Selama perjalanan pulang, Vallerie hanya berdiam diri saja. Ragil dan Nasha seolah-olah merasa bahwa Vallerie tidak hadir di dalam mobil berbau mint itu. Kedengaran suara tawa pelan Ragil dan Nasha, sepertinya mereka sangat bahagia jika tanpa Vallerie. Terkadang Vallerie berpikir dia ingin pergi dari rumahnya dan menemui Sang Oma yang rumahnya tidak jauh dari tempat tinggalnya, mungkin dengan begitu dia bisa mengurangi beban kedua orang tuanya.
"Ayah, bunda. Kenapa kalian tega? Apa kalian gak ada niat buat cari pendonor mata buat aku?" tanya Vallerie dengan sepenuh keberanian.
Pertanyaan yang dilontarkan Vallerie barusan membuat Ragil harus mengerem mobilnya secara mendadak. Dia mengusap wajahnya secara kasar, dadanya naik turun akibat menahan kesal. Sepeser uang pun tidak akan pernah dia keluarkan hanya untuk melakukan operasi mata Anak pembawa petaka seperti Vallerie. Lebih baik dia pakai untuk membangun rumah agar lebih nyaman ditinggali.
Ragil menggelengkan kepalanya pelan. "Kamu ini, sadar diri dong. Seharusnya kamu tahu kalau ayah gak mau uang ayah terbuang hanya untuk membiayai operasi mata kamu. Lebih baik ayah pakai untuk makan di restoran mahal," jelasnya panjang lebar, dengan santai.
"Benar, udah deh kamu itu diam aja. Oh iya untuk masalah sekolah kamu, nanti biar bunda sama ayah yang suruh sama guru kamu supaya dipanggil guru khusus ke sekolah. Jadi kamu tidak perlu diam terus-terusan di rumah, sakit mata lihatnya," sambung Nasha, perkataannya lembut tapi menusuk.
***
Hari ini, Nara sudah diperbolehkan kembali bersekolah. Kondisinya sudah benar-benar pulih, luka di perutnya pun sudah tidak perlu dikhawatirkan lagi karena dia sudah menjalani perawatan yang benar-benar intens di rumah sakit. Nara masuk ke area sekolah dengan semangat, tidak sabar ingin segera bertemu dengan Vallerie, sahabatnya.
Banyak murid yang menyapa Nara, memang Nara terkenal ramah di sekolah. Dia juga mengikuti organisasi OSIS. Maka dari itu, hampir seluruh siswa mengenal Nara. Sesampainya di kelas, Nara mendapati Vallerie tengah duduk bersama Kejora, Bagas dan Indro tengah tertawa bersama. Tapi ada satu hal yang membuat Nara aneh, kedua mata Vallerie ditutup menggunakan kapas.
Nara segera berlari menghampiri meja Vallerie, dia mendorong tubuh Bagas yang sedang duduk tepat di samping Vallerie asal. Nara menatap Kejora, Bagas, dan Joko bergantian, seolah meminta penjelasan kepada ketiga orang remaja dengan jenis kelamin yang berbeda itu. Kejadian apa yang tidak dia ketahui? Kenapa mereka tidak memberitahukan kepada dirinya?
"Geng, cepet cerita Vallerie kenapa? Dia buta? T-tapi karena apa?" tanya Nara dengan wajah cemas.
Joko memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana sekolahnya, kemudian menjawab, "Dia kecelakaan beberapa hari yang lalu, pelaku penabraknya udah dilaporkan ke kantor polisi kok, sebenernya gara-gara Langit. Brengsek emang dia, tapi lo tenang aja gak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Gak perlu dikhawatirkan kata kamu? Hei, kalo Valle buta gimana dia bisa belajar dengan nyaman di kelas?" komentar Nara.
Kejadian yang Vallerie alami tidak baik hanya dibiarkan saja, meski pelaku tabrak lari sudah dilaporkan ke polisi. Tapi Nara ingin Langit bertanggung jawab atas perbuatannya, sepertinya mereka berempat sebagai teman baik Vallerie harus melakukan sesuatu. Salah satu ide yang melintas di pikiran Nara adalah meneror Langit agar dia tidak sombong mempunyai wajah tampan.
Senyuman licik terukir di wajah cantik Nara, dia menjentikkan jarinya cepat lalu memberi kode kepada Kejora, Bagas, dan Joko agar lebih mendekat kepada dirinya. Nara membisikkan rencana yang nantinya akan dilakukan untuk meneror Langit dengan suara pelan, agar tidak ada murid di kelas yang mendengar.
"Ih, jangan dong. Kan Langit takut sama darah, nanti kalo dia pingsan gimana?" protes Vallerie.
Bagas memutar kedua manik matanya malas. "Aelah, masa cowok galak takut sama darah? Yang bener aja? Gue jadi penasaran deh, udah fiks ide pertama yang lo bilang tadi gue setuju," ucapnya semangat.
"Gue juga setuju," timpal Kejora.
"Ya udah, gue juga setuju aja. Eh tapi bener kan nih gue bisa jadi temen kalian?" Joko menatap satu-persatu orang yang ada di dekatnya dengan tatapan penuh tanya.
Dari sikap, serta penampilannya Joko merupakan murid yang baik. Sebenarnya Joko juga merupakan teman satu kelas Vallerie, dia kerap menyapa Vallerie dan tak jarang mereka saling mengirimkan pesan di aplikasi whatsapp. Vallerie juga percaya bahwa Joko adalah teman yang baik, bukan teman palsu seperti Ayana dan Vidella.
"Iya, bisa dong. Tapi awas aja kalo kamu sampe ngelakuin hal yang gak bener sama Valle. Kita gak akan kasih ampun," ancam Kejora.
Joko berdiri tegak, lalu menaruh tangannya di kening seolah sedang hormat. "Siap bu bos!" jawabnya girang.
***
Lapangan SMK Indonesia Raya mendadak ramai ketika jam pelajaran masih berlangsung. Kedengaran dari suara para siswi yang berteriak, sedang terjadi aksi saling tonjok antara dua siswa. Siapa lagi jika bukan Langit dan Angkasa. Entah apa yang menyebabkan keduanya bisa sampai ribut kembali seperti ini, tidak mengingat padahal masih jam pelajaran.
Banyak siswi yang berteriak histeris ketika menyaksikan Langit dipukuli secara brutal oleh Angkasa. Beberapa guru sudah mulai keluar dari kelas di mana mereka mengajar, untuk segera melerai Langit dan Angkasa. Tampak wajah kedua remaja lelaki itu sudah sangat babak belur. Bahkan dari sudut bibir kiri Langit mulai mengeluarkan darah segar.
Pak Haris, selaku kepala sekolah menerobos kerumunan para murid yang menyebabkan keramaian. Pluit yang setia melingkar di lehernya dia bunyikan agar para murid segera membubarkan diri, seketika suasana lapangan berubah menjadi sepi. Pak Haris menarik tangan Angkasa dan Langit, membawanya ke ruang kepala sekolah untuk segera dia berikan hukuman, agar mereka berdua kapok.
"Duduk," perintah Pak Haris ketika sampai di ruang kepala sekolah.
Angkasa dan Langit sama-sama duduk di sofa yang ada di ruangan yang berbau khas lemon itu. Mereka sama-sama tidak berani untuk menatap Pak Haris, sebab guru tersebut sangat dikenali oleh murid karena sifatnya yang galak dan tegas. Tubuh Langit sudah mulai gemetar, karena dia takut dijatuhi hukuman.
"Kenapa kalian bisa sampai ribut? Apa kalian tidak tahu, ini masih jam pelajaran?" Pak Haris menatap kedua murid yang duduk tepat di hadapannya dengan tatapan tajam.
Angkasa menganggukkan kepalanya sangat pelan. "I-iya pa, kami tahu kalo ini masih jam pelajaran. Kami minta maaf kalo udah buat onar hari ini," ungkapnya, masih dengan posisi kepala tertunduk.
"Sekali lagi saya tanya, apa masalah yang menyebabkan kalian sampai ribut?" tanya Pak Haris sekali lagi.
Tidak ada yang berniat menjawab pertanyaan Pak Haris, mereka berdua sama-sama memikirkan kira-kira jawaban apa yang patut diberikan kepada Pak Haris agar tidak membuat malu. Tidak mungkin jika Angkasa dan Langit harus berkata jujur, bisa-bisa mereka ditertawakan bahkan diejek oleh guru galak itu.