webnovel

09. Interogasi

Pihak polisi terutama detektif mereka itu - Iqbal - memutuskan untuk melakukan interogasi terhadap semua orang di rumah Nyonya Jean. Salah seorang yang paling menolak adalah perempuan berambut pirang,

"Maaf tuan detektif, tapi dosenku memberikan kelas pagi hari ini, aku tentu tidak bisa mengikuti interogasi konyolmu itu," ungkap Rose berniat mengambil langkah pergi dari ruangan tempat kami semua berkumpul.

"Apa katamu? konyol? Nona pirang tolong jaga mulut tak berpendidikanmu itu, interogasi adalah standar penyelidikan polisi, jika seseorang menolak untuk diinterogasi maka kemungkinan besar orang tersebut adalah pelakunya atau... kaki tangan si pelaku, atau... orang bodoh yang tidak tau apa-apa,"

"Oh tuan detektif, ternyata mulutmu itu berbanding terbalik dengan jabatanmu, maksudku, untuk apa melakukan interogasi terhadap orang yang jelas-jelas tidak terlibat?" imbuh Rose dengan nada terdengar agak kesal.

"Opsir Bale, apakah ruang interogasi sudah disiapkan?" tanya Iqbal pada petugas yang baru saja memasuki ruangan.

"Sudah detektif, ruang makan disana bisa digunakan untuk interogasi darurat," jawab pria dengan kumis tipis di atas bibirnya.

Rose menghela nafas keras membuat semua orang disana bisa mendengarnya. Aku diam saja, bertatapan mata langsung dengan detektif muda itu dan menjawab setiap pertanyaannya bukan hal pertama bagiku. Sepertinya ada hal yang mengganggu pikiran Iqbal, sehingga perlu diadakan interogasi terhadap setiap orang - atau - mungkin memang begitu cara kerjanya.

"Baiklah Nona pirang!" panggil si detektif dengan julukan baru Rose, "Kau adalah orang yang akan memulai terlebih dulu, silahkan ikuti langkahku jika malam ini kau tidak ingin tidur kedinginan di penjara," Iqbal berbalik badan dan menghilang dari ruangan, sementara lelaki lain bernama Bale masih mematung di posisinya sedia kala.

Kurasa perkataan tuan detektif barusan tak hanya membuat diriku saja yang merinding, tapi juga semua calon korban interogasi. Hal itu lantas membuat langkah Rose segera maju menyusul diikuti Opsir Bale.

***

Ulah lelaki bernama Iqbal itu menguras waktu yang cukup panjang, semua penyewa kamar yang sebagian besar adalah mahasiswa terpaksa meminta izin untuk melewatkan kelas. Kami semua menunggu dalam diam dengan pikiran yang bisa kutebak menyiapkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang diharapkan keluar. Rose yang sudah menyelesaikan bagiannya sedari tadi tak henti mengumpat sebab dilarang kembali ke kamar oleh petugas. Sedangkan Ariana yang tak bertemu dengan detektif tadi pagi tengah duduk di samping kananku. Dan Jessica sedang dalam ujiannya menghadapi Iqbal.

Di antara semua yang menunggu, Nyonya Jean lah yang paling sibuk bolak-balik ke dekat jendela untuk menerima telepon. Aku tahu pasti banyak pihak diluar sana yang khawatir tentang keamanan rumah perempuan tua itu setelah berita teror menyebar luas. Jika kuperhatikan, sudah hampir setengah jam Jessica di ruang makan sana dan yang paling lama sejauh ini. Aku penasaran apa yang membuat Iqbal nyaman menghabiskan waktu dengan perempuan jakung berambut jagung itu.

"Apa yang sebenarnya dilakukan Iqbal pada Jessica? Aku jadi ingin menyusulnya," ujar Ariana hendak berdiri dari duduknya. Namun, Aku mencegah.

"Kurasa Iqbal menyukai Jess dan sedang menggodanya saat ini, sampai melupakan orang-orang sengsara disini dari otaknya, dasar detektif brengsek!" sinis Rose yang mendengar ujaran Ari.

Tak ada yang menanggapi. Bahkan petugas polisi berwajah bulat yang menjaga ruangan tersebut. Kutebak Dia sudah paham dengan karakter manusia seperti Rose yang suka hilang kontrol dengan mulutnya.

Pucuk dicinta, ulama pun tiba - begitu kiranya kata pepatah yang tepat untuk menyambut kehadiran Jessica memasuki ruangan. Perempuan itu langsung melemparkan tubuhnya di tempat kosong samping kiriku.

"Benarkan itu Jess jika detektif sialan disana telah menggodamu, dasar lelaki jalang,"

Umpatan-umpatan Rose semakin menjadi, sementara tidak ada yang berusaha menghentikannya. Jessica pun memilih tidak menjawab.

"Apa yang telah terjadi?" tanyaku mencoba memancing sepatah dua patah kata dari mulutnya.

"Apa kau tau yang kujelaskan pada lelaki bermata gelap itu?" Jessica berbalik menyuguhkanku dengan pertanyaan.

Aku dan Ari kompak mengangkat bahu. Perempuan itu menunduk sebelum mengejutkan kami berdua,

"Tak ada yang bisa kukatakan selain menceritakan kembali soal kasus serupa di kampung halaman nenekku sepuluh tahun yang lalu,"

"Oh tidak, kau membuat orang-orang disini hampir mati menunggu," balas si rambut pendek.

"Apa dia menikmatinya?" Aku menyipitkan mata menuntut jawaban.

Jessica mengangguk,

"Ya, tampaknya memang begitu, aku bahkan mengatakan soal deduksimu terhadap nenekku,"

"Hah?"

"Tentu saja tentang kemungkinan nenekku sebagai tersangka dalam kasus tersebut,"

"Sial!" umpatku menebak pasti setelah ini Iqbal akan semakin mempermainkanku.

***

Jarum jam terus berputar mengikuti gerakan alam semesta, seperti yang kuduga beberapa menit sebelumnya, aku akan menjadi korban interogasi yang terakhir setelah Nyonya Jean. Tak ada yang melayang di pikiranku selain pasrah dan menyelesaikan semuanya. Aku melangkah dengan ritme pelan menuju ruang makan, sosok Iqbal telah menunggu disana dengan raut wajah yang masih sama seperti tadi pagi.

"Sungguh terbuat dari apa lelaki yang satu ini," - batinku dalam hati.

Aku mendudukkan diri di kursi untuk membalas tatapan tajam Iqbal. Meski aku merupakan mangsanya yang terakhir. Namun, aku berani bertaruh lelaki itu tak suka membuang-buang waktu, justru malah semakin bersemangat saat mengulitiku nanti.

"Nona Aster, aku telah mendengar semuanya dari Jessica, kurasa kau berharap nenek perempuan itu berada di posisimu dan berguru padanya tentang cara mengelabuhi polisi dan membebaskan diri dari posisi tersangka, bukan begitu?"

"Kau bukanlah yang maha tau segalanya detektif, aku hanya berpendapat tentang kemungkinan logis, bukan karena maksud tertentu," sahutku mencoba bertahan dari serangannya.

"Baiklah, sekali lagi aku ingin memastikan, apa belakangan ini tidak ada yang mengganggu dirimu? Seseorang yang mengetahui soal masa lalumu dan kasus pembunuhan itu,"

"Kurasa memang tidak ada, lagi pun soal kasus itu apa kalian tidak menemukan informasi soal sosok hitam bertopeng?" tanyaku penasaran dengan kinerja polisi dua tahun terakhir ini.

Belum ada tanggapan. Aku menunggu balasan berisi kemajuan dari kasus tersebut. Namun, betapa mengejutkannya saat Iqbal menggeleng.

"Kami tidak menemukan apa-apa soal sosok yang kau maksud Nona Aster, bahkan kupikir itu adalah sosok fiktif di kepalamu agar terbebas dari tuduhan tersangka,"

"TAPI AKU TAK BERBOHONG!" teriakku merasa terhina.

"Lalu apa buktinya?" tanya Iqbal memastikan. Namun, bagiku amat sangat menyebalkan.

"Tuan detektif, hutan memang sangat gelap, tapi tidak menutup kemungkinan untuk menemukan titik terang,"

Iqbal kembali mengangguk.

"Atas dasar teror ini dan bukti kertas yang mendarat di kamarmu, aku semakin mantap untuk menaikkanmu menjadi tersangka, nona bersiaplah untuk penyelidikan lanjutan dan bayang-bayang pengadilan, aku menantikanmu disana,"

Kedua lututku sungguh lemas hampir tak bisa melangkah kembali ke ruangan. Perkataan terakhir Iqbal benar-benar menghantamku, nyatanya duniaku akan kembali menghitam dan kurasa mimpi tentang mawar abadi itu sebagai pertanda awal.

#bersambung#

Next chapter