Sampai pukul dua pagi, Langit belum juga pulang ke rumahnya. Kemarin sepulang dari rumah sakit, dia memang langsung pergi ke bar bersama ketiga sahabatnya. Tapi saat diajak pulang oleh ketiga sahabatnya, Langit justru terus menolak. Dia meminum bir hampir sepuluh gelas dan hal itu membuat dia mabuk bahkan sampai muntah.
Raja berinisiatif membawa Langit ke kamar yang ada di bar, setelah memastikan Langit benar-benar berbaring di kasur dengan posisi senyaman mungkin, Raja keluar untuk menunggu Langit sampai sadar bersama kedua sahabatnya yang lain. Mereka memilih untuk menjaga Langit di depan kamar saja, tapi ternyata ketiganya lalai. Mereka justru ketiduran, sehingga tidak tahu ada gadis yang diam-diam masuk ke kamar tersebut.
Gadis itu, memang jahat. Dia sengaja tidur di samping Langit agar mencemarkan nama baik Langit. Gadis yang selama ini menjadi teman baik Langit, tapi berhati busuk. Kejora namanya, sebenarnya Kejora sudah lama menyukai Langit hanya saja dia tidak berani mengungkapkannya karena Langit sudah mempunyai kekasih. Tapi dengan cara ini, dia sangat yakin Langit akan bisa menjadi kekasihnya.
"Gila! Kejora?! Ngapain lo di sini, hah?!" bentak Langit.
Kejora berpura-pura tidak tahu, dia menggelengkan kepalanya cepat, wajahnya dibuat-buat takut. "L-lang? Lo ngapain gue? Lo tega Lang, sekarang siniin baju gue!" tanyanya dengan suara bergetar.
Cepat-cepat Langit mendudukkan tubuhnya di atas kasur, lalu melemparkan asal sehelai baju terusan berwarna putih yang ada tepat di samping bantalnya. Langit mengacak-acak rambutnya, dia tidak mungkin melakukan hal itu. Bagaimana jika Ayahnya tahu masalah ini?
"Kita gak ngapa-ngapain! Jadi jangan harap lo bisa menikah sama gue!" Langit menatap Kejora nyalang.
Kejora mulai menangis pelan, lalu berucap, "Gak ngapa-ngapain dari mana? Lo tega Lang, gak mau ngakuin kesalahan lo. Gapapa kalau lo gak mau tanggung jawab, tapi lihat aja gue bakal buat hidup lo gak tenang!"
"Jangan lo kira, gue bodoh! Gue tahu, ini pasti cara lo supaya bisa jadi pacar gue, ya 'kan? Ra, jangan gini caranya. Masih banyak cowok lain di luar sana yang bisa jadi pacar lo," jelas Langit panjang lebar.
Kejora terdiam beberapa saat, Langit memang dari dulu tidak berubah. Padahal, Kejora sudah selalu ada untuk Langit. Bahkan jika Langit meminta kerja sama kepada dirinya dia selalu mau. Seperti kejadian dua hari yang lalu, Langit meminta Kejora untuk memeluk dirinya agar membuat Vallerie sakit hati dan cemburu, Kejora sudah melakukannya.
Kepala Kejora tertunduk. "T-tapi Lang, gue cuma mau sama lo ... Lo lelaki pertama yang bisa buat gue nyaman, sekaligus cinta pertama gue," ucapnya lirih.
"Ra, maaf. Untuk saat ini gue gak bisa jadi pacar lo, tapi tenang aja. Mungkin setelah pembalasan dendam gue selesai sama Vallerie, lo bisa jadi pacar gue. Itu mungkin ya, gue masih bingung sama perasaan gue sendiri," papar Langit dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya. "Kalo gitu, gue balik. Jaga diri baik-baik, besok jangan paksain sekolah kalo capek atau ngantuk," nasehatnya, lalu setelah itu Langit meninggalkan Kejora sendirian di kamar.
***
Kedua manik mata Langit terbelalak saat melihat kondisi motornya sudah tidak berbentuk lagi. Kedua bannya tiba-tiba saja tidak ada, hampir saja Langit menangis kalau tidak mengingat tempat. Bisa-bisa Papanya marah besar kalau tahu dia tidak bisa menjaga motornya dengan baik, potong uang jajan yang jadi ancamannya.
Langit penasaran, siapa pelaku yang sudah tega membuat motornya rusak seperti ini? Tidak ada orang di sekitar tempat hiburan malam itu. Hanya ada satu atau dua orang saja yang lalu lalang di depannya. Langit mengembuskan napasnya kasar, dia harus pulang dengan berjalan kaki karena pukul setengah tiga subuh seperti ini tidak ada taksi atau angkutan umum.
Raut wajah Langit kelihatan sangat kusut, seperti pakaian yang tidak disetrika selama beberapa hari. Jarak antara tempat hiburan malam dan kediaman Langit bisa dikatakan cukup jauh. Dengan penuh kesabaran Langit menyusuri setiap jalan demi jalan agar bisa sampai di rumahnya. Waktu yang termakan agar Langit bisa sampai di rumahnya adalah kurang lebih satu jam. Tepat pukul setengah empat subuh, Langit akhirnya tiba di rumahnya.
"Dari mana kamu, Langit? Jam berapa ini?" tanya seorang pria yang suaranya sudah sangat sering Langit dengar, siapa lagi jika bukan Yanto, Papanya?
Langit menggaruk kepalanya yang tak gatal pelan. "Loh, papa bukannya masih ada di luar kota? K-kenapa udah ada di rumah?" tanyanya balik, seolah-olah mengalihkan pertanyaan Yanto barusan.
"Jangan mengalihkan pembicaraan papa! Jawab pertanyaan papa tadi!" ucap Yanto dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.
Kepala Langit tertunduk, dia menutup pintu gerbang kediamannya secara perlahan lalu mulai melangkahkan kedua kakinya memasukki rumahnya lebih dalam lagi tanpa melihat sosok Yanto yang hampir saja dia lalui. Yanto kesal, punya anak sangat keras kepala seperti Langit. Yanto merasa gagal menjadi seorang Papa karena tidak bisa mendidik Langit dengan baik.
Yanto melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian berucap, "Papa nyesel jadi papa kamu, Langit! Kapan kamu mau dewasa?! Oh ayolah, sebentar lagi kamu lulus, Lang. Dan kamu harus meneruskan posisi papa sebagai ceo di perusahaan kita!"
"Ih, masih lama pa! Lagian aku mau kuliah, gak mau langsung ngurusin perusahaan. Pusing tahu!" Langit menengadahkan kepalanya kembali, manik matanya bertemu dengan manik mata milik Yanto.
"Gak perlu kuliah! Ujung-ujungnya juga nanti kamu ke dapur juga," komentar Yanto.
Hei, Langit bingung dengan ucapan Yanto barusan. Jika dia perempuan, pasti percuma sekolah tinggi-tinggi. Tapi apa Yanto tidak lihat? Langit seorang lelaki, jadi ilmu yang dia dapat jika sekolah sampai tinggi tidak akan terbuang sia-sia. Untung saja Langit sabar mempunyai Papa seperti Yanto, memusingkan.
Kedua bola mata Langit terputar malas, lalu memasukki rumah tanpa mengucapkan sepatah atau dua patah terlebih dahulu kepada Yanto. Anak yang tidak beruntung, fasilitas sudah Yanto sediakan. Motor, mobil, juga rumah sudah Yanto sediakan agar Langit merasa nyaman. Tapi, Yanto baru sadar mengapa Langit pulang dengan berjalan kaki? Ke mana motor mahal pemberiannya?
"Langit! Hei, anak manja! Ke mana motor kamu hah!?" teriak Yanto.
"Rusak pa! Ada yang iseng!" jawab Langit dengan teriakannya pula, dari dalam kamar.
Benar-benar tidak takut dosa, Yanto berkacak pinggang lalu turut masuk ke dalam rumah. Dia duduk di sofa sembari meminum kopi buatannya sendiri, andai saja dia punya istri lagi pasti tidak akan kesepian seperti sekarang ini. Sebenarnya Yanto sudah ada niat ingin menikah lagi, tapi dia mengerti dengan perasaan Langit.
"Langit! Besok kamu sekolah naik angkot ya! Uang jajan kamu juga papa potong, karena kamu bandel!" Lalu, Yanto kembali menyeruput kopi hitam kesukaannya.