webnovel

Pagi Yang Berwarna

Apartemen Soho

Ke esokan harinya

Pagi menyembut cepat, Vian terbangun saat sinar matahari menyinari wajah lelapnya. Setelah menguap sekali, ia bangun dari rebahan dan duduk menyandar, lalu lanjut menguap dengan tangan terbentang bebas.

Suara 'krek' dari pinggangnya yang direnggangkan terdengar, nikmat sekali.

"Ah! Sudah berapa lama, aku merasakan tidur senyenyak ini," gumam Vian dengan suara serak khas.

Kemudian ia benar-benar bangkit dan turun dari ranjang, berjalan dengan sempoyongan ke arah jendela kemudian menyibaknya.

Srak!

"Silau sekali," lirihnya dengan mata terpejam, membiasakan cahaya matahari yang masuk di retina.

Cuaca hari ini cerah, cocok jika dihabiskan dengan berolahraga untuk membakar kalori, juga membentuk lengan yang sudah lama tidak dilatih.

"Hum…, aku rasa ini ide bagus."

Kembali ia bergumam, kemudian bergegas mengganti baju tidur dengan kaos polos berwarna putih, serta celana training selutut, tentunya setelah mencuci wajah dan mengosok gigi.

Ceklek!

Pintu terbuka dan seketika Vian berjenggit kaget, ketika melihat seorang wanita yang juga keluar dari kamar milik Nindita.

Ah! Aku pikir siapa. Hampir saja mengira jika aku salah keluar pintu menuju dimensi lain, batinnya ngaco.

"Selamat pagi, Paman!" sapa si wanita yang membuatnya berjenggit kaget—Aliysia tepatnya.

"Ck! Ini masih pagi dan kau sudah membuat orang kesal saja. Bukankah sudah aku katakan untuk tidak memanggil dengan sebutan Paman lagi, hum, dasar Bocah," balas Vian panjang lebar, gemas dengan kelakuan si bocah dan ingin sekali rasanya ia memakan wanita di hadapannya saat ini.

Pagi yang dikiranya cerah ternyata ternyata tidak secerah itu. Ia yang biasanya bangun di pagi hari dengan keadaan sunyi, kini harus kesal dengan panggilan dari lisan istri kontrak sendiri.

Aku sangat harap tidak hipertensi setelah ini, batin Vian menenangkan diri.

"Ya ampun, Pam- ups! Oke, ya ampun Vian. Pagi-pagi sudah sensi aja, baru juga dipanggil Paman sekali di pagi ini," ralat Aliysia, cepat-cepat memanggil nama setelah sang suami mengirim tatapan tajam kepadanya.

Sudah tahu masih pagi, tapi senang membuat orang kesal karena panggilan. Namun, tidak ingin membuat waktu olahraganya berkurang. Vian pun mencoba untuk tidak memperdulikan, berjalan menjauhi Aliysia yang justru mengekor di belakang dengan celotehannya.

"Vian."

"Hm."

"Vian, Vian!"

"Hmm?"

"Vian-

"Hais! Katakan saja dengan jelas jangan memanggilku berulang seperti itu, Lysia."

Vian kesal juga akhirnya, gumamannya berubah menjadi gerutuan panjang lengkap dengan pelototan yang justru dibalas dengan kekehan Aliysia yang kesenangan.

Benar-benar sengaja membuat pagi sang suami yang tenang menjadi ramai. Namun, ketika merasakan cubitan di pipi dari Vian yang giginya sudah bergemelutuk, ia pun berdehem dan memintaa maaf.

"Iya, maaf Vian, lepasin dulu aku jelasin ini," pintanya di antara ringisan akibat kekuatan cubitan yang tidak tanggung.

Beruntung Vian segera melepaskan cubitan, meski masih melotot ketika Aliysia kini sibuk mengusap pipi dengan bibir maju lima centi, menggurtu pula dalam hati.

"Cepat katakan," tegur Vian kembali mengingatkan.

"Isk! Iya, ini juga mau bilang dan menjelaskan."

"Hn."

Meski hanya gumaman yang didapat, tapi Aliysia mengerti jika harus menjelaskan dan ia pun berhenti mengusap pipi. "Vian, hari ini aku dibolehin pulang ke kost-an sama kamu 'kan?" tanyanya dengan Vian yang kembali bergumam, mengerti.

"Hmm."

"Kok 'hmm' saja, tidak ada tanggapan lain ya?" tanya Aliysia sambil menarik kaos yang dipakai Vian, meski dengan cepat si empu kaos menepaknya karena ditarik berulang seakan sengaja.

Nanti kalau melar bagaimana?

"Ya lalu kamu maunya aku menjawab apa?" tanya Vian dengan nada bosan, menatap Aliysia yang justru mencebilkan bibir ke arahnya.

"Yi lili kimi miwinyi iki minjiwib ipi."

Seketika Vian mengerang mendengar si bocah mengikuti perkataannya dengan nyinyir, ingin rasanya mengusap wajah sang istri dan menganiaya sampai menyerah. Namun sayang, ia masih harus sabar atau tensinya sungguhan akan naik saat ini juga.

Sialan! Sarapan pagi hari ini paku sepertinya, batinnya kesal sendiri.

Vian pun mengembuskan napas dan kini berkacak pinggang, menatap Aliysia menyerah. "Fine. Apa yang kamu mau?" tanyanya dengan nada sabar, menuai pekikan senang dari sang istri yang membuatnya seketika terdiam.

Firasatku tidak enak, percayalah, lanjut Vian dalam hati.

"Drop some money! Dropped all my money," sahut Aliysia menyanyi merdu dengan tangan terulur ke arah Vian, meski tidak bergoyang seperti artis K-POP dan jangan lupa senyum lebar nan culas setelah selesai bernyanyi, dimana tujuannya jelas untuk apa.

"Money?" tanya Vian memastikan, dengan Aliysia yang segera mengangguk, mengiyakan.

"Iyes! Buat ongkos taksi, mahal, uangku hanya cukup bayar bus dan halte sangat jauh dari sini," jawab Aliysia dengan penjelasan masuk akal, menurutnya.

Lalu Vian, ia mengangguk dan pekikan senang terdengar setelahnya.

"Okay."

"Yes!-

"Sekalian belanja keperluan dapur, isi bahan makanan lengkap dan sehat. Kamu mau, kelaparan saat aku tidak sedang di apartemen?" sela Vian dengan tegas, kali ini bukan pekikan senang yang ditampilkan, melainkan wajah lesu dan juga menderita si bocah yang membuat alisnya terangkat. "Ada apa?" lanjutnya bertanya curiga.

"A-aku ..."

"Hm? Aku apa?" tanya Vian masih menunggu, memperhatikan pula saat Aliysia bergerak gelisah dengan cengiran kaku yang tiba-tiba diulas.

"Aku tidak bisa memasak, he-he."

"Hah! Apa?"

"He-he...."

Kekehan canggung kini ikut diperdengarkan, tapi sayangnya itu tidak cukup membuat Vian ikut terkekeh dan kini justru mengubah gesture, seakan ingin mendengar jelas dengan telinga digosok lebih dulu.

"Ulangi," pintanya sambil memajukan wajah ke arah Aliysia, ingin mendengar dengan seksama apa yang sudah dikatakan oleh sang istri.

Ia takut, jangan-jangan pendengarannya bermasalah, sehingga sempat mendengar kenyataan pahit dalam hidup.

"Aku tida bisa memasak," ulang Aliysia dengan wajah kaku, meski bola matanya bergulir ketika mendapati Vian yang terlalu dekat dengan wajahnya.

"Kurang jelas, coba ulangi dengan lebih lantang," perintah Vian dan Aliysia yang sebal mengulangi perkataan dengan berteriak di dekat telinganya yang seketika itu juga berdenging.

"Aku tidak bisa masak, Viandra menyebalkan Geonandes!"

"God!"

Vian tanpa bisa mencegah tangan, kini segera meraup wajah sendiri dengan kasar seakan melampiaskan rasa takjub kemudian menatap si bocah yang hanya bisa cengengesan, dengan gigi rapih terpampang tanpa malu.

Cih! Masih bisa tersenyum setelah mengatakan fakta kekurangan, dasar.

"Jadi, kamu mau akan apa, kalau kamu sendiri saja tidak bisa memasak?" tanya Vian sarkas kepada sang istri.

Bukannya apa, tinggal dengan Nindita selama satu tahun, ia tidak repot karena mantannya tersebut bisa memasak dan mandiri tanpa merepotkannya.

Nah, Aliysia? Bahkan baru akan lulus dari pendidikan dan berkata tidak bisa masak, bagaimana nanti hidup sendiri di luar negeri?

Sedangkan yang diketahuinya, tinggal sendiri di negeri orang dan jauh dari keluarga itu sesuatu yang sulit.

Ya Tuhan, apa aku harus turun tangan juga melatihnya hanya untuk memasak? Pagi ini sungguh berwarna.

Bersambung

Next chapter