webnovel

Ucapan selamat tinggal

Sukanta sahabat terbaikku kala kaki ini berjalan di tepian kota Jakarta. Dia Sukanta pemuda sunda yang sangat ahli dalam bela diri yang bernama teratai putih. Yang dahulu beberapa tahun yang lalu sering dan acap kali menjadi lawan tanding beberapa pemuda seperti Sukanta. Dikala aku masih berseragam putih dan abu-abu.

Tapi kali ini Sukanta pemuda berasal dari Rangkas Bitung sebuah kabupaten di salah satu sudut kota Banten adalah sahabat terbaikku teman susah dan senang. Iya menjadi teman satu kerja dan satu kamar kosan.

Yang mengajakku akan kemandirian dan keluar melewati gerbang nyaman rumah Pak Haji Jen. Untuk menikmati kerasnya malam ibu kota dan baku hantam tengah malam kala di terminal.

Pagi itu kala aku memberikan satu pelajaran berharga untuk yang mengaku suami dari Mbak Moza iya baru saja pulang dari kerja lembur di terminal dan iya hanya melihat dengan tertawa geli.

Mungkin dalam hatinya aku jua bisa menggunakan jurus totok saraf seperti Pendik. Ya Sukanta adalah pekerja keras seperti halnya aku jua. Seakan tiada waktu yang harus terbuang sia-sia kami terus bekerja dan hanya sedikit terlelap. Mungkin empat jam tertidur itu sudah terlalu lama bagi kami dan sangat merugi sebab waktu sudah hilang begitu saja. Iya berlalu sesuai putaran jam hilang sia-sia.

Kami bekerja sepanjang hari bahkan malam kami jua bekerja mungkin apabila tubuh ini bukan seonggok daging dan susunan tulang yang jua membutuhkan istirahat sejenak. Tentu detik menuju detik nafas yang keluar dari mulut dan hidung menggaungkan kata kerja.

Kami bekerja dari pukul 5:30 pagi pada kantor-kantor yang kami tempati untuk bekerja. Aku sebagai Office Boy kali ini menggantikan salah satu karyawan yang dahulunya jua Office Boy kini naik satu peringkat menjadi bagian pajak. Itu terjadi sebulan yang lalu saat aku baru mulai memutuskan hidup di kosan.

Dan Sukanta adalah seorang pengawal pribadi seorang putri konglomerat yang hidupnya setiap hari di hotel Mariot. Sebuah hotel tiga tower pas di utara tempatku bekerja gedung graha Atrium. Sukanta lebih gila lagi jam 05:00 teramat pagi iya sudah harus berada di lokasi kerja. Namun kami tak pernah pulang bersama sebab jadwal kerja Sukanta yang tak menentu.

Sedangkan aku yang memiliki jam kerja teratur dari pukul 05:30 hingga pukul 18:30. Memiliki kesempatan lebih untuk mendapatkan pekerjaan lain di kala malam tiba. Dari menggantikan kernet utama bus P157 sampai membantu seorang nenek berjualan kopi di tengah terminal Senin.

Tak jarang aku harus pulang teramat pagi demi besok dapat membeli sebungkus rokok dan sebungkus nasi dan segelas kopi.

Namun entah kenapa dari cara kami bekerja uang tak pernah terkumpul saat kami di Jakarta berbanding lurus dari begitu mudahnya kami mendapatkan pundi-pundi uang.

Begitu mudah jua kami menghabiskan terlalu muda kala itu kami untuk mengerti sebuah makna perjuangan hidup yang sesungguhnya.

Misi kami adalah asal hati senang tak pernah susah. Setiap minggu kami selalu ada saja sebuah rencana untuk berlibur dari segala kepenatan rutinitas pekerjaan dan di akhir bulan vila puncak dan beberapa gadis dari masa kenakalan remajanya selalu ada entah dua atau tiga bahkan acap kali kami membawa empat gadis sekaligus.

Satu atau dua botol minuman setan selalu ada dan itu bukan harga yang murah. Kami selalu begitu kompaknya sampai kami dijuluki satu saudara di atas tanah perantauan Jakarta. Sukanta lebih tua dua tahun dariku tapi wajahnya tampak sepantaran denganku.

Pernah ada beberapa cerita yang hingga kini selalu terkenang di mata dan otakku dua kejadian yang sangat membekas di dalam alur perjalanan pertarunganku dengan si ibukota Jakarta.

Pertama sebuah kejadian saat malam menjelang tengah hari aku yang berjalan sendiri di tepian trotoar Senen sebelah pasar kue subuh. Sebuah pasar bagian dari pasar Senen dan hanya buka saat jam tiga pagi.

Kala itu aku sedang begitu malas pulang dan Sukanta belum jua kelihatan. Langkahku gontai menuju kosan dengan jejak kaki yang begitu ogah-ogahan dengan sedikit menyeret-nyeret sepasang sepatu yang melekat rapi di kakiku.

Pas di depan satu Brak di mana tempat pedagang nanti berjualan kue di bagian paling depan segerombolan anak Jakarta asli sedang asyik-asyiknya berpesta dengan gila dan beberapa botol minuman setan teronggok rapi berjajar di sana. Terlihat pula berbungkus-bungkus kacang kulit tertumpuk disisinya dengan bekas kulit tercecer memenuhi kanan dan kiri.

Sebenarnya aku tak begitu menggubris mereka dan hanya ingin melewati saja dengan berjalan tenang seolah aku tak melihat mereka. Dan ingin segera lekas sampai kosan lalu tertidur pulas sebab terlalu letih badan ini.

Tetapi satu tangan menyeretku masuk ke dalam kerumunan mereka. Mengajakku ikut berpesta namun dengan satu sarat untuk memberikan sejumlah uang sebagai biaya pengganti membeli minuman atau kalai puluhan botol yang tertata di atas meja telah habis mereka hendak membelinya kembali.

Kebetulan dompetku tertinggal di dalam Pantry kantor tempatku bekerja. Namun mereka tak menerima mengajakku bertarung dengan muka masam dan kemarahan. Dalam hati aku berkata, ini sudah tidak jelas mungkin memang mereka merencanakan hal ini jauh-jauh hari sebab ada dari salah satu mereka pernah babak-belur di tangan kami berdua aku dan Sukanta.

"Sudah jangan banyak cincong loh maju sini, biar gua kasih pelajaran matematika bahwa satu tambah satu berarti banyaknya benjol di muka low."

Namun teriakan mereka tak aku gubris dan aku hendak menghindar saja aku terlalu letih tiada bertenaga setelah bekerja dan terlalu malas bertarung ingin segera tidur saja.

Tetapi mereka kadung melayangkan pukulan pas mendarat di pipi kananku sebab lengahnya aku tiada konsentrasi terlalu penat dan peluh badan ini seusai bekerja menjadi kernet bus kota malam P157.

Alhasil sejenak tubuhku terguling di atas lantai pasar subuh Senen, "Ah aku hanya ingin pulang tidur ada apa sih dengan hari ini sial sekali aku kali ini."

Aku berdiri kembali sebab seharusnya pukulan seperti ini tak serta-merta dapat merobohkanku begitu saja.

"Kan baju seragam kerjaku jadi kotor, Ah mencuci lagi lah aku hari ini dasar apes,"

Sejenak kubersihkan debu yang menempel di kemeja dan celana yang aku pakai tanpa memedulikan mereka. Dan hanya ingin lewat saja tanpa melawan memang mataku sudah begitu kecut ingin segera tertidur begitu sangat mengantuk.

Saat aku melangkahkan kaki kembali namun satu tendangan menyusur tanah terlayangkan menuju kakiku.

Perak, pas di atas betis kakiku mendarat tendangan asal-asalan namun kali ini tak merobohkanku dan aku masih tegap berdiri. Dan mata dari pemilik kaki tampak melotot sebab aku tak tumbang seperti serangan pertama sebuah pukulan di wajah beberapa saat yang lalu.

Tiba-tiba sebuah bayangan melompat dari belakangku menendang, memukul lalu mengobrak-abrik sekumpulan berandal malam Jakarta penuh beringas membuat mereka kocar-kacir tak karuan.

Aku yang mengetahui kalaulah si empunya bayangan yang melompat barusan adalah milik Sukanta. Aku menjadi agak tenang sebentar aku duduk di tepian sambil menonton aksi Sukanta dan menyulut sebatang rokok di mulut yang hampir pucat kelelahan.

Sukanta pun telah usai membuat beberapa pemuda tadi babak belur lalu menghampiriku. Seraya duduk di sampingku meraih satu batang rokok di dalam satu bungkus yang ku pegang dan ikut menikmatinya.

"Pen ini balas budi waktu itu saat kau sendirian menghajar beberapa pemuda saat aku pertama kali kemari dan kita belum begitu akrab. Tapi bedanya aku saat itu sudah terkapar tertusuk pisau di punggung dan kau yang membawaku ke rumah sakit," ucap Sukanta menghisap rokok satu hisapan.

"Ah sudahlah Sukanta jangan diingat lagi," celetukku mengaburkan asap menuju langit Jakarta lalu asap hilang terbang di bawa angin.

"Kenapa tadi kau tak membalas aku tahu sahabatku Pendik adalah sang pendekar yang paling ahli dari kata menghindar dari sebuah pukulan dan aku tahu kecepatanmu bergerak kadang tiada bisa terbaca lawan. Kenapa tadi kau begitu mudah tersungkur heh," ucap Sukanta kembali sambil menatapku dan aku hanya fokus pada sebatang rokok dimulutku.

"Ah aku sudah terlalu lelah Sukanta aku ingin tidur," jawabku dengan begitu enteng dan berdiri untuk segera menuju kosan namun di hentikan dari beberapa perkataan Sukanta.

"Hai Pen, sobat jangan terus malas-malasan seperti itu seperti rezeki kita yang terus mengalir. Begiti jua dengan musuh kita yang terus ada, suatu hari nanti kau akan kualah menghadapi musuh yang begitu banyak sendirian," teriak Sukanta mengingatkanku dan masih berdiri seperti bayangan di belakangku.

Dan memang dia bayangan yang berbicara padaku mungkin sosok ruh Sukanta yang ingin berpamitan padaku. Dan sebenarnya pemuda-pemuda Jakarta yang mabuk di depanku tadi hannyalah ilusi semata karena kelelahan mataku.

Betapa mataku terbelalak kali ini penuh kesadaran dengan begitu terperangah melihat tubuh Sukanta bersandar di salah satu meja pedagang sambil memegangi perutnya yang masih tertancap sebuah belati penuh bersimbah darah.

Aku tak begitu saja percaya sebab ku rasa barusan ia di sampingku bercakap duduk di sampingku memintaku sebatang rokok. Sejenak aku menoleh ke belakang mencari Sukanta yang tadi bicara denganku. Dan dia masih ada dan berkata.

"Sobat itu memang tubuhku dan aku hanya datang untuk melihatmu, datang untuk memastikanmu baik-baik saja. Dan aku sudah terkapar beberapa jam yang lalu. Selamat tinggal sahabat sejati ku. Dan maaf aku tak dapat lagi menemanimu seperti malam-malam sebelumnya," lalu sosok Sukanta yang berada di belakangku perlahan menghilang.

Aku berlari menuju tubuh Sukanta menggendongnya yang berlumuran darah mencoba membangunkannya tapi dia sudah tak lagi bangun meninggalkanku selamanya.

"Sukanta...!" teriakku penuh pilu melihat tubuh Sukanta berlumuran darah di gendonganku.

"Maaf sahabat di saat terakhirmu aku tak ada di sisimu, maaf Sukanta."

Next chapter