Dylan tidak berani membuka matanya, suara diluar terlalu keras, membuat telinganya berdengung dan ia merasakan tubuhnya bergoyang kesana kemari.
Laki-laki itu tidak punya pilihan, daripada ia terkena bebatuan yang terus beterbangan. Lebih baik ia meringkuk melindungi kepalanya.
Suasana menjadi hening selama beberapa saat, Dylan masih menutup mata. Hingga telinganya yang berdengung telah berhenti dan samar-samar ia bisa mendengar seseorang bicara ditambah dengan erangan.
"Kau yakin, Arthur?" Renee menggerakkan ujung pedang ke dahi laki-laki itu. "Yakin ingin berakhir seperti ini?"
Arthur, yang setengah tubuhnya sudah kembali menjadi manusia menggertakkan gigi, ia marah pada Renee tapi ia tidak punya daya untuk melawan lagi, tubuhnya tidak bisa bergerak.
Rasanya seperti ia baru saja dijatuhkan ke bawah jurang, sangat sakit.
"Arthur?" Renee berkata lagi, ia mencondongkan tubuhnya ke arah laki-laki itu.
Ia tidak benar-benar menghabisi Ivana, wanita itu tidak sadarkan diri karena kehabisan darah.
"Aku tidak ingin menunggu terlalu lama, Arthur." Renee menusukkan ujung pedangnya ke dahi laki-laki itu. "Aku katakan ini untuk yang terakhir kalinya, apa kau yakin?"
Arthur menelan ludah, ia memejamkan matanya.
"Baiklah, aku menyerah." Laki-laki itu berusaha bernafas dengan tenang, tapi rasa sakit dan debaran jantung yang keras ini membuat dirinya semakin tidak karuan. "Aku akan membantumu menemukan Leo, tapi aku ... tidak bisa menjamin apakah laki-laki itu baik-baik saja atau tidak."
"Apa jaminanmu?"
Renee menyipitkan matanya, tidak mau tertipu.
Arthur melihat tubuhnya yang tidak berdaya, seandainya Renee adalah orang yang angkuh, ia pasti akan menginjak-injak kepada Arthur.
Jika itu terjadi, Arthur akan merasa lebih terhina.
"Kau bisa memotong kepalaku," katanya dengan putus asa. "Aku hanya punya itu yang bisa dijadikan jaminan."
Dylan merasakan kalau keadaan sekarang sudah mulai tenang, ia membuka mata dan berkedip beberapa kali.
Renee terkekeh, ia menyeringai lalu menggerakkan jarinya
Cahaya jingga bergerak melingkari leher Arthur, laki-laki itu mengerang pelan dan keningnya berkerut dalam, berusaha menahan rasa sakit.
Cahaya jingga berpendar di bagian atas tubuh Arthur dan luka-luka di tubuh laki-laki itu perlahan mulai pulih, hanya bagian atas, bagian pinggang sampai ke bawah Renee biarkan terluka.
Renee tidak mau menanggung risiko kalau suatu saat ia akan ditusuk dari belakang.
"Bangun," kata Renee dengan suara dingin, ia melirik Dylan yang berusaha menenangkan dirinya. "Di mana Joy?"
"Aku tidak tahu ...." Dylan menoleh ke belakang, berharap kalau gadis kecil yang rapuh itu baik-baik saja. "Mungkin ia sudah mendapat tempat yang aman."
Arthur bangkit dengan sudah payah, percuma saja tubuh bagian atasnya pulih tapi tubuh bagian bawahnya tidak. Setiap kali ia bergerak, rasa sakit yang luar biasa berdenyut di kedua kakinya, membuat ia harus mengatupkan bibirnya rapat-rapat agar tidak mengeluarkan erangan kesakitan.
"Tidak masalah, lebih baik kita bertiga saja yang turun ke bawah. Cepat, tunjukkan jalannya."
Renee mendorong Arthur, Dylan berjalan di belakang Arthur.
Renee berjalan dengan pedang terhunus, cahaya jingga di leher Arthur terlihat seperti benang tipis, menjerat lehernya.
"Tidak bisakah kita jalan pelan-pelan?" Arthur menelan ludah, kakinya berdenyut-denyut. "Atau setidaknya kau bisa sembuhkan dulu kakiku?"
"Tidak, harus cepat."
Renee tidak peduli apakah ia sekarang bisa disebut kejam, ia ingin bertemu dengan Tuan Ivana secepat mungkin dan melihat Leo.
Dylan tidak berani mengatakan apa-apa, ia takut, laki-laki berkata abu-abu itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Merek bertiga melewati ekor ular yang terkulai di lantai, Ivana tergeletak tak berdaya, kedua tangannya terikat cahaya jingga yang terhubung ke ekor dan lehernya.
Yang artinya, sadar atau tidak sadar, Ivana tidak akan punya kesempatan untuk melarikan diri dari Renee, persis seperti apa yang terjadi pada Arthur sekarang.
Mereka kembali menuruni anak tangga yang setengah runtuh, Arthur harus membiarkan kakinya memijak bebatuan runcing, membuat luka di kakinya kembali terbuka.
"Bisakah kau berhenti menoleh padaku?"
Renee menyuruh Dylan berjalan di depannya, merasa risih. "Wajahmu tidak nyaman dilihat."
Arthur menggertakkan gigi, tidak mengatakan apa-apa.
Satu-satunya cahaya yang menjadi penerangan mereka bertiga adalah cahaya jingga yang melayang di udara seperti kunang-kunang, mereka menuruni anak tangga yang semakin ke bawah, semakin curam dan licin.
Mereka bertiga terjebak dalam keheningan yang menyesakkan, Dylan bahkan harus menarik napas tanpa berani mengeluarkan suara sedikitpun.
"Apakah yang Ivana katakan benar?" tanya Renee tiba-tiba.
"Apa?!" Arthur meringis, kakinya lagi-lagi mengenai batuan runcing. "Tidak bisakah kau kasihan padaku?"
"Tidak. Aku tahu kau ... dan aku tidak ingin kasihan. Jawab pertanyaanku."
Katakanlah ia kejam, ya memang. Arthur adalah orang yang membuatnya kesal sampai mati.
"Yah, wanita itu benar." Arthur terengah-engah, ingin pingsan. "Tuan memang berencana mengubah Leo menjadi monster yang tidak memiliki kesadaran. Tujuannya? Mungkin saja Leo akan jadi kekasihnya. Tuan Ivana memang terobsesi melihat Leo tidak berdaya."
"Jawabanmu tidak bisa dipercaya." Renee menggerakkan jarinya, mereka hampir sampai di lantai dasar.
"Lalu kenapa kau ... bertanya?!" Arthur menoleh, pipinya langsung ditampar Renee dari belakang Dylan. "Kau sengaja membuat aku semakin kesakitan. Ya?!"
"Arthur, sudah cukup."
Dylan tidak tahan lagi, ia mendengkus. Suasana hati Renee agak lain, ia tidak tahu kenapa, tapi ia merasa kalau ia tidak boleh terlalu banyak memprovokasi Renee.
"Rasa sakitku, akan kubalas pada kalian." Arthur bergumam, ia pikir suaranya tidak akan terdengar oleh Dylan.
"Jangan banyak bicara." Dylan mendorong Artur dengan kakinya hingga laki-laki itu terjungkal ke depan, ia tidak nyaman berada di situasi seperti ini. "Kau membuatku ingin memukulimu saja."
Arthur mendengkus, ia mengusap bibirnya berkali-kali, laki-laki itu terlihat menyedihkan, tapi di sisi lain ia juga terlihat menyebalkan.
Mereka sampai di lantai dasar, Renee menajamkan pendengarannya dan ia bisa merasakan ada dentuman-dentuman di bawah.
"Masih ada tangga ke bawah lagi?"
Dylan melihat ke sekitar, di sini terlalu pengap dan sesak, tidak ada tanda-tanda ada jalan lain yang akan menuju ke bawah.
Arthur menatap kosong ke bawah kakinya, dentuman itu semakin keras dan semakin nyata, bebatuan kerikil berlompatan ke atas.
"Apa yang terjadi di bawah?!" Renee menoleh ke arah Arthur, tangannya menarik kerah baju laki-laki itu dan mengguncangnya dengan keras. "Katakan padaku, apa yang terjadi?!"
Dentuman semakin keras dan membuat tanah yang mereka pijak seakan bergetar, Renee menelan ludah, pikirannya menjadi kalut.
Arthur mantap Renee dengan senyuman miring di wajahnya, ia terkekeh dengan suara rendah.
"Bukankah kau sudah mendengarnya dari Ivana?"
Renee dan Dylan menahan napas, mereka menatap bibir Arthur yang bergerak mengeluarkan darah hitam, mengalir ke lehernya.
"Leo yang kalian cari-cari itu, mungkin sekarang sudah bukan Leo yang kalian kenal." Arthur menyeringai lebar dan rambut pirang keemasannya itu berguncang. "Dia akan jadi monster terbaik yang akan dimiliki oleh Tuan."
Terima kasih banyak atas power stone dan komentarnya pada Lady Renee (◍•ᴗ•◍)❤❤️❤️❤️