webnovel

Firasat buruk

"Apa dia sudah tidur," guman Elis, menaruh kembali mangkok berisi bubur yang sudah habis setengah cukup melelahkan setelah memandikan bayi besar harus menunggu sampai tertidur kembali. Elis tak tega juga meninggalkan Adinata sendiri tapi ia juga sudah memiliki janji pada Leni. Elis bergegas mengambil kembali dompetnya menuju ke ruang lift ia sangat letih jika harus melewati anak tangga.

"Dayana," panggil Elis, langkahnya terhenti ketika melihat Dayana meringis kesakitan. Elis ikut berjongkok mengecek Dayana.

"Kakimu berdarah"

"Tidak papa, Nona, saya bisa berdiri kok," tolak dayana tak.mau menyusahkan Nona Muda. Dayana berusaha untuk bangkit namun kakinya sangat terasa nyerih

"Ck, tunggu sebentar jangan nolak." Elis memhuka tas ranselnya beruntung saja setiap akan berangkat selalu membawa obat untuk berjaga-jaga, dengan telaten Elis mengobati luka Dayana lalu memberikan perban.

"Nah sekarang sudah selesai istirahatlah jangan banyak bergerak." Elis memegang pundak. Dayana membantunya untuk berdiri.

Dayana mengerjapkan mata Nona Muda yang dinikahi Tuan Adinata sangatlah berbeda dari dari setiap gadis yang dikencani.

"Terimakasih Nona."

Elis tersenyum malu mengangguk membantu Dayana untuk berbaring di sofa.

Dayana memperhatikan gerakan tangan Nona Muda yang lincah memberikan perban sungguh Tuan Muda sangat beruntung memiliki pendamping sebaik Elisa Kinanti. Tak pernah ia bisa sedekat ini dengan majikannya terlebih dulu. Nona Elis sangat berbeda jauh dari gadis berkelas wajahnya yang natural tak terlalu memakai make up senyum yang manis, penampilan yang sederhana

"Tidurlah nanti akan ada yang menggantikanmu."

"Terimakasih Nona."

"Kalau hanya sekedar kata aku sih nggak kan terima," Elis menimang kata-katanya senyum gadis itu sekejap sirna terganti wajah yang berpura-pura sok tidak mau.

"Ak ... aku harus lakukan apa agar Nona mau menerimanya."

Elis menyodorkan lenganya seraya tersenyum lebar

Bagaimana Tuan Adinata tak jatuh hati dia saja yang wanita sangat suka melihat senyuman Nona Muda.

"Jadilah temanku."

"Ck! Kelamaan." Elis meraih tangan kanan Dayana lalu menggoyangkan tangannya seperti berjabat tangan.

"Nah mulai sekarang berhentilah canggung denganku.

"Iya Nona."

Dayana menarik tangannya kembali canggung sekali bisa berdekatan dengan Nona Muda.

"Jaga dirimu baik-baik oh, ya minum juga obat pereda nyerinya ya." Elis melambaikan tangannya sebelum menutup pintu.

"Nona muda sangat baik."

***

Leni menyeka keringat yang bercucuran di dahi gadis itu ia berusaha untuk mengatur napasnya.

"Kemana sih Kinan janjinya datang jam segini ih kok belum datang mana sial banget ada anjing gila," gerutunya dengan deru napas yang tak beraturan. Leni berjongkok menatap langit yang tak mendung dan berawan.

"He udah lewat 30 menit awas aja kalau sampe sejam belum datang."

"Kak."

"Katak mati!"

Lelaki yang memakai baju kotak-kotak tersenyum seraya mengaruk tekuknya

"Reza kamu kenapa di sini, ngangetin Kakak." Kalau bukan adik Elisa Kinanti siap-siapa kepala bocah tengil ini akan gundul.

"Hehe abis ngerjain tugas kelompok Kakak sendiri kenapa di pinggir jalan?" tanya Reza, pui-pui keringat membanjiri dahi wanita berusia 23 tahun itu.

"Nunggu kakakmu! Lama banget," kesal kan sekarang kalau bahas Kinan alisa Elis yang biasa sebut nama belakangnya.

"Loh kakak nggak tahu apa?" Alis reza terangkat sebelah.

"Tau ahk, kakakmu kemana di telpon ngga angkat mau ke rumah di larang bikin apa sih dia di rumah sampe nggak mau aku samperin."

Bocah enam belas tahun itu memincingkan matanya

"Dih kenapa tuh mata tajam amat."

"Kak Leni nggak tahu?"

Gemasnya adik Elisa Kinanti ini imut sekali. "Gimana mau tahu Reza anak yang ganteng, kan, belum cerita."

Reza menepuk dahinya seriuskah teman yang kata kakaknya sahabat terbaik tak tahu. Reza membuang napas kasarnya sebelum lanjut cerita untuk menguatkan hati kakaknya yang menikahi namun Reza yang terbakar amarah kesal ketika melihat wajah orang tuannya di pelaminan.

"Kak Elis ...."

"Reza!" ucapan Reza terpotong saat seseoramg wanita berdiri di belakang. Keduanya menoleh melihat Elis yang datang dengan setelan formal.

"Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Aku sampe dikejar anjing gila untung lariku kuat jadi tuh anjing nggak ngejar lagi."

"Reza kamu kok di sini?" tanya Elis

"Oh itu baru pulang dari rumah teman ngerjanj tugae kelompok."

Bukan Reza yang menjawab tetapi Leni

"Dah yuk kita udah terlambat nih, Reza bay-bay kamu pulang gih." Leni menarik lengan Elis sementara Reza menatap kakaknya dari kejauhan

"Kakak kenapa nggak cerita ya?"

***

Di ruangan yang hampir berjejer banyak buku aromanya sanhat khas kedua gadis yang kini duduk di depan pintu ruang tunggu.

Tangan Leni gemetar, canggung, dan gugup sesekali gadis itu menarik napas dan membuangnya sampai berulang kali.

"Gimana nih."

Elis menepuk pundak sahabatnya memberi ketenangan.

"Pasti bisa kan cuman mau wawancara bentar."

Tak lama menunggu suara dari monitor memberi tahu akhirnya kedua gadis itu berdiri depan pintu sebelum masuk keduanya sama-sama berdoa.

"Permisi Pak," kata Elis, disusul Leni

"Silahkan duduk," ucap pria paruh baya lalu memindahkan buku yang berada di depan mejanya

Leni dan Elis bergegas duduk.

"Wah, selamat atas kemenangannya tingkatkan lagi ya."

Elis menerima jabatan tangan pria dihadapannya.

"Jadi begini kami selaku pihak pertama sangat bangga atas karya yang tersaji dan ini." Pria itu mengeluarkan sebuah surat. "Kami ingin mengontrak anda sebagai penulis tetap silahkan tanda tangan."

Mata Leni berbinar penuh semangat "Serius Pak."

Pria itu mengangguk

Leni meraih map putih saat ingin membubuhi tanda tangannya Elis menahannya lalu melirik pria berkacamata..

"Tapi mohon maaf sebelumnya kok. Saya baru tahu ada kontrsk semacam ini Pak?"

Pria itu melepaskan kacamata dari pangkal hidungnya.

"Kontrak ini hanya tertuju pada lima orang pemenang dan Nyonya Elisa Kinanti dan Nyonya Leni terpilih dalam lima itu yang lain juga dapat silahkan lihat."

Leni mengambil ponsel yang disodorkan.

"Permisi dulu ya, Pak, kami ingin keluar sebentar."

"Tapi eh ... Kinan ini..." Elis menarik tangan Leni keluar dari ruangan

"Ih Kinan kok nggak langsumg tanda tangana aja sih kan ini rejeki nggak boleh ditolak," kata Leni berapi-api sangat bodoh sekali temannya tak kunjung membubuhi tanda tangan kan beres daripada mereka harus bersusah memulai dari nol lagi.

"Iya tahu, tapikan kita harus mengeceknya dulu ada yang ...."

Leni mengusap tangan Elisa Kinanti. "Aduh sayangku jangan banyak mikir loh, kesempatan nggak datang dua kali, please deh."

"Tapi Len ...."

"Dah yuk masuk lagi sebelum berubah pikiran."

Elis.mengebuskan napasnya pelan mengikuti Leni mau menolak tak tega juga melihat perjuangan Leni selama ini.

Leni mengeser kursinya kembali duduk matanya menyorot agar elis juga ikut duduk.

"Maaf ya, Pak, teman saya tadi mau ngomong sebentar."

"Len ...."

Leni menaruh jarinya di bibir menyuruh Elis agar tak banyak protes.

"Terimakasih sudah mau mempercayakan kepada kami, Pak, sebisa mungkin kami akan memberi yang terbaik."

Next chapter