webnovel

10. Dia datang

Aroma teh melati yang khas. Terbang, terbawa udara yang berembus dari celah jendela di depannya. Rumi tak henti-hentinya melirik jam dinding di sudut ruang dapur, katanya seseorang akan datang selepas senja pergi. Siapa? Rumi tak perlu menyebut namanya selepas dia mengirim anak buah untuk datang menemuinya. Si pria muda yang sudah baik memberikan tumpangan untuk dirinya pulang ke rumah tanpa biaya ongkos apapun. Hanya cukup diam, mendengar apapun yang dikatakan olehnya. Di penutup kalimat, ia meminta Rumi untuk menunggu sebab Mr. Tonny akan datang menemuinya.

"Memangnya dia orang istimewa? Kenapa gue harus nunggu segala," gerutunya. Menghentikan adukan teh, mengambil tutup gelas. Menutupnya dengan rapat dan membawa secangkir teh keluar dari dalam dapur. Berjalan menuju ruang tengah, Rumi akan bersantai sejenak. Kertas koran berisi lowongan part time akan di olah dengan baik. Besok dirinya setidaknya harus datang di satu tempat yang ada di dalam informasi lowongan kerja.

"Kenapa lama sekali? Aku sudah menunggu sejak tadi." --sial! Rumi hampir saja terjengkang ke belakang kala suara berat datang selepas ia membuka tirai pintu. Dilihatnya sesosok pria besar, bukan hantu, meskipun Rumi lebih lega jika itu adalah hantu penunggu rumah ini ketimbang pria aneh satu itu. Mr. Tonny Ayres.

"Bapak ke sini lagi?" Rumi menghela napas panjang. Seakan sedang kecewa. "Kenapa? Bagaimana Bapak bisa datang sedangkan aku mengunci pintu depan? Gerbangnya juga!" Rumi menggerutu. Meletakkan secangkir teh di atas meja. Duduk dengan menyilangkan kedua tangan di atas perutnya. Menatap tamu tak diundang ini. "Bapak ahli dalam seni mencuri seperti di film-film?"

Mr. Tonny tersenyum tipis. "Katakan saja begitu," ungkapnya dengan nada biasa. Tak heboh, seperti yang dilakukan oleh Rumi. Dua kali gadis itu memergoki Mr. Tonny masuk tanpa ijin. Tanpa meninggalkan jejak kerusakan pula. Dia benar-benar pria yang ahli.

"Bagaimana caramu masuk ke sini, sedangkan pintu semuanya aku kunci. Bapak juga tidak meninggalkan suara apapun."

Mr. Tonny meraih teh di atas meja. Menarik perhatian Rumi. Teh itu ia buat untuk dirinya sendiri. Bukan untuk si tamu. Jujur saja, ia tak tahu akan kehadiran Mr. Tonny benar-benar adanya.

"Maksudku akan lebih normal jika Bapak mengetuk pintu dan datang membawa buah tangan atau semacamnya." Rumi mengimbuhkan. Tak mau pria di depannya salah paham. Ia tak sedang menuduh Mr. Tonny sebagai pencuri. Meksipun hanya menghendaki demikian.

Ia menyerahkan sebuah kartu nama. "Itu untuk yang kedua kalinya. Aku yakin kamu membuang yang pertama," ujarnya. Tersenyum aneh di bagian akhir kalimat. Ia lalu menyeruput teh buatan Rumi. Mengecap ringan dan ber-ah tanda puas tenggorokannya. "Lumayan," katanya memuji.

Sekarang tatapannya untuk Rumi. "Tak mau tanya apapun?"

"Siapa Bapak ini sebenarnya? Kenapa tiba-tiba datang kemari? Bagiamana Bapak mengenalku, nenekku, dan kedua orang tuaku?" Rumi menggelengkan kepalanya. Ekspresi wajahnya muak. "Berapa kali aku mencoba berpikir, aku tak bisa mengerti."

"Ibu dan ayahmu adalah anjing peliharaan Hawtorn."

"Hawtorn?" Rumi memicingkan matanya. Berusaha menggali informasi yang ada di dalam kepalanya. Namun, ia tak cukup pandai. Neneknya tak pernah menyebut apapun pasal nama itu. "Sebuah tempat?" tanyanya pada akhirnya.

"Organisasi besar yang memimpin perdagangan senjata, narkoba, perdagangan manusia, organ tubuh, dan perbudakan seks modern."

Kalimat itu membuat Rumi membeku. Mereka bukan manusia.

"Mafia?" Rumi menyentak pada akhirnya. Sedangkan pria di depannya terkekeh. "Bapak ini Mafia dari Italia?" tanyanya dengan polos.

"Tak semua Mafia berasal dari Italia," jawabnya. "Asalku dari Las Vegas."

"Aku tak tanya itu," jawab Rumi dengan ketus. "Hubungan Bapak dengan orang tuaku?" Rumi lekas mengubah topik. Ia tak mau menyia-nyiakan semuanya. "Juga, kenapa Bapak ingin benar menjadikanku seorang istri? Kita tak saling kenal dan aku bukan gadis yang baik." Rumi mencoba menyakinkan.

"Kamu bilang itu karena tidak mau menikah denganku bukan?" Pria tua itu tertawa. Bangun dari tempat duduk dan berjalan dengan langkah sedang. Menyusuri setiap sudut bangunan ruangan.

Seperti dugaan, sama seperti masa lalu, rumah ini tak berubah sedikit pun. Semuanya masih sama. Tak ada barang berharga di tempat ini.

"Rumi ...." Ia memanggil. "Kamu belum mengenal aku bukan?"

"Siapa yang peduli?" Rumi mengambil jeda. "Aku bahkan tak tahu siapa ayahku. Aku tak tahu wajahnya dan aku tak tahu namanya."

Mr. Tonny tersenyum tipis. "Sudah aku katakan untuk datang ke sarang Temporer Black Wolf, bukan? Semua yang kamu butuhkan ada di sana."

"Mr. Tonny," panggil Rumi dengan lirih. Pria yang baru saja ingin mengambil bingkai foto sang nenek itu terdiam, meliriknya.

"Anda tak paham dengan kehidupanku. Jadi jangan—"

"Sudah kukatakan bahwa aku mengenalmu, Rumi. Datanglah ke sana. Maka kau akan paham," ucapnya. Sekarang langkah kaki itu kembali pada Rumi.

"Sekilas saja," imbuhnya memulai. "Black Wolf adalah anak dari Hawtorn. Dan aku adalah pemimpin mereka. Ayahku, Mr. Petter Ayres adalah pemimpin dari Hawtorn. Kakek buyutku yang membuat organisasi ini sebelumnya."

"Kenapa aku harus peduli? Sudah ku katakan aku tak peduli."

Mr. Tonny kembali duduk. Berhadapan dengan Rumi. "Aku akan berkata dengan jujur, sebab aku tak terbiasa berbohong." Ia memulai lagi. Membuat Rumi diam membisu tanpa ada suara apapun. "Aku menikah bukan sebab cinta, aku hanya mencintai satu wanita dan itu adalah istri pertamaku. Namun, dia tak bisa memberi keturunan laki-laki untuk meneruskan Black Wolf dan Hawtorn. Kami punya satu anak perempuan yang cantik, dia seusia denganmu."

Rumi mengerutkan keningnya. "Dan Anda akan menikah dengan gadis yang seusia dengan putri Anda?"

Mr. Tonny mengangguk dengan mantap. "Putriku menyetujui itu, sebab ini bukan pernikahan yang kedua atau yang ketiga kalinya."

Rumi mengerutkan keningnya. Pria ini benar-benar ceplas-ceplos tanpa malu. "Lantas?"

"Kau akan menjadi Isti yang kesembilan."

Rumi membuka matanya lebar-lebar. Bahkan, meksipun hidupnya tak mujur dan beruntun, Rumi masih punya mimpi untuk mencintai dan dicintai oleh seorang pria yang tulus. Hidup bahagia dalam sebuah keluarga yang kecil. Bukan menjadi wanita simpanan seorang mafia. Usianya masih terlalu muda untuk itu.

"Anda gila rupanya," umbar Rumi. Rasanya ia benar-benar ingin memukul wajahnya. "Aku tak bisa melakukan itu dan ini adalah penolakan yang terakhir. Uang?" Rumi membuang pandangannya. "Aku masih bisa mencarinya dengan tangan dan kerja kerasku sendiri. Aku tak akan menjual diriku."

"Kamu tidak menjual dirimu, Rumi. Kamu menebus dosa dan hutang kedua orang tuamu."

"Why!" Rumi menyentak. Muak, jikalau harus mendengar pria ini menyebut kedua orang tuanya. Bahkan Rumi sendiri tak punya bayangan visual yang cukup untuk mengingat kedua orang tuanya.

"Karana mereka membunuh tiga istriku," ucapnya tiba-tiba. Membuat Rumi diam seribu bahasa. "Juga, membunuh semua janin di dalam kandungan mereka." Mr. Tonny mendekatkan wajahnya. "Kamu harus mengganti rugi sebab itu."

... To be continued ....

Next chapter