webnovel

NIAR: Tidak Tenang

NIAR: Tidak Tenang

Ya jujur saja aku sebenarnya juga berat. membayangkan dokter Vian akan segera meninggalkan ku. Sebenarnya memang benar aku hanya berusaha kuat. Oleh karena aku merasa dokter Vian sangat enggan dengan niat baiknya kali ini. Aku hanya berpikir bahwa aku harus tetap mendukungnya agar ia semakin bersemangat melanjutkan sekolahnya.

Namun, pada akhirnya aku harus melo juga saat melihat dokter Vian duduk di meja makan di depan ku. Seketika bayangan ku terbang jauh ke masa nanti jika ia telah meninggalkan aku. Takkan lagi ia menemani ku menghabiskan sarapan. Atau makan siang dan makan malam. Terlebih....

"Saya akan tidur sendiri" Keluh ku lagi.

"Hemp... Sekarang sudah terbiasa tidur dengan ku ya"

"Iya...."

Namun tentu aku tak ingin terlalu berlarut dalam kesedihan ini. Aku memilih untuk bangkit lagi dan kembali memenuhi hati ku dengan banyak semangat. Tak mau aku membuat dokter Vian menjadi semakin khawatir lalu mengurungkan niatnya.

Dua hari berlalu setelah drama tangis ku waktu itu. Sungguh aku bersyukur karena suami ku mulai nampak fokus pada ujiannya yang akan di laksanakan dua hari lagi. Membuat ku semakin tenang.

"Kalau tukar jaga saja bagaimana?" Tawarku.

"Dengan siapa?"

"Dokter Asta mungkin. Dia kan dokter baru, pasti iya iya saja jika dimintai tolong. Apalagi yang meminta tolong kepala IGD" Jawab ku.

"Ya tidak begitu donk... Namanya memanfaatkan jabatan. Haish!" Katanya sembari mencubit hidung ku.

Iya juga ya. Bodoh sekali sih aku. Hem!

Hingga hari ujian dokter Vian tiba. Aku semakin tegang. Namun dokter Vian semakin tenang.

"Ku antar dulu! Aku masih ada banyak waktu" Katanya.

"Tidak perlu. Saya berangkat sendiri saja. Dokter Vian tenang-tenang saja di rumah sampai waktu ujian di mulai"

"Ujiannya kan masih jam delapan malam. Tidak apa. Ku antar saja dulu"

Aku menurut.

Sebenarnya aku ingin menghindari dokter Vian. Oleh karena aku menjadi salah tingkah membayangkan ujiannya akan berlangsung beberapa jam lagi.

Jadilah napas ku amat sangat tidak beraturan. Aku terus memainkan kesepuluh jemariku. Sementara pandangan ku terus berputar-putar tak tentu arah.

"Kenapa? Kenapa begitu wajah mu?" Tanya dokter Vian.

"Te, tegang"

"Karena?"

"U, ujian dokter Vian" Jawab ku terbata lagi.

"Lha kan yang ujian aku. Kenapa kamu yang tegang?"

Entah? Aku juga tidak tahu kenapa. Apa karena aku semakin menyadari bahwa perpisahan kami semakin nyata ya? Haduh!

"Takut aku tidak diterima?"

"Entah... Saya juga tidak tahu. Saya hanya gugup saja"

"Emp... Padahalkan seharusnya kamu yang menangkan aku. Ini kok malah terbalik. Hahaha"

Iya iya. Kan harus aku yang menenangkan dokter Vian. Tapi ini malah dokter Vian yang menangkan aku.

Turun aku dari mobil dokter Vian. Ku lihat ia berlalu dan kembali pulang. Melangkah lah aku ke IGD dan saatnya aku harus berjaga siang saat ini. Jujur saja, kali ini benar-benar berbeda karena ini adalah kali pertama aku berjaga tanpa dokter Vian setelah kami menikah.

Menit demi menit ku lalui. Bahkan banyak kali aku melihat jam dinding di IGD ini. Sungguh berjalan amat lambat dimata ku.

"Pasien di tirai tengah CT-Scan nya sudah keluar?" Tanya dokter Asta pada kami.

"Lho tadi kalau tidak salah... Niar! Sudah kamu ambil belum?" Tegur kak Nilam.

Hem? Astaga! Aku lupa.

"Ma, maaf, Dokter... A, akan saya ambil sekarang!" Jawab ku seraya bangkit dari tempat ku.

Hingga aku lupa bahwa aku sedang bekerja. Sungguh raga ini memang berada di IGD. Namun seluruh hati dan jiwa ku berada di rumah. Membayangkan suami ku yang sedang menjalankan ujiannya.

Lekas aku kembali ke IGD usai ku ambil hasil CT-scan pasien tadi. Ku serahkan pada dokter Asta lalu tentu saja lagi-lagi aku terkena teguran pedas dari perawat senior.

"Kalau bekerja itu pikiran jangan kemana-mana! Jangan melamun saja!Ada doktor ceroboh seperti mu, Niar, Niar! Ingat! Kita di IGD, bukan di ruang operasi yang bisa tenang jika tak ada pasien. IGD, ada atau tidak ada pasien sama saja!"

"Iya, Kak... Maaf" Jawab ku.

"Dengarkan jika diberitahu! Jangan iya, iya saja. Diingat baik-baik! Ini berkali-kali ditegur sama saja tingkahnya! Tidak ada perubahan!" Tambah perawat lainnya.

Hemp! Jika dokter Vian sudah benar-benar meninggalkan IGD. Lalu aku juga benar-benar menjadi kepala ruangan ini. Masihkah mereka bersikap seperti itu pada ku?

Sepertinya iya ya.

Waktu berselang. Ku sadari jam telah menunjukkan pukul delapan malam. Ku lihat handphone ku dan tak ku dapati sebuah pesan pun dari suami ku. Saat ku lihat notifikasi kontaknya, baru lima menit yang lalu ia mengaktifkannya. Lalu saat aku mencoba menghubunginya, tidak pula ia lekas menjawab. Yang artinya, dokter Vian telah menjalankan ujiannya.

Jujur saja aku makin tidak tenang. Entah bagaimana suami ku saat ini. Ingin sekali aku lekas pulang dan memastikan keadaannya. Atau mungkin juga jika aku bisa membantunya walau sedikit saja.

Namun jam pulang ku masih satu jam lagi. Juga tidak ada dokter Vian yang bisa melindungi ku seperti biasanya jika aku ingin pulang duluan. Pasti perawat senior ini akan lagi-lagi menegur ku. Lalu memberiku banyak ceramah panjang. Haduh! Geram sudah telinga ku mendengar semua ceramah mereka.

"Ada pasien, Niar. Diam saja!"

"Iya, Kak!" Jawabku mengikuti seniorku ini juga dokter Asta.

Hanya aku menghela napas panjang! Berusaha bersabar dan berharap waktu lekas berlalu.

Tapi kali ini ku rasa aku memang benar-benar tidak profesional. Andai dokter Vian pun tahu, dia pun juga pasti akan menegur ku. Tapi ya mau bagaimana ya. AKu memang benar-benar tidak tenang.

Hemp!

Hingga waktu berlalu dan aku tidak menyadarinya. Satu persatu perawat yang akan berjaga malam telah datang dan ku rasa sudah saatnya bagi ku untuk pulang. Setelah ku sadari waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam lebih.

Ku ambil handphone ku dan belum juga ku dapatkan satu pesan pun dari dokter Vian. Lagi aku mengirimkannya sebuah pesan. Yang mengatakan bahwa.

"Saya pulang sendiri. Dokter Vian tidak perlu menjemput. Tidak perlu khawatir. Saya akan baik-baik saja"

Ya seperti yang kalian tahu. Ini sudah malam dan tak ada lagi angkutan yang bisa ku naiki. Jadilah aku berjalan kaki sepanjang perjalanan pulang. Agh tidak! Mungkin lebih tepatnya aku sedang berlari. Menembus jalanan malam yang begitu gelap dan sangat sepi. Tak lagi ku pikirkan apapun. Kecuali lekas tiba di rumah.

Tiba aku di rumah. Lekas aku masuk ke dalam dengan keadaan ku yang semakin panik. Oleh karena dokter Vian tak lekas menjawab panggilan ku ketika aku membuka pintu rumah ini.

"Dokter Vian!"

Tersengal sudah tiap hembusan napasku. Namun aku begitu lega karena ketika ku buka kamar ku dan dokter Vian. Rupanya ia tengah berbaring di atas ranjang dengan memegangi handphonenya. Yang jelas sekali, ia baru saja membaca pesan ku tadi.

"Huft! Syukurlah..."

Lalu pandangan ku tertuju pada meja kerja dokter Vian. Tempat dimana ia menjalankan ujiannya tadi. Masih laptopnya itu menyala. Dan saat ku lihat.

"Ya Tuhan! Hah?"

Next chapter