Siang hari proses pemakaman Nenek Iyah baru saja selesai, semua orang sudah pergi satu persatu untuk kembali ke rumahnya setelah mengantar Nenek Iyah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Hanya tersisa Sonia yang sedang menangis di atas pusara Neneknya, ditemani oleh Andrew yang ada di belakangnya memegang bahunya.
"Nenek kenapa! Kenapa nenek pergi secepat ini, bahkan Sonia belum bisa menuruti keinginan nenek, yang ingin Sonia cepat menikah, maafkan Sonia Nek...." tangis Sonia memegang batu nisan nenek Iyah.
"Sonia... Pulang yuk, biar nenek istirahat dengan tenang. Kasihan dia kalau kemu tangisi terus kuburannya," ajak Andrew sambil membujuk Sonia untuk cepat pulang.
"Pulang saja sana! Aku ingin menemani nenek di sini, kasihan dia sendirian," jawab Sonia dengan mata yang membengkak akibat menangis terus.
Andrew memeluk Sonia dengan berjongkok di dekat makam. "Sonia tenanglah.... Jangan seperti ini," ucap Andrew sambil membelai rambut Sonia.
Sonia menangis sesenggukan di pundak Andrew, perlahan Andrew membantunya untuk berdiri lalu dia berbalik untuk membawa Sonia pulang ke rumah. Tiba-tiba suara geluduk menggema mengejutkan Sonia yang berada di dekapan Andrew, dan hujan deras membasahi tubuh mereka.
"Ayo cepat kita berteduh di sana," ajak Andrew sambil mendekap Sonia yang seketika menghentikan langkahnya lalu berbalik untuk mendekati makam neneknya.
Dengan cepat Andrew menyusulnya, dan melihat betapa Sonia begitu kehilangan sosok Nenek Iyah. Orang yang selama ini membesarkannya.
"Nenek pasti dingin ya, tenang Nek. Aku di sini peluk nenek, biar nenek enggak kedinginan," ucap Sonia sambil mengusap wajahnya lalu mendekap kayu nisan.
"Sonia ayo pergi, ini hujan! Nanti kamu sakit," ajak Andrew sambil menarik tangan Sonia yang menolak untuk pergi.
"Enggak mau! Aku mau temani nenek saja!" jawab Sonia di tengah hujan deras dan geluduk yang kencang.
Hujan semakin deras, geluduk dan petir begitu menakutkan. Terpaksa Andrew harus membopong Sonia, untuk segera pergi menuju mobilnya. Sonia kesal, dan terus meminta untuk Andrew melepaskannya.
"Lepas! Aku mau sama Nenek, kasihan dia kedinginan," bentak Sonia dengan menatap tajam Andrew yang sedang membopongnya.
Andrew terus melanjutkan perjalanan menuju mobilnya, tanpa menghiraukan Sonia yang tidak bisa diam ingin kembali ke makan Neneknya.
"Maafkan aku Sonia, aku tidak bisa hanya diam saja melihat kamu kehujanan di sana, aku akan selalu menjaga amanah dari Nenek Iyah," batin Andrew sambil berjalan membopong Sonia di depannya.
Di perjalanan Mathew memandangi hujan dari kaca jendela mobilnya, sambil teringat kenangan manis di dalam pikirannya.
***Flashback memori Mathew***
20 tahun yang lalu....
Pagi hari hujan deras, Mathew remaja 18 tahun baru saja bangun dan melihat adik laki-lakinya yang berusia 8 tahun masih terlelap tidur di sampingnya. Mathew tersenyum sambil merapikan selimut untuk adiknya. Setelah itu dia keluar dari kamarnya, lalu melihat ke jendela hujan yang begitu deras. Seketika ada yang menarik pakaiannya dari belakang, dia adik laki-lakinya.
"Aku lapar,,,," keluh sang adik yang tidak bisa melihat, berdiri dengan menggunakan tongkat untuk membimbing jalannya.
"Iya aku baru akan membuatkan kamu sarapan, tunggulah di kamar. Nanti aku akan memanggil kamu, jika makanannya sudah jadi," perintah Mathew sambil mengelus kepala adiknya.
Adiknya tersenyum lalu pergi meninggalkannya, Mathew berjalan ke arah dapur yang sederhana untuk mencari bahan makanan di rak piring, tapi dia tidak menemukan makanan apa pun di sana. Dia melihat dompetnya, untuk mengambil uang tapi tak ada selembar uang di dompetnya.
"Bagaimana aku bisa memberinya makan, sedangkan aku tidak punya uang. Aku lupa sudah dia hari tidak ada yang memberikan aku pekerjaan," batinnya sambil menghela nafas memikirkan cara mendapatkan makanan.
TOK...TOK...TOK.....
Terdengar suara ketukan pintu, dia bingung dengan orang yang bertamu di hujan yang deras ini.
"Siapa yang bertamu hujan-hujan seperti ini," gumamnya sendirian lalu berjalan menuju pintu rumahnya untuk membukakan pintunya.
Setelah membuka pintu, dia tak melihat ada orang. Saat ingin menutupnya kembali. Dia melihat kantong plastik hitam yang diletakkan di dekat rak sepatu.
"Apa ini?" tanyanya sambil membuka plastik hitam yang terikat itu.
Saat melihat isinya enam butir telur, mi instan, dan beberapa jajanan pasar seperti kue-kue yang manis. Mathew kembali menutup pintunya, lalu tersenyum melihat makanan yang ada di dalam plastik.
"Ini pasti dari Nenek itu," gumamnya lalu berjalan cepat menuju dapurnya untuk masak mi dan telurnya.
Setelah mi dan telurnya matang, dia langsung memanggil adiknya yang sedang tiduran di kasur lantainya.
"Ayo makan, semuanya sudah siap," ajak Mathew sambil meraih lengan adiknya untuk membantunya berjalan.
"Aku ingin berjalan sendiri, tidak usah dipegangi," ucap adiknya dengan tongkat ditangannya.
Mathew tersenyum lalu menyiapkan semangkuk mi dengan telur di atasnya, dan memberikan kepada adiknya.
"Mau disuapi," ucap Mathew menawarkan diri untuk menyuapinya.
"Tidak usah, aku akan makan sendiri. Bagaimana aku mau bisa, jika aku tidak belajar mandiri dari sekarang," jawab adiknya tersenyum lalu mencoba mencari sendoknya.
Mathew menahan tangisnya, tidak tega melihat adiknya yang buta. Dia memberikan sendok ke tangan adiknya.
"Kalau membantu seperti ini tidak apa-apa kan," ucap Mathew sambil tersenyum menyembunyikan rasa sedihnya.
"Iya tidak apa-apa, aku akan memulai makan. Jadi jangan bicara lagi," jawab adiknya tersenyum lalu melahap sedikit demi sedikit mi ke mulutnya.
Tak kuasa menahan tangisnya, Mathew lalu melahap untuk menyembunyikan dari adiknya yang tidak suka melihatnya menangis.
"Apa punya kakak pedas?" tanya adiknya mendengar suara seperti menangis.
"Iya aku menambahkan cabai, jadi sangat kepedasan," jawab Mathew sambil mengunyah makanannya dan mengusap air matanya.
"Jangan pedas-pedas, nanti perutmu akan sakit," larang adiknya yang mau melahap mi, tapi terjatuh ke lantai.
Adiknya ingin mengambil mi yang sudah jatuh ke lantai, tapi Mathew menghentikannya dengan memegang tangannya.
"Makanan yang sudah jatuh ke lantai, jangan pernah di makan lagi ya," ucap Mathew memberitahu adiknya.
"Baiklah, aku tidak akan memakannya," jawab adiknya tersenyum.
***Kembali ke masa kini***
"Semoga saja sekarang semuanya telah berubah, aku yakin kamu tidak akan pernah menderita lagi seperti dulu. Aku yakin itu," batin Mathew sambil menghela nafasnya melihat hujan yang sudah sedikit reda.
Di perjalanan Andrew melihat Sonia yang marah kepadanya, dengan terus menangis sambil memandangi gerimis dari kaca jendela mobilnya.
"Maafkan aku Sonia, ini semua demi kebaikanmu," ucap Andrew sambil menyetir mobilnya dan sesekali melihat Sonia yang tidak menjawabnya. "Sonia bicaralah, bukankah kita berjanji untuk akur dan tidak akan pernah marahan," lanjut Andrew membujuk Sonia untuk bicara dengannya, tidak ingin sahabatnya.itu terus menangis meratapi kesedihannya.