webnovel

Zombi adalah ....

Mereka semua terkejut dengan kemunculan kapak yang tiba-tiba itu, untung saja tepat sasaran. Kalau tidak, Jefri yang akan jadi korban dari kapak yang melayang itu karena dia berada paling dekat.

"Grenggg!! Grengg!! Greng!!"

Suara motor terdengar mendekat dari arah jalan di depan mereka. Terlihat seorang pria dengan tubuh tegap dan kekar sedang mengendarai sebuah motor klasik bergaya retro. Pria itu nampak tampan dengan kaca mata hitam yang membingkai wajahnya. Sebuah kalung rantai panjang, khas milik tentara sedang bergoyang indah di dada bidang pria itu.

Motor pun berhenti, sang pria yang sudah menyedot semua perhatian itu, turun sembari membuka kaca mata yang ia pakai dengan dramatic.

"Kalian baik-baik saja?" tanyanya penuh perhatian

Jefri memindai pria itu dengan mata telanjangnya. Sepatu hitam besar yang terlihat begitu gahar, ditambah celana hitam panjang yang mempunyai banyak saku, membuat penampilan sang pria misterius itu terlihat begitu menakjubkan.

Mereka semua terpaku dengan penampilan pria yang mirip aktor laga itu. Fisiknya begitu sempurna dan begitu rapi, dibandingkan dengan grup Jefri yang nampak berantakan dan seperti gelandangan.

Di tengah kekaguman itu, Indro menjawab pertanyaan sang pria. "Ya, kami baik-baik saja."

Dia lantas mendekat. "Jadi, Anda yang melempar kapak itu?" tanya Indro.

"Iya, saya melihat kalian dalam bahaya. Jadi langsung saja saya lempar kapak. Maaf jika mengagetkan kalian," jawabnya dengan sopan.

"Tidak, tidak masalah. Tindakanmu, sudah menyelamatkan kami. Terlebih, atas pengalihan yang kau lakukan tadi," pungkas Indro.

Semua bingung mendengar ucapan Indro, mereka menatap Indro tak mengerti.

Indro melanjutkan ucapannya. "Anda, 'kan? Yang meniup peluit tadi?" tebak Indro.

Jefri dan yang lainnya terbelalak, mata mereka langsung melihat peluit kecil yang digantungkan bersama dengan liontin tag.

"Ah iya, kalian tadi pasti sangat lelah melawan mahkluk itu yang begitu banyak," jawab pria itu. "Kalian bisa tinggal di tem--"

Belum selesai pria itu berbicara, Boni dan yang lainnya mendekat dengan menatap tak percaya, serta penuh rasa syukur. Boni lantas menggenggam tangan pria itu, matanya sudah berkaca-kaca, hingga membuat pria itu tercengang.

"Terima kasih mas... terima kasih udah ngebantu kami. Jasamu nggak akan kulupa," tuturnya penuh haru lantas memeluk pria itu.

Pria tampan itupun terkejut mendapat pelukan tiba-tiba dari Boni. Perasaan semua orang terwakilkan oleh sikap Boni, mereka membiarkan Boni melakukan itu meski sang pria terlihat sangat bingung dan kikuk.

Pria itu pantas mendapatkan hal yang lebih baik dari hanya sekedar ucapan terima kasih atau pelukan. Pasalnya, kejadian mengerikan yang baru terjadi beberapa hari yang lalu itu membuat sifat egois manusia muncul. Jefri dan yang lainnya tak diterima dengan baik, meski orang-orang punya tempat yang layak untuk berlindung.

Baru pria berambut hitam pekat saja itu yang membantu mereka dengan tulus bahkan tanpa diminta. Jadi wajar, jika Boni bertingkah seperti itu, itu adalah bentuk rasa syukur karena masih bisa hidup dalam batas tipis antara kematian dan kehidupan.

Semua mengucapkan terima kasih dan tersenyum kepada sang pria penyelamat itu, termasuk wanita yang ikut bersama mereka. Dengan lirih dan takut, ia mengucapkan rasa syukurnya seraya membawa tas yang lebih besar dari dirinya itu.

Sang pria penyelamat itu menyambut ucapan mereka dengan rendah hati.

"Saya hanya ingin membantu, agar kalian semua selamat," tuturnya. "Ayo ke tempat saya, sebelum malam datang," ajaknya dengan ramah.

"Kami sangat ingin sekali, hanya saja kami harus mengganti ban terlebih dulu," terang Indro.

"Oh, di mana mobilnya? Biar saya bantu," tawar pria itu.

"Ayo kalau gitu." Indro dengan senang hati menerima bantuan.

Mereka berenam pergi ke perbatasan desa dengan pria itu yang memimpin di depan, mengamankan jalan bersama kapaknya yang sudah ia ambil dari tengkorak mahkluk yang sudah mati tadi.

Tak lama, mereka sampai. Dengan bantuan banyak orang, proses pergantian ban berjalan lancar. Mereka bisa dengan mudah melaju kembali ke jalan yang sudah diamankan oleh sang pria yang sepertinya adalah seorang tentara.

Mereka menuju ke sebuah rumah berlantai 2, yang terletak di pinggir jalan raya. Sepi, tak ada siapapun di sekitar sana. Mereka semua melangkah turun dengan hati-hati, menatap lengangnya jalan dan kendaraan yang berserakan.

"Tenang, semua orang di sini sudah kabur dan sisanya jadi zombi yang kalian lihat tadi siang," terang pria itu dengan santai.

Indro dan yang lainnya merasa sedikit tenang. Pria itu lantas membuka pintu garasi.

"Parkir di dalam saja," ujar pria itu.

Indro langsung bergerak cepat memarkirkan mobilnya di samping motor pria itu. Di dalam garasi, ada mobil yang mirip dengan mobil Indro. Mobil itu masih terlihat bagus dan bersih.

"Grekkkk!!"

Pintu garasi ditutup setelah semua orang masuk. Lampu langsung menyala, menghilangkan gelap yang menutup mata sesaat.

"Ayo," ajak pria itu dengan tersenyum sopan.

Mereka patuh mengekor dibelakang sang penyelamat.

"Kalian bisa tinggal di sini untuk sementara," ujar pria itu memberitahu ketika sudah berada di dalam rumah. "Kamarku ada di atas." Dia menunjuk ke lantai dua. "Masih ada 3 kamar yang tersisa, kalian bisa memakainya untuk beristirahat," tutupnya.

Mereka pun mengedarkan pandangan, menelisik rumah bercat dinding putih itu dan langsung merasa cukup, dengan rumah yang tak luas itu.

"Saya akan membuat makanan untuk kalian, sebaiknya kalian beristirahat," saran sang pria yang sekarang lebih mirip pemandu wisata itu, karena ia seperti tahu semua informasi akan rumah yang baru diinjakkan kakinya oleh grup Jefri.

Pria itu lantas pergi tanpa berbicara lagi, menuju dapur yang bisa dilihat dari ruang televisi.

Boni sujud syukur dengan kenikmatan yang mereka dapat.

"Alhamdulilahh Ya Rabbbb!! Terima kasih untuk semua nikmatmuu!" seru Boni dengan begitu dramatis. Kemudian, ia hendak berlari menuju kamar.

Namun tubuhnya terhenti seketika kala tangan Jefri menahan kerah kaos Boni.

"Biar perempuan dulu yang milih, kita belakangan," sergah Jefri ketus.

Boni cemberut. "Iya, iya," sahutnya mengalah.

"Nya, kamu pilih dulu," pungkas Jefri.

"Aku di bawah aja yang deket, sama mbak. Yuk Mbak," ajak Anya seraya menggandeng tangan wanita itu yang terlihat canggung.

"Om, mau di mana?" tanya Jefri.

"Om di bawah saja, capek naik-naik tangga," jawab Indro, lantas pergi menuju kamar yang berada dekat dengan ruang makan.

"Yahhh," keluh Boni karena kamar itu incarannya.

"Udah, kau ikut aku!" titah Jefri dengan menarik temannya itu naik ke lantai atas.

Ketika sampai di lantai atas, Jefri penasaran dengan balkon. Dia langsung menuju ke sana, dari balkon itu ia bisa melihat pemandangan yang begitu jauh termasuk desa tempat mereka diserang tadi.

"Lihat apaan?" tanya Boni ikut penasaran.

"Itu." Jefri menunjuk suatu tempat.

Boni mengernyit. "Bukannya itu desa yang tadi kita ...."

"Iya betul, pantas dia bisa nyelametin kita tepat waktu," ujar Jefri.

"Ya udah, ayo ke kamar. Capek nih," ajak Boni dengan melangkah terlebih dulu.

Jefri mengikutinya setelah melihat sekitar area rumah itu dari atas balkon. Hari yang begitu melelahkan, membuat grup Jefri tertidur dalam sekejap. Kalau bukan karena dibangunkan oleh pria itu, mungkin mereka akan tertidur sampai esok hari.

Indro bangun terlebih dahulu, dia sedang mengobrol santai dengan pria itu ketika yang lainnya berkumpul di meja makan.

"Kalian turun akhirnya," ujar pria itu ke Boni dan Jefri yang terlihat masih mengantuk.

Mereka sedikit malu, karena ketika dibangunkan tadi, mereka langsung gelagapan dan mencari tombak untuk bersiap menyerang. Ketika pria itu mengatakan bahwa mereka aman, barulah tombak yang mereka berdua pegang itu turun dan mereka pun tersadar.

"Iya mas, haha," jawab Boni dengan kikuk.

"Cuci tangan dulu, ayo kita makan," ajak pria itu.

Semua patuh dan langsung bergantian mencuci tangan di wastafel . Penutup makanan dibuka perlahan dan tampaklah lauk pauk serta nasi yang tak mereka makan selama berhari-hari.

Tiba-tiba Boni menangis. Semua mata menatap ke arahnya dengan kernyit bingung.

Boni berbicara dengan sesenggukan, yang membuatnya terlihat seperti orang gagap. "Te-te-ternyata, sa-sa-saya, secinta itu de-de-dengan nasi. Nggak ngelihat nasi selama beberapa hari saja, ra-ra-rasanya udah sangat rindu." terangnya seraya menghapus air matanya yang turun.

Semua menggeleng dan tertawa kecil mendengar penuturan Boni.

"Bonnnn Bon, kau itu bukannya cinta sama nasi. Bilang aja kalau roti bagianmu itu nggak pernah bisa ngebuat kamu kenyang," ledek Jefri dengan menepuk perut temannya itu yang sudah tak tertutup wajan. "Loh, di mana wajanmu?" tanya Jefri.

"Tak lepaslah," sahut Boni.

Pria itu dan yang lainnya tertawa kecil mendengar ledekan Jefri ke Boni yang terlihat cemberut.

"Udah, ayo makan," tegur Indro.

Boni langsung nampak ceria, mereka semua makan dengan senang dan lahap. Boni sampai nambah 2 kali. Di sela makan, Indro bertanya pada pria itu. "Tadi aku mendengar kamu menyebut Zombie. Apa itu Zombi?"

"Zombi adalah ...."

Next chapter