Fantastic Four, Hotel pusat kota.
Hunian Deluxe Room, Penthouse. 23:00 WIB. Jakarta
Tak pernah menyangka, dia akan berada di tempat semewah ini. Nana tak yakin bahwa dia benar-benar disewa hanya untuk duduk menunggu pria bertubuh kekar yang berdiri di sana tanpa melakukan apapun. Sela pandangan matanya sempat menangkap apa yang sedang dilakukan olehnya. Seperti sedang meracik minuman. Entahlah, banyak macam wine dan alkohol yang pernah dia minum kala sedang 'melayani' tamunya. Namun, baru kali ini, dia diabaikan hanya untuk segelas wine di sudut meja.
"Mas ...." Dia memanggilnya. Sedikit ragu, tak tahu harus menyapa dengan sebutan apa. Nana selalu memeriksa latar belakang tamunya. Bukan apa, hanya untuk berjaga-jaga saja. Jika terjadi masalah dengan tamunya, semacam digrebek pihak berwajib, Nana bisa membela dirinya. Tak mau terjerumus bersama pria hidung belang seperti ini. Namun, kala dia membaca biodata dan semua informasi yang diberikan bosnya, Nana tak punya banyak catatan seperti pria lainnya. Dia sedikit misterius, katakan saja begitu.
Pria itu meliriknya. Tak bergerak. Bergeming di tempatnya. Sekarang suara air jatuh membentur dasar gelas mencuri fokus Nana.
"Kamu tidak akan menjamahku?" tanyanya. Blak-blakan luar biasa. Siapa peduli? Ini sudah istilah umum dalam pekerjaannya.
Pria itu menoleh. Wajah tampan, orang asing. Struktur wajahnya mirip orang barat, dari tanah seberang. Bukan asli Indonesia. Mungkin sedang menjalankan bisnis di Indonesia, begitulah pikir Nana dengan positif.
"Duduk dan bersantai saja. Aku membayarmu untuk beristirahat di sini." Tawa dengan suara berat membuat kerutan aneh di atas kening Nana. Pria ini seperti sedang meremehkan kemampuan bermain di atas ranjang.
"Apa maksudnya?"
Pria itu memutar tubuhnya. Berjalan mendekat dengan membawa dua gelas wine di dalam genggamannya. Dia duduk di sebuah sofa besar. Berdampingan dengan Nana, sedikit jauh. Menciptakan celah yang pas untuk berbicara.
"Kamu tidak mau tidur denganku, tetapi kamu menyewaku?" tanyanya. Sekarang dia memprotes.
Pria itu mengangguk.
"Mr. Jemmy!"
Ia kini tertawa. Mengeluarkan sebuah kartu dari jas yang dikenakannya. Memang dari awal Nana sudah curiga, biasanya, dia akan datang dan disambut oleh pria dengan tubuh telanjang bulat di atas ranjang. Selepas melihatnya masuk, dia akan dilahap habis tanpa ampun. Kali ini, dia mendapat tamu yang sedikit unik. Bahkan pakaiannya begitu rapi. Seakan sedang melakukan meeting dengan kliennya.
"Namaku bukan Jemmy," ucapnya berterus-terang. Membuat wanita yang ada di depannya terkejut. Dia ditipu? Bahkan bosnya juga?
"Bos mau adalah bawahanku secara tidak langsung. Aku punya koneksi yang besar." Dia mulai menjelaskan. Menyilangkan kakinya dengan rapi, gaya khas ala seorang bos yang sedang berbicara. "Aku seorang mafia, katakan saja begitu."
Nana mengernyitkan dahinya. "Lalu? Aku harus takut?" Wanita itu tersenyum miring. "Kemarin aku melayani seorang koruptor kelas kakap. Jadi apa salahnya? Kamu akan membunuhku setelah aku memberikan tubuhku?" Nana tertawa gila.
"Namaku Mr. Tonny Ayres," ujarnya. Mendorong kartu nama untuk diberikan pada Nana. "Simpanlah. Kau pasti akan membutuhkan itu."
Nana menatap kartu nama itu. Sebuah perusahaan besar. Bahasa asing mendominasi. Dia mengambilnya. Mengapit ujung kartu dengan menggunakan jari jemarinya. "Kamu orang luar negeri?"
"Aku akan pergi pada point pembicaraan saja. Aku tak punya waktu untuk berbasa-basi." Mr. Tonny mengeluarkan sebuah map cokelat yang ia simpan dalam jasnya. Kembali menyodorkan pada Nana. "Di dalamnya ada tujuanku datang dan menyewa dirimu dengan harga yang mahal. Aku butuh waktumu, bukan tubuhmu."
Nana ber-wah ringan. Mulutnya ternganga saat dia tahu pria ini sedang menghamburkan uang. Biaya sewa Penthouse di hotel ternama di Jakarta bukan sembarang nominal uang yang dikeluarkan. Namun, itu jauh lebih dari kata luar biasa. Juga, ditambah lagi biaya sewanya dalam satu malam.
Nana melirik mapnya dengan ragu. Meriah itu selepas menyimpan kartu nama ke dalam selipan pakaian seksi yang ia kenakan. "Apa ini? Perjanjian?" Dia sudah pernah bermain dengan cara yang sama. Nana paham benar, taktik pria berhidung belang.
"Kau ingin membeliku dan menjadikan aku budak seks? Kebanyakan mafia selalu begitu."
Mr. Tonny tersenyum tipis. Menjatuhkan pandangan matanya. Tak lagi menatap Nana yang mulai membongkar isi map. Penuh dengan kepercayaan diri, dia mirip dengan Rumi, sedikit.
"Aku akan membeli keponakanmu." Kalimat yang terlontar keluar dari mulut Mr. Tonny sukses membuat wanita di depannya terkejut. Kembali mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dia tak punya kata-kata untuk menjawab pernyataan gila itu.
"Itu adalah perjanjian. Aku akan mengambil hak wali dan menikahi keponakanmu. Aku membutuhkan itu untuk membawa Rumi pergi dari sini." Mr. Tonny menjelaskan singkat. Menarik gelas wine di depannya. Menggoyang dengan ringan. "Aku akan menukar dengan segala kekayaan dan jaminan hidupmu. Kau tak perlu khawatir jika merugi sebab ...."
"Hei!" Nana menyentak. Memotong kalimat Mr. Tonny. "Wah! Kamu sudah gila rupanya!" Dia melemparkan map itu jatuh di atas meja dengan kasar. Suaranya menyita fokus Mr. Tonny sejenak.
"Kamu pikir aku akan menjual keponakanku sendiri, huh? Aku tidak akan—"
Mr. Tonny menyela dengan memberikan ponselnya. Layar di sana membawa informasi pasal hal mengejutkan untuk Nana. Dia diam seribu bahasa.
"Rumi harus tau tentang penyakitmu, Nyonya Nana?"
Nana meliriknya. "Kau sedang mengancamku?"
Pria itu mengangguk dengan tegas. "Itulah caraku bekerja, Nyonya."
... Bersambung ...