webnovel

Bab 9

Sepanjang perjalan Nico termenung dengan tatapan mata kosong. Kali ini Nico hampir mirip seperti orang yang benar-benar kehilangan penglihatannya.

"Siapa wanita yang sedang bersama Sam itu?" batin Nico. "Apakah dia adalah istri, Sam?" Nico berpikir keras. Ia menggalih semua ingatannya tentang Sam. Lelaki yang tidak lain adalah teman semasa bangku SMA di Jakarta. Karena setelah Nico lulus bangku sekolah, lelaki itu harus melanjutkan kuliahnya di Belanda. Sementara Sam tetap tinggal di Indonesia. Takdir mempertemukan mereka di dunia pekerjaan. Di mana Nico menjadi atas Sam.

"Tuan, apakah Tuah baik-baik saja?" seloroh Jodi membuat Nico tergeragap. Semua lamunan di dalam benak Nico seketika buyar.

"Aku baik-baik saja!" balas Nico. "Hanya saja aku merasa sangat mengantuk sekali," tuturnya menyadarkan tubuh ada bangku yang berada di belakang mobil.

"Beristirahatlah, Tuan. Saya tidak akan menganggu!" ucap Jodi sekilas melirik Nico dan mengalihkan tatapannya pada jalanan yang berada di depan kaca mobil.

Nico mengangguk lembut, lalu memejamkan matanya. Justru hal itu membuat benaknya semakin ramai memikirkan siapa wanita yang bersama Sam di pusat perbelanjaan tadi. Ribuan terkaan berjejalan menyesak ruang di dalam kepalanya.

_____

Dreg ... Dreg ...

Sofia melirik pada ponsel yang berada di atas meja. Nama Sam tertera pada layar yang berkedip.

"Baiklah, demikian meeting kita hari ini. Apakah ada yang mau ditanyakan?" Sofia menyapu pandangannya pada karyawan yang berada di ruang meeting.

Lelaki yang duduk di ujung meja meeting mengangkat satu tangannya ke udara.

"Iya, Alex!" ucap Sofia mengarahkan tatapannya pada Alex.

"Apakah Ibu Sofia yakin ingin menjual perkebunan teh yang berada di Bandung. Perkebunan itu cukup luas, bahkan sangat luas sekali. Perkebunan itu adalah salah satu penyumbang penghasilan terbesar untuk Perusahaan COOPORATION ...!"

Wajah Sofia seketika berubah masam. Sorot matanya menghunus pada Alex yang membisu. "Alex, ini adalah perusahan saya. Jadi terserah saya mau menjual aset manapun yang saya inginkan. Bukan begitu?" Sofia meradang, melipat kedua tangannya di depan dada, menatap tajam pada Alex.

Lelaki berkaca mata itu menelan salivanya. Niatannya untuk mencegah Sofia menjual aset perusahaan sepertinya justru membawa sial untuk dirinya sendiri.

"Bu-bukan begitu Bu. Dulu Tuan Nico pernah mengatakan kepada saya, jika perkebunan yang berada di Bandung itu adalah warisan dari kakeknya. Dan apapun yang terjadi Tuan Nico tidak akan pernah menjual perkebunan itu," lirih Alex mengigit bibir bawahnya.

Sofia menarik satu bibirnya tersenyum sinis. "Alex, sejak kapan kamu jauh lebih mengenal suamiku daripada aku?" cetus Sofia menjatuhkan tatapan menghunus.

Wanita yang duduk di samping Alek, beberapa kali memberikan kode kepada Alex untuk diam, tidak melanjutkan ucapannya.

"I-iya, Bu!" lirih Alex semakin takut melihat Sofia yang meradang.

Ruang meeting berudara dingin itu terasa semakin menegang.

"Apakah masih ada yang ingin kamu katakan, Alex?" cetus Sofia menarik tubuhnya duduk pada bangku.

"Ti-tidak Bu!" Alex terbata, lelaki berkulit putih itu nampak semakin pucat sekali.

"Oh, iya, bagi kalian semua yang berada di sini saya peringatkan, jangan pernah ikut campur urusan saya, harta suami saya, karena sekarang, saya adalah Presdir di Perusahaan COOPERTION milik suami saya, Nico Andalas, salah satu pengusaha sukses di Indonesia." Sofia memberikan penekanan pada ucapannya, menatap satu persatu wajah karyawan yang duduk di ruang meeting dengan sorot mata tajam.

"Dan kamu Alex." Sofia mengacungkan jari telunjuknya pada Alex yang duduk pada bangku sejurus dengannya. "Silakan kamu kemasi barang-barang kamu dan tinggalkan perusahaan ini. Karena saya tidak suka dengan karyawan yang suka mengatur-mengatur saya!" cetus Sofia.

Sontak Alex yang sedari tadi tertunduk mengangkat wajahnya yang menegang menatap pada Sofia yang telah bangkit.

"Bu, jangan pecat saya, Bu!" Mohon Alex menghampiri Sofia.

"Ini peringatan buat kalian semua, bekerjalah dengan profesional di perusahaan ini, karena ingat, kalian hanya karyawan dan saya yang membayar kalian!" cetus Sofia memicingkan matanya pada para karyawan yang masih berada di ruang meeting. Sofia mengabaikan Alex yang terus memohon di sampingnya.

"Baik, Bu!" seru mereka serentak.

"Bu, tolong jangan pecat saya, Bu!" mohon Alex pada Sofia yang berlalu ke arah pintu ruangan.

Alex terus mengejar wanita dengan setelan rok di atas lutut yang tengah memasang wajah masam itu. Tergambar jelas kemarahan pada Sofia.

"Bu, tunggu! Jangan pecat saya, saya bekerja di perusahaan yang sudah sangat lama sekali, Bu! Tolonglah, Bu!" Alex terus memohon kepada Sofia.

Langkah yang tengah menyusuri lorong koridor lantai 25 itu terhenti seketika. Sofia menghela nafas panjang, untuk mereda germuruh yang ada di dalam dadanya. Lalu menoleh pada Alex.

"Alex, asalkan kamu tahu, aku tidak peduli kamu sudah bekerja di sini dari dulu atau masih baru. Karena, yang saya butuhkan adalah karyawan yang profesional dia bekerja untuk perusahaan bukan pekerja untuk mengatur pemilik perusahaan. Lagi pula siapa kamu?" tegas Sofia mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Alex, sorot matanya sinis menatap pada Alex.

"Tapi, Bu! Saya hanya ingin menyampaikan ...!"

"Stop!" sentak Sofia, giginya bergemelutuk menahan kesal. Matanya membulat penuh pada Alex. "Sekarang kemasi semua barang barangmu dan tinggalkan kantor ini!" Sofia mengacungkan jari telunjuknya ke arah ruangan Alex. Kemudian bergegas pergi.

Alex tertunduk dengan bahu bergerak naik turun. Sebuah tangan tiba-tiba menyentuh lembut bahu Alex.

"Raya!"

Wajah karyawan baru yang menggunakan kerudung itu menatap iba pada Alex. "Harusnya kamu tidak perlu mengatakan itu pada Ibu Sofia," lirih Raya.

Alex mendengus berat. "Wanita itu memang sudah benar-benar menguasai perusahaan ini!" decih Alex dengan tatapan memicing pada ruangan Sofia yang sudah tertutup.

"Sudahlah, Alex kamu masih bisa bekerja di tempat lain," hibur Raya di sambut anggukan lembut oleh Alex.

____

Sofia menghempaskan kasar bokongnya duduk pada bangku di dalam ruangannya. "Dasar karyawan tidak tahu diri!" hardik Sofia kesal. "Memangnya apalagi yang bisa aku manfaatkan, kecuali menjual perkebunan itu untuk menyelamatkan perusahaan ini dari kebangkrutan. Di kiranya memikirkan perusahaan sebesar ini tidak pusing apa!" gerutu Sofia memijat keningnya yang terasa pusing.

"Sam!"

Beberapa saat Sofia baru teringat dengan Sam yang beberapa saat lalu melakukan panggilan pada ponselnya. Segera Sofia meraih ponsel dari dalam saku jas yang ia kenakan.

Tut! Tut!

"Sofia!" seloroh Sam dari balik telepon dengan kesal.

"Ada apa, Sam?" jawab Sofia yang belum sempat menyapa Sam lebih dulu. Dahinya berkerut menahan kekesalan.

"Sofia kamu ini apa-apaan, sih? Kenapa kamu membuat aku sangat malu. Masa, kartu kredit yang kamu berikan kepadaku tidak bisa digunakan!" sentak Sam bersungut-sungut dari balik telepon.

"Apa? Bagaimana bisa?" Sofia terkejut.

"Jangan pura-pura Sofia, Kamu sengaja ya memberikan kartu kredit yang tidak bisa digunakan ini kepadaku!" decih Sam. "Kamu sudah mempermalukan aku, Sofia!" cetus Sam, kesal.

_____

Bersambung ....

Next chapter