Bab 25 Menjadi Tangis
Pura-pura untuk mencari sesuatu yang tersembunyi agar bisa berhasil mengalihkan pembicaraan.
Eleora yang diam-diam juga memikirkan masalahnya sendiri malah membuat seketika tetes darah telah keluar.
"Eleora, kamu mimisan?"
"Enggak papa, mungkin kelelahan. Sebentar aku bersihkan dulu."
Menyingkir dari temannya telah menghadapi tetesan darah yang tiada berhenti juga pada hidungnya.
"Aku mohon jangan ngedrop, aku tidak mau Grace tahu kalau aku sakit. Ayo dong kamu juga berhenti, mimisan."
Darah yang mengalir terus saja dilap menggunakan tisu toilet dan bahkan juga diantaranya terlihat tangannya sudah mulai bertambah lebamnya.
"Eleora, kamu enggak papakan?"
"Iya aku tidak apa-apa, sebentar ya? Kamu minum jus dulu enggak papa, sekalian itu camilan habiskan enggak apa."
Tulang belakangnya kali ini cukup sakit bahkan lebih sakit ketika dia merasa kedinginan.
Mimisan telah berhenti seketika namun yang ada dinginnya ruangan hendak dimatikan membuat takut Eleora jika sahabatnya justru akan curiga.
"Eleora, kamu benar enggak apa? Wajahmu pucat loh ini."
"Aku enggak papa, aku cuman kedinginan saja. Ya mungkin tadi kebanyakan minum ice cream. Lagian udah lama enggak minum malah kebanyakan."
"Astaga, lain kali jangan langsung banyak dong Eleora. Ya kamu kan juga habis keluar dari rumah sakit, ya sudah sekarang buat istirahat. Lagian ini juga sudah begitu malam, aku enggak mau bikin cemas mamaku."
Sedikit lega jika sahabatnya sudah kembali pulang. Eleora yang bergegas ke kamar dan mematikan AC membuat dia juga segera mengenakan selimut tebal.
Tubuhnya begitu sangat dingin bahkan juga membuat menggigil.
Eleora yang bingung harus melakukan apa untuk menghangtakan tubuhnya dia pun memanggil bi Atun.
"Ada apa, non? Astaga non Eleora, badan non dingin banget loh ini? Kita ke rumah sakit lagi ya?"
"Enggak usah, bi. Aku enggak papa cuman kedinginan saja."
"Ya sudah bentar bibi buatkan sesuatu, ya biar non Eleora baikkan."
Ditinggalkan dia seorang diri membuat Eleora merasa begitu merindukan mama Merry.
Sedikit merintih kesakitan pada tulang punggungnya menjadi semua semakin tak tertahankan rindunya.
"Mama, aku kangen pelukkan mama. Ma, sakit!"
Siapa sangka jika mengenai ini ada salah satu sebuah firasat Eleora.
Dia yang berada di dalam kamar seorang diri itu pun menerima sebuah panggilan.
Menerima panggilan yang berisikan kabar bahwa mamanya telah mengalami kecelakaan malah menjadikan Eleora pingsan beberapa waktu.
Beruntungnya berada dalam lingkupan yang tepat. Eleora yang sudah disediakan pembantu rumah tangga telah dibantu siuman.
"Non, non Eleora."
"Mama, aku harus ketemu mama."
"Syukurlah kamu sudah sadar, non."
"Bi, aku harus ketemu mama sekarang. Aku sama sekali enggak peduli dengan keadaan aku, tapi yang jelas sekarang temani aku menemui mama."
Sifat keras kepala telah mengalahkan kondisinya sendiri sekarang dan bahkan juga tubuhnya yang semula dingin malah berubah drastis ketika mendengar kabar sang mama.
Satu jam perjalanan dari rumah menuju ke rumah sakit dia berharap semuanya baik-baik saja.
Hatinya cukup begittu remuk ketika Eleora mengingat akan kesalahan mama yang pernah lakukan di apartemen.
"(Aku memang melihat semuanya jika mama sudah bersama dengan orang itu, itu benar-benar kesalahan besar dan yang jelas adalah membuat aku kecewa. Tapi, ketika mama begini aku sangat sedih dan menyesal membuat mama sakit,)"
Tes, tes, tes. Air mata telah menetes tiga kali tanpa ada jeda, pikirannya semrawut dan hatinya cukup begitu takut.
Dadanya begitu engap dan mengharapkan jika segalanya harus segera ditemui.
Tiba di rumah sakit dia pun bergegas menuju ke resepsionis dan mencari ruangan rawat mama Merry.
Semua yang sudah didapatkan ia pun menuju ke ruangan dan ternyata ada laki-laki itu lagi.
"Eleora." Datar om Oje.
Yang dipikirkan Eleora saat ini adalah mama Merry bukan hal lainnya, dia berharap orang tuanya baik-baik saja dan bisa diperbaiki bersama seperti dulu.
Bi Atun yang mendampingi Eleora mencoba mendekap erat dan terus saja memanjatkan doa sekaligus memberikan ketenangan.
"Non, non Eleora harus tenang. Ingat, non. Ingat. Semua yang ada pada hari ini maupun besok itu berbeda, semuanya itu harus kita andalkan sama Tuhan."
Terdengar suara pintu telah dibuka dan seketika melihat ada dokter keluar menjadikan Eleora bergegas menanyakan kondisi sang mama.
"Keluarga pasien?"
"Saya suaminya.' Saut om Oje dan dipandang sinis oleh Eleora.
"Gimana kondisi mama saya?"
"Tenang, bapak dan adik tenang. Pasien hanya mengalami benturan sedikit saja di atas pelipis matanya, tetapi untuk janinnya semua baik-baik saja. Saya permisi dulu."
Hati Eleora semakin bingung harus berkata apa sekarang, dia yang memiliki masalah belum terselesaikan dan kini malah justru bertambah.
"Bi, bibi tunggu di sini sebentar. Aku mau masuk dulu."
"Iya, non Eleora."
Eleora telah masuk melihat mama Merry yang sudah siuman bersama dengan om Oje.
Marahnya cukup membludak dan rasa kekecewaan sudah menumpuk, tetapi dia sendiri tidak bisa melakukan akan apa hal jahat.
"Eleora."
"Mama."
"Eleora, maafkan mama sayang. Mama benar-benar minta maaf atas semuanya ini."
"Sudah enggak usah diungkit lagi, sekarang yang jelas mama jaga diri baik-baik. Aku tidak mau adik aku kenapa-kenapa."
"Adik, maksudnya?"
Om Oje pun menjelaskan mengenai kondisi mama Gerry yang sedang mengandung dan itu membuat Eleora ingin marah.
"(Tahan Eleora, tahan. Kamu harus bisa mengendalikan emosi kamu, biarkan semuanya mengalir. Jangan sampai marahmu justru menjadikan orang lain tahu kalau kamu sedang sakit.)"
Melihat akan ekspresi mamanya dia sedikit mencoba kuat. Mama Merry yang senang akan kehamilan ini membuat Eleora memberikan sipit lengkung senyum.
"Syukurlah mama bisa hamil, Eleora. Eleora senangkan mama hamil? Eleora dulu pengenkan punya adik? Semuanya itu akan menjadi kenyataan."
"(Dengan berat hati) Iya, aku senang."
"Oh iya Eleora, coba deh pegang perut mama? Ayo sini pegang."
"Maaf ma, aku banyak banget ini PR. Tadi aku enggak masuk sekolah."
"Loh kenapa, apa kamu sakit atau apa?"
"Halah anak jaman sekarang mah enggak jelas, ma. Ya biar saja dia pulang dan mengerjakan PR, lagian juga biar pintar sekolahnya dan nanti berguna buat orang tuanya."
Tanpa basa-basi Eleora telah pergi dan rasa kecewanya bukan berkurang malah berkali-kali lipat lagi.
Mengetahui akan jalanan ini cukup sulit hanya sebuah pelukkan bi Atun yang ada.
"Bi, boleh aku memeluk bibi?"
"Boleh, boleh banget non Eleora. Kapan saja boleh kok non, bi Atun itu sudah menganggap non kayak anak bibi sendiri."
"Terima kasih ya, bi. (Aku kecewa denganmu, ma. Aku kecewa dengan apa yang mama berikan kepada aku, aku sangat benci akan semuanya dan aku benci semuanya.)"
Tangisan itu semakin pecah disaat Eleora telah memeluk pembantu rumah tangganya dan bahkan juga bi Atun kembali berusaha memberikan ketenangan.