Rasa takut menyelimuti Tyra dua kali lipat. Gadis itu masih tidak tahu apakah Ia benar-benar celaka atau tidak, mati atau tidak, dan kini suara pria misterius yang membuatnya takut beberapa hari terakhir kembali didengarnya. Apakah dia ... malaikat pencabut nyawa? Batin Tyra.
"Apa Kau tidak mendengarku?" tanya pria itu lagi. "Hhhhh ... hhhh ... jangan takut, Aku bukan seseorang yang jahat ..." lanjutnya, terdengar berat sekali berbicara.
SRAKK!
SRAKK!
DUGH!
Suara-suara seperti orang yang berjalan lalu terjatuh di rerumputan kemudian terdengar. Apa itu? Tyra bertanya-tanya dalam hati, hingga akhirnya perlahan Ia membuka mata.
Gelap dan gelap.
Tyra yakin matanya sudah terbuka sempurna, namun pemandangan yang pertama kali Ia dapati hanyalah langit malam dengan daun pepohonan besar di bawahnya, meliuk-liuk tertiup angin yang semakin terasa dingin dan kencang.
Bingung, Tyra mengedarkan matanya ke sekitar, sekaligus penuh rasa takut mencari sosok pemilik suara yang tadi berbicara padanya. Cahaya rembulan tak cukup membantu matanya menemukan sosok itu. Sulit sekali, nyaris gelap gulita.
Sampai akhirnya Tyra bangkit, dan seketika itu juga Ia merasa keajaiban telah menghampirinya; kaki dan seluruh tubuhnya tak terluka, bahkan tak sakit sedikitpun. Tapi lupakan dulu rasa penasarannya atas peristiwa tadi, Ia harus menemukan pria tadi.
Perlahan Tyra si pemberani melangkahkan kakinya takut, menginjak dedaunan kering di atas tanah lembap. Akar-akar pohon dan batang rambat rerumputan beberapa kali menghadang kakinya yang masih mengenakan sepatu hak tinggi.
Jelas kini, Ia tengah berada di dalam hutan.
Tyra terus berjalan, mencari-cari pria itu, "Apa mungkin Ia menghilang lag ..." ucapnya terpotong, langkahnya terhenti.
Dilihatnya sesosok pria berambut sebahu, dengan jubah kulit selutut dan boots di kakinya tergeletak di bawah pohon besar, "Itu dia?"
Tyra mempercepat langkahnya, mengabaikan rasa takut memeriksa pria itu. Namun dua langkah sebelum sampai tepat disisi pria itu, Tyra terhenti, bahkan hampir saja Ia mundur kembali.
"Ya Tuhan ..." Tyra bergumam ngeri, pria itu tergeletak di atas tanah dengan berdarah-darah. Tak dapat Tyra lihat wajahnya karena Ia menghadap ke arah pohon besar di dekatnya, namun dapat Tyra pastikan jari-jari pria itu bergerak, seolah memberi sinyal bahwa Ia masih bernyawa.
Tyra lantas memberanikan diri, kembali Ia melangkah pelan, bersimpuh di samping pria itu, "K-Kau ... yang tadi?"
Tak ada jawaban, hanya deru nafas pria itu yang kian terdengar tak teratur. Dadanya naik turun, alisnya mengerut, Ia kesakitan.
"A-apa yang harus kulakukan untukmu?" Tyra kebingungan. Lalu alih-alih menjawab, pria itu menengadahkan telapak tangannya, "Kemana Kau ... ingin pergi?" tanyanya.
Tyra semakin bingung, namun akhirnya Ia menjawab, "Aku ... ingin kembali ke apartemenku, tapi A-aku tidak tahu ... Aku dim ..."
"Pegang tanganku," potong pria itu, memerintah lirih, mendekatkan tangannya pada tangan Tyra tanpa menoleh.
Ragu dan takut, Tyra tak menyambut uluran tangan itu, "Apa yang akan Kau lakukan ..."
Tak selesai Tyra bertanya, pria itu sudah menggenggam tangannya tanpa perlu melihat, "Pikirkan tempat yang Kau tuju itu ..."
"Sekarang ..."
****
Berlembar-lembar kertas tissue kotor penuh bercak darah tercecer di lantai. Tempat sampah kecil milik Tyra tak cukup menampungnya, terlalu banyak. Tyra yang sangat amatir soal menangani luka seseorang tak bisa berbuat banyak selain membersihkan terlebih dahulu darah bercampur debu dan tanah di tubuh pria misterius itu.
Sumber pendarahan pria itu ada di pelipisnya, sudah diperban lebih dahulu oleh Tyra seadanya. Bersyukur aliran darahnya sudah berhenti keluar, meski sampai saat ini pria itu tak sadarkan diri, terbaring di atas tempat tidur Tyra. Dugaan sementara, pria itu pingsan setelah kehilangan banyak darah.
Namun Tyra tak tahu apa penyebabnya sampai pria itu terluka, pun Ia tak bisa membawanya ke rumah sakit. Masih banyak orang di luar apartemennya, bahkan terlihat dari lantai tingkat belasan tempat unitnya berada.
Lalu menjadi keajaiban kedua yang dialami Tyra hari ini, karena usai pria itu menggenggam tangan dan memintanya memikirkan tempat yang ingin dituju, mereka tiba-tiba sudah berada di dalam apartemen dalam hitungan detik.
Benar-benar di unit apartemen Tyra, tanpa melewati kerumunan jurnalis dan paparazzi penasaran itu. Ya, Tyra berterimakasih terlebih dahulu pada pria itu, meskipun berakhir Ia harus merawatnya.
Satu jam berkutat dengan peralatan P3K, Tyra menghela nafasnya lelah. Gadis itu duduk di lantai kamar, bersandar pada dinding. Dipandanginya lagi wajah tenang pria itu, "Siapa Kau sebenarnya ..."
"Kenapa Kau kembali muncul? Apa Kau yang ... menyelamatkanku dua kali hari ini? Tapi bagaimana bisa ..."
"Kau sangat tidak masuk akal ..."
Tyra berbicara sendiri, tanpa sedikitpun tanggapan balik. Matanya menatap lamat-lamat pria yang menurutnya juga berpakaian aneh itu, "Apa Kau pemain film sejarah? Kenapa pakaianmu seperti ini ..."
Semakin lelah, Tyra membaringkan diri di lantai berlapis kayu itu, menjadikan tangan sebagai bantalan. Matanya tetap pada pria itu, berharap Ia lekas sadar, meskipun pastinya akan canggung luar biasa jika mata mereka bertemu.
Terus seperti itu, hingga tak sadar Tyra sudah memejamkan matanya, perlahan tertidur semakin dalam. Oh, biarkan dulu memorinya bekerja menekan rentetan kejadian tidak menyenangkan, misterius, dan penuh kejutan hari ini.
Siapapun, dan apapun yang nantinya mungkin dikatakan pria itu ...
Entah kenapa Tyra yakin kini, bahwasanya Ia adalah orang yang baik, terlepas dari sifat misterius dan penampilan aneh itu.
Rasa takut pada pria itu perlahan memudar, seiring mereka yang sudah memasuki alam bawah sadar masing-masing.