webnovel

MENGHUJAM JANTUNG

Mahendra menatap Mayleen, ia pasrah jika memang di mata Mayleen dia adalah pria yang tidak baik, egois atau jahat sekalipun. Memang dia yang bersalah.

"Sebegitu bencinyakah kau kepadaku?" tanya Mahendra.

"Benci? Siapa aku? Aku tidak punya hak untuk membencimu. Kalaupun aku mungkin bersikap dingin kepadamu, semua karena aku tidak suka pada perlakuan keluarga kalian pada Gadis."

"Maafkan aku, May."

"Kenapa minta maaf kepadaku?"

"Lalu?"

"Mas, kita bukan siapa-siapa. Dan aku juga bukan orang yang sudah kau sakiti kan? Yang kau sakiti itu Gadis dan Tante Kirana. Bukan aku."

Mahendra menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia benar-benar mati kutu menghadapi Mayleen. Gadis cantik itu memiliki wajah yang lembut dan juga perkataan yang lembut. Kata-kata yang keluar dari mulutnya juga tidak kasar sedikitpun. Tapi, sangat menusuk ke jantung dan membuatnya benar-benar merasa sangat bersalah.

"May, jujur saja aku tertarik kepadamu sejak pertama kali kita bertemu. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi, sepertinya kau sangat membenci diriku."

Mayleen melongo, ia menepuk dahinya mendengar perkataan Mahendra.

"Ah, jadi kau sekarang sedang menyatakan cintamu?" tanya Mayleen.

"Iya, jujur sejak awal aku tertarik padamu. Tapi, sepertinya kau sangat membenci aku dan keluargaku, rasanya mustahil jika kau mau menerima pernyataan cintaku."

Mayleen menghela napas panjang.

"Maafkan aku jika aku terkesan membenci dirimu. Tapi, siapapun orangnya pasti akan kesal jika melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu. Aku juga demikian, aku sakit hati jika sahabatku sakit hati. Aku akan marah jika ada yang membuatnya menangis. Aku akan ikut menangis bersamanya jika ia sedih dan aku akan ikut tertawa saat dia bahagia."

"Apakah itu artinya kau mau menjadi kekasihku?" tanya Mahendra.

Ting.

Belum sempat Mayleen menjawab , mereka telah sampai di lobby. Gadis bermata sipit itu pun bergegas melangkah mendahului Mahendra.

"Leen, tunggu!"

Mahendra mempercepat langkahnya dan menyusul Mayleen yang langsung berjalan keluar dari lobby hotel.

"Ada apa lagi, Mas?" tanya Mayleen.

"Biarkan aku mengantarkanmu pulang. Aku masih ingin bicara denganmu, aku mohon."

Melihat pandangan mata Mahendra yang terlihat mengiba membuat Mayleen tak sampai hati.

"Baiklah, kau boleh mengantarkan aku pulang. Ayo, cepat sebelum aku berubah pikiran."

"Tunggu di sini, aku ambil mobilku dulu," kata Mahendra dengan semanagat.

Mayleen pun menunggu dan tak lama Mahendra pun datang. Mayleen langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Mahendra sambil menyebutkan alamat rumahnya.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Mayleen.

"Aku tertarik kepadamu. Dan aku bersungguh-sungguh."

"Jujur saja, aku sebenarnya sudah antipati pada dirimu dan keluargamu. Apa lagi terhadap dirimu yang, maaf jika harus aku katakan. Kau ini sebagai anak lelaki tertua tidak bisa mengambil keputusan dengan baik. Kau terlalu takut untuk bicara kebenaran. Kau tipe orang yang hanya mencari aman. Jadi, bagimu tidak masalah jika orang lain celaka atau apapun yang paling penting adalah kau selamat. Begitulah sifatmu. Seharusnya, sebagai anak yang paling tua, kau bisa mendidik adik-adikmu dengan baik. Jangan membela hanya karena mereka sedarah denganmu. Sementara yang tidak sedarah kau campakkan begitu saja."

"Jadi, apa yang aku harus lalukan untuk mendapatkan cintamu?"

"Ubah segala sifat burukmu. Jangan hanya di hadapanku. Tapi, berubahlah dari hati, kau harus bisa mengubah segala kebiasaan buruk yang selalu ego dan mementingkan diri sendiri. Jika aku sudah melihat perubahan darimu, aku mungkin bisa menerima cintamu."

"Apa aku harus membela Gadis dan ibunya dari ibuku? Atau bagaimana?"

"Berapa usiamu?"

"Tahun ini tepat 30 tahun."

"Kau punya otak? Bisa dipakai untuk berpikir? Kalau bisa pakailah untuk berpikir. Dan satu lagi, jika kau ingin menjadi suamiku artinya kau harus mengenalku dengan baik. Jangan bertanya kepada Gadis, kau harus cari tau sendiri tentang diriku. Dimana aku kuliah, mengambil jurusan apa, anak keberapa dan yang lainnya. Aku pastikan jika kau bertanya pada Gadis, kau tidak akan mendapatkan informasi apapun juga."

Mahendra menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Baiklah, aku akan membuat dirimu mencintai diriku. Sesuai dengan apa yang kau mau."

"Baik, jika sampai 6 bulan kau belum berhasil, maka tidak perlu kau menemuiku. Sekarang kau tau rumahku, kan? Kau boleh sesekali mampir, tapi buat janji dulu. Jadi, langkah pertama yang harus kau lakukan adalah mencari tau kontakku."

"Baik."

"Berhenti di depan," kata Mayleen menunjukkan sebuah rumah dengan pagar tinggi berwarna biru. Gadis itu pun segera turun, dan bergegas masuk. Sampai Mahendra melihat Mayleen menghilang di balik pintu, dia baru mengemudikan mobilnya kembali ke rumahnya.

**

"Mau apa dia, Bu?" tanya Gadis pada Ibunya.

Karina tersenyum sambil membelai rambut Gadis.

"Dia meminta maaf atas segala kesalahan ibunya. Dia bilang, selama ini ayahmu memang tidak tau menau soal uang. Ayah hanya meminta Ibu tirimu memberikan uang, tapi dia tidak pernah mengecek apakah jumlah yang diberikan sesuai dengan yang ia perintahkan atau tidak."

"Itu sebabnya Hans berpikir bahwa kita boros dan tidak berterima kasih."

"Ayah!"

"Masih pantaskah dia aku panggil ayah setelah apa yang ia perbuat selama ini kepada kita, Bu? 6 tahun kita hidup susah. Sementara keempat saudaraku yang lain hidup enak dan bisa menikmati segala yang mereka mau. Dara bisa kuliah dengan nyaman tanpa harus memikirkan bagaimana membayar uang semester. Tania bisa sekolah di sekolah swasta mahal. Mereka punya kendaraan masing-masing. Kita? Bahkan untuk makan saja kita harus selalu berhemat. Saat aku datang ke sana, dia tidak pernah mendengar. Yang ia dengar hanya ucapan wanita itu."

Karina menatap wajah putrinya penuh keharuan.

"Jangan menyimpan dendam, tidak baik. Bagaimanapun juga, dia tetap ayahmu. Kau harus menghormatinya, tanpa dia kau tidak akan ada di sini."

"Apakah aku akan bahagia bersama Xabiru?"

"Tentu saja, nak. Ibu lihat Xabiru adalah anak yang baik. Dia mencintaimu , ibu melihat itu di matanya. Mata yang menatap penuh cinta, tatapan yang memuja. Sama seperti dulu pertama kali ibu bertemu dengan ayahmu."

"Ibu mencintai ayah?"

"Sampai sekarangpun, masih. Ayahmu adalah cinta pertama sekaligus cinta terakhir untuk ibu."

"Apakah dulu ayah pernah berbuat kasar kepada Ibu?"

Karina menggelengkan kepalanya, sambil menerawang. Hans yang dulu tidak pernah memaki ataupun membentaknya. Bahkan, setiap hari yang ia dapatkan adalah tatapan yang begitu memuja, tatapan penuh cinta. Tapi, semua berlalu sejak kehadiran Melinda. Awalnya mungkin tidak, tapi sejak Melinda mengandung Arsea semuanya berubah drastis.

Next chapter