan ngenunuhnya, kamu masih denger suaranya, kan?"

"Iya dengel!"

"Nah. Kala--"

"Tapi nanti pasti kamu bunuh!"

Astaga.

"Kelual dali lumah ini!"

"Di sana ada orang jahat dan aku bukan orang jahat, mengerti?" Aku masih berusaha, saat ini memang butuh kesabaran.

"Semua orang jahat! Katanya kalian datang nyelametin, tapi malah aku ditinggal sendiri, telus kenapa dulu ibu sama ayah nangis!"

Aku terdiam, sepertinya banyak yang belum kuketahui. Masalah anak ini bukan hanya karena ditinggal sendiri, tapi lebih dari itu.

Aku duduk bersandar pada pintu. Si kucing segera menaiki pangkuanku, dan diam melingkar.

"Namaku Jarak, kamu tahu, aku juga kehilangan ibu dan ayahku, dan adikku yang masih SD."

Dia diam.

"Kamu masih SD juga, kan? Kayaknya kamu seumuran sama Adikku, kalau boleh tahu, siapa namamu?"

Diam diam.

"Kamu pasti takut, kan? Tentu saja, jangan pernah merasa aman, ya. Lebih baik kamu tetap begini, jadi kamu bisa menjaga diri sendiri."

"Si Bilu belum mati, kan?"

Aku tertawa, dia lucu.

"Kok ketawa?"

"Enggak, si Bilu lucu, ya?" Aku menirukan caranya berbicara.

"Dia satu-satunya yang aku punya. Namanya Bilu, kayak matanya."

"Matanya enggak cuma biru, lo. Kirinya warna kuning."

"Ya, telselah aku, dia namanya Bilu."

"Bagus kok, kalau namamu siapa?" Kurasa saat ini tepat menanyakannya lagi.

"Deka, Deka Anggala." Pasti maksudnya Anggara.

"Namaku Jarak."

Dia ketawa. Membuatku juga tersenyum, aku lega jika ia mulai terbiasa denganku. Setidaknya untuk manusia yang masih kecil, aku bisa sangat mempercayai.

"Jalak. Kok kayak nama bulung."

"Lucu, ya?"

Dia masih tertawa. Beberapa saat kemudian, suara gagang pintu yang diputar pun terdengar, pintu terbuka, aku segera berdiri, menggendong si Biru sambil menghadap ke arah Deka yang akan keluar.

"Hai." Aku tersenyum sambil melambaikan tangan kanan.

Dia diam, lalu menutup hidungnya, "Bau."

Aku mencium lenganku sendiri, "Iya, bau, ya?"

Deka tersenyum. Tentu saja ia laki-laki, rambutnya sudah menutupi telinga, jika tertawa matanya menutup dan ada lesung pipit di kedua pipinya. Kurasa ia keturunan bule, warna rambutnya pun tidak hitam, melainkan pirang.

Kuserahkan kucing itu ke Deka, "Ini si Bilu, enggak mati, kan?" Tentunya aku berkata seperti itu dengan tersenyum.

Deka menerimanya, menggendongnya, lalu menciumi hewan menggemaskan itu.

"Dari awal kamu di sini?"

Dia mengangguk. Awalnya wajahnya terlihat cerita, tetapi saat mendengar pintu yang digedor-gedor, Deka terlihat trauma.

Aku memeluknya, membawanya ke lantai atas. Menyuruhnya diam di sana, lalu aku turun lagi, membawa beberapa meja, kursi dan lemari untuk memperkuat, mengganjal pintu itu.

Dia seperti adikku, tingkahnya, cara bicaranya, dan kesukaannya terhadap kucing. Mungkin dia akan membuatku repot, tapi tak masalah aku dibuatnya repot, aku akan menjaganya, layaknya adikku sendiri.

To be continued

Next chapter