Ruangan besar yang dilengkapi pendingin ini terasa begitu panas dan membuat gerah. Bukan karena udara di luar merengsak masuk hingga ke dalam, melainkan suasana di ruangan inilah yang begitu panas. Tatapan tajam pria berambut perak itu sudah seperti elang yang siap menerkam mangsanya. Ia begitu murka ketika mendengar kabar yang sama sekali tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Bahkan sang istri berulang kali menangis memikirkan apa yang telah diperbuat putra tunggal mereka.
“Kamu sungguh keterlaluan, Andra!” teriak pria itu begitu murka, setelah sejak beberapa menit lalu mencoba untuk tetap tenang dan mencerna apa yang telinganya dengar.
Aditya Roy Haribowo, seorang pengusaha keturunan India yang juga pemilik sebagian saham dari Indonesia Petroleum Corp. Putra semata wayangnya baru saja mengatakan sesuatu yang sudah mencoreng nama baik keluarga besar mereka. Bagaimana bisa Andra menghamili seorang gadis, dan ia tidak tahu siapa gadis yang dimaksud putranya ini. Apakah sang tunangan, Shinta Praharsa? Atau... Aditya tidak sanggup untuk memikirkan hal lain lagi.
“Andra juga nggak tahu, Pa,” ucap lelaki itu dengan sungguh-sungguh yang hanya bisa membuat kedua orang tuanya menggeleng tidak percaya.
“Shinta yang telah kamu hamili?” tanya Druvadi pada putranya yang hanya bisa memberikan gelengan sebagai jawaban.
Seketika itu juga Aditya bangkit dari duduknya, ia tidak bisa lebih lama lagi mengendalikan emosinya. Jika bukan Shinta, lantas siapa yang sudah dihamili oleh putranya? Sungguh ia murka, hingga dengan mudahnya sebuah tamparan mendarat di wajah tampan Andra. Menimbulkan sebuah tanda berwarna merah yang membentuk kelima jarinya dengan sempurna.
“Dia menolak Andra ketika ingin bertanggung jawab,” jawab lelaki itu sembari memegangi bekas tamparan sang ayah di pipi.
“Bukan berarti kamu menyerah, Andra! Sungguh keterlaluan, dan kali ini Papa minta kamu cepat urus semua masalah ini. Papa tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan pertunanganmu dan juga Shinta,” ucap Aditya penuh penekanan di setiap katanya, sembari berlalu meninggalkan Andra seorang diri di ruang keluarga rumah besarnya yang bernuansa putih dan emas itu.
“Kamu berhasil membuatku susah, Sikha,” geram Andra mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh.
Ia sangat kesal bukan main karena semua ini bukan kesalahannya sepenuhnya, karena ia telah mencoba untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Tetapi Sikha langsung menolaknya tanpa pikir panjang, dan bodohnya lagi ia tidak terus berusaha meyakinkan Sikha. Yang ada malah ia bertunangan dengan kekasihnya, dan sekarang ia baru tahu Sikha tengah mengandung buah hatinya ketika pernikahannya dengan Shinta sudah semakin dekat, 6 bulan lagi ia akan menikah dengan perempuan lain. Dan perempuan itu bukanlah wanita yang tengah mengandung buah hatinya. Semakin memikirkannya, semakin membuat Andra kesal dengan keadaan yang telah diciptakan oleh Sikha. Lebih tepatnya kerumitan yang diciptakan wanita bermata indah itu.
Sikha membelai lembut perutnya sejak tadi, ia teringat wajah Andra yang terlihat seperti ingin bertanya tentang keadaannya. Ia selalu berusaha menghindar dari lelaki itu, berulang kali ia lakukan tiap kali tidak sengaja melihat sosok lelaki tampan itu berada dalam radius yang sama dengannya. Awalnya ia ingin mengatakan pada Andra ketika kabar kehamilan itu ia terima, ketika tidak sengaja bertemu lelaki itu di lobi sebuah hotel berbintang. Tetapi hal itu ia urungkan ketika baru beberapa langkah menuju lelaki itu, ia harus menghentikan langkahnya. Seorang perempuan cantik dan anggun berjalan ke arah yang sama, dan langsung mengaitkan lengan mereka dengan begitu mesra.
“Ayahmu memiliki kebahagiaannya sendiri, dan kamu cukup berbahagia dengan Ibu saja,” ucap Sikha sangat pelan pada perutnya yang sedikit bergerak seolah mengiyakan perkataannya.
Sejak saat itu ia bersikar untuk merahasiakan siapa ayah dari janin yang tengah dikandungnya, biarkan ia menanggung semuanya ini sendiri. Bahkan keluarganya di Singapura pun tidak bisa mendapatkan sebuah nama meluncur dari mulutnya. Semua ini ia lakukan demi kenyamanan semua orang, tidak ingin mengganggu sesuatu yang mungkin sudah tepat pada tempatnya.
Tidak banyak hal yang dilakukan Sikha ketika sampai di unit apartemennya, setelah merapikan barang belanjaannya, ia memutuskan untuk membersihkan diri dan istirahat. Baru beberapa menit matanya terpejam, ponselnya berdering dan membuatnya susah payah untuk bangkit dan menyandarkan diri pada kepala ranjang. Diaraihnya ponsel yang tergeletak tidak jauh dari posisinya, di atas tempat tidur yang menjadi temannya dikala sepi melanda.
Dilihatnya nama yang tertera pada layar pemanggil, ibunya menghubungi untuk memastikan keadaannya. Sejak kabar kehamilannya sampai pada keluarga di Singapura, kedua orang tuanya jadi lebih sering menghubunginya. Sikha menahan matanya yang mungkin saja sebentar lagi meneteskan cairan bening. Ia menggeser layar ponsel untuk menjawab panggilan video dari ibunya, Sri Rahayu.
“Assalamuallaikum, Nak,” sapa wanita berkerudung hijau dari layar panggilan ponsel.
“Wa’allaikum sallam, Ma,” jawab Sikha dengan senyum tipis yang terbit di bibir sensualnya.
“Gimana kandungan kamu?”
Sikha melirik perutnya sekilas, dan tersenyum hangat pada sang ibu sembari menunjukkan perut besarnya pada sang ibu. “Alhamdulillah kami sehat, Ma. Mama dan Papa kapan mengunjungi Sikha di Jakarta?” tanyanya dengan suara bergetar, karena saat ini ia merasa begitu rapuh.
“Mama masih menemani Papamu menyelesaikan beberapa tender, tapi besok Didimu akan datang ke Jakarta. Fadhiya dan keponakanmu akan menemanimu selama kehamilan ini, dan nanti kami akan jemput kamu pulang ke Singapura,” ucap Ayu begitu hangat pada putrinya yang sungguh malang.
Sebenarnya ia juga tidak tahu siapa lelaki yang menjadi ayah dari janin dalam kandungan putrinya, tetapi yang ia tahu jika Sikha tidak ingin mengubah sebuah tatanan. Dan ia yakin jika lelaki itu telah menjadi milik orang lain, sehingga putrinya lebih memilih untuk diam. Sebuah hal yang sulit bagi keluarga mereka, tetapi tidak ada yang bisa mereka lakukan ketika putri bungsunya itu telah membuat sebuah keputusan.
“Bhaiya[1] Altaff tidak merindukan Sikha, ya, Ma?” tanya Sikha merindukan kakak pertamanya yang begitu marah ketika mendengar kabar kehamilannya.
“Dia masih marah dan kecewa padamu, Nak. Dan Mama harap Sikha mau berbesar hati, setidaknya Bhaiyamu sudah merasa lebih baik-baik saja dan menerima keadaan ini seperti kami,” ucap Ayu sedikit berkaca-kaca melihat kondisi putrinya yang sangat memprihatinkan.
“Sikha,” panggil suara yang berat dan begitu hangat itu, sehangat matahari sore ketika akan kembali ke peraduannya.
“Papa, Sikha rindu,” ucapnya dengan nada manja, suaranya nyaris tercekat karena ternyata perasaannya tidak bisa ditahan lagi. Air matanya luruh, pipinya basah, dan begitu menyakitkan ketika menyadari ia memiliki asa pada lelaki bernama Andra itu.
“Jangan menangis, Nak. Papa tahu ini sulit, bukan hanya untukmu, tetapi untuk kami sebagai orang tua. Semua ini juga sama sulitnya, tetapi Papa tidak bisa terus mendesakmu mengetakan siapa ayah dari bayimu. Dan kamu harus menerima konsekuensi dari semua keputusan yang telah dibuat ini.”
Pria dengan kulit gelap dan keriput itu menatap nanar wajah putrinya dari balik layar, sedih memikirkan nasib putri bungsunya. Prakash Mahaprana, seorang pemilik perusahaan IT di Singapura itu begitu menyesali hal yang terjadi pada Sikha. Tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan jika wanita itu telah memilih untuk menutup rapat-rapat fakta tentang siapa ayah dari calon cucunya.
“Maafkan, Sikha. Maaf,” hanya itu kata yang bisa diucapkan Sikha saat ini.
“Papa sudah memaafkanmu, Nak. Maka dari itu kamu harus hidup dengan baik di sana, demi dirimu sendiri dan calon bayimu. Besok Fadhiya akan datang ke Jakarta, menemanimu mungkin beberapa minggu. Setelahnya Papa akan meminta Altaff yang menemanimu, sekaligus mengurus proyek pembangunan sebuah hotel di sana,” ucap Prakash berusaha menenangkan putrinya yang menangis begitu pilu.
Tidak banyak yang dikatakan Sikha selama melakukan panggilan video dengan kedua orang tuanya. Karena lebih banyak ia menjadi pendengar dari semua nasihat yang diucapkan sang ayah, tetang pilihan yang telah ia buat. Bagaimana pun juga ia tidak boleh menyesalinya, karena ini adalah kehidupan yang telah ia pilih. Bahagia berdua saja tanpa lelaki itu, Andra.
[1] Bhaiya : Kakak laki-laki (Hindi).