Hembusan napas panjang gadis itu keluarkan untuk yang kesekian kalinya. Kedua tangannya menggenggam erat pagar pembatas berwarna cokelat tua. Dia terus menatap langit, warnanya masih biru dengan awan yang terus bergerak maju. Menjauh dari tempat sebelumnya. Awalnya perlahan, tapi lama kelamaan semakin cepat sampai-sampai bentuknya berubah-ubah seiring berjalannya waktu.
Venus tersenyum melihat pemandangan cantik di atas sana. Awan yang bergerak maju mengingatkannya pada hidup. Mau bagaimana pun pahitnya hidup, manusia tetap harus maju tanpa mengenal rasa takut.
Langkah seseorang di belakang sana membuat Venus menoleh cepat. Itu Arka, dengan senyum lebar dan lambaian tangan kiri seperti biasa. Sekarang mereka berdiri sejajar, Venus kembali memperhatikan langit, dan Arka ikut mendongak setelah puas memperhatikan pemandangan di bawah sana.
"Gue baru tau kalau cuaca hari ini cerah banget," ucap Arka, kedua matanya menyipit karena silau matahari.
"Hahaha! Sama, tadinya gue pikir malahan mendung gara-gara dari arah barat awannya mendung banget, mana jalan lagi." Venus menghela samar, menatap lawan bicaranya.
"Ada yang mau gue obrolin sama lo Ven."
"Ha?" Venus menaikkan kedua alisnya. "Nanyain apa?"
Arka mengambil napas cukup dalam sebelum beralih menoleh ke arah depan. Ekspresinya nampak kebingungan, Venus sendiri menjadi semakin penasaran dan tidak sabar untuk menunggu pertanyaan dari teman sekelasnya ini. Entah pertanyaan atau pernyataan, intinya Venus sangat penasaran.
"Dari semua cerita yang lo kasih tau, dari awal sampai yang kemarin itu. Masih inget kan?" ucap Arka, dia kembali menatap Venus dengan ekspresi yang terlihat serius. Tentu saja gadis itu mengangguk, hanya bisa mengangguk karena bingung ingin mengatakan apa. "Gue rasa... eh tapi gak bisa langsung bilang kaya gini sih, tapi... kayanya... keluarga lo ada yang sensitif ya?"
"Hm... bentar deh gue inget-inget dulu!" Entah siapa yang memiliki kemampuan seperti Arka, dan Ria di rumah ataupun di keluarga besarnya. Venus masih bingung, tidak semua orang mau mengungkapkan hal itu, pasti kebanyakan malu dan di kira mengada-ngada atau malah mencari perhatian.
Namun, untuk kasus Ria dan Arka ini yang berbeda. Anehnya, mereka baru saling mengenal dan kemudian langsung memberitahu jika keduanya indigo tanpa ragu. Mereka benar-benar percaya diri, dan tidak memikirkan perspektif orang lain.
Venus menggeleng akhirnya, ekspresinya masih sama. Kebingungan. "Gak ngerti, kayanya sih gak ada."
"Gak mungkin."
"Kok gak mungkin?" Kening Venus bertaut. "Bisa aja mungkin."
"Engga, gue rasa gak mungkin kalau bukan keturunan. Eh tapi bentar deh!" Arka ikut mengernyit, dia berpikir cukup keras dengan semua pernyataan-pernyataan di dalam kepalanya. "Teman-teman lo dulu yang di kota ada yang indigo? Biasanya kalau lo akrab sama orang-orang yang indigo, otomatis lo jadi yang kedua. Kalau temen lo ada dua, lo bisa aja jadi yang ketiga."
"Temen gue yang blak-blakan ya lo sama ria doang. Kalian berdua doang yang indigo, masa gue ngikut kalian berdua sih? Bukannya aneh ya?"
"Iya, itu aneh karena kita baru aja kenal. Baru dua bulan kenal, tapi masa udah dapet aja sih?" Arka menggelengkan kepalanya ke kanan, dan ke kiri dengan pelan. "Gak mungkin banget, aneh malahan kalau beneran. Tapi bisa jadi emang alami sih, atau bakat terpendam yang baru aja kebuka. Itu bisa aja."
Venus mengangkat kedua bahunya, dia tidak mengerti sebenarnya kenapa Arka mengajaknya untuk berpikir secara tiba-tiba. Padahal obrolan lainnya ada banyak, ada banyak sekali yang lebih menyenangkan tanpa perlu membuat otak Venus berpikir terlalu keras seperti ini.
"Tapi Ven serius, masa lo gak indigo sih?"
"Ya kalau gak indigo mau gimana? Bisa aja kan mereka cuman pengen ngasih tau kalau mereka itu ada di sana, udah gitu aja biar gue gak bikin yang aneh-aneh aja."
"Bener sih," ucap Arka lesu. Dia masih yakin dengan apa yang dia pikirkan, bukan dengan pikiran Venus yang sekarang ini. Tapi yang membuatnya bingung adalah bagaimana caranya agar dia benar-benar yakin, dan bagaimana pula semua itu bisa terjadi begitu saja? Ini masih menjadi pertanyaan yang butuh jawaban, dan entah kapan jawaban itu bisa dia dapatkan.
"Lo udah makan siang belum? Udah jam sebelas nih, kita gak ada kelas dari pagi. Gue udah laper, ria juga pasti udah laper," ucap Venus.
"Ria ada acara sama anak-anak OSIS, dia sibuk. Kalau mau makan bisa sama gue aja, mau ke kantin atau kafetaria?"
"Gimana kalau kafetaria? Jujur gue cuman sekali doang ke sana, kebanyakan pergi ke kantin."
"Ayo!" Arka berjalan meninggalkan Venus lebih dahulu, dan gadis kecil di belakang itu ikut dengan langkah yang begitu santai. Tidak ada niatan untuk mengejar atau berjalan dengan sejajar. Hal itu membuat Arka menghentikan langkahnya ketika membuka pintu, dia menyuruh Venus agar berjalan lebih dulu dan dia yang di belakang.
Namun, ketika mereka menuruni tangga yang sepi, Arka berjalan dengan sejajar bersama Venus. Ekspresinya masih datar, sebagaimana Arka biasanya, padahal Venus tertawa sambil memberikan cerita yang menurut gadis itu lucu.
"Lo pernah ngerasa ada yang aneh gak Ven sama sekolah kita?" tanya Arka setelah menuruni anak tangga terakhir.
"Ah! Itu sih iya, pas kali pertama masuk ke sini nih, ngerasa auranya aneh banget. Udah kaya... apa ya? Gue sendiri bingung mau deskripsiin, tapi pas tau kalau bangunannya udah tua banget jadinya ya... oh aja gitu. Kan kalau bangunan lama emang punya aura sendiri," jelas Venus tanpa menatap lawan bicaranya yang nampak bingung.
"Gak pernah mikir kalau ada hantunya?"
"Ya pernalah, malahan sering apalagi pas mau masuk ke toilet. Sumpah ya nakutin banget, tapi gue rela tahan buang air sampai jam pulang biar gak takut-takut." Venus tertawa mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, di mana dia benar-benar menahan buang air kecil sampai bel pulang terdengar. "Kenapa sih emangnya? Nanyain soal hantu mulu."
"Penasaran aja sih, tapi cerita dikit buat lo. Di sini ada banyak hantu."
Venus menoleh sambil mengerjap-ngerjapkan kedua matanya beberapa kali. "Demi apa?"
"Ya emang, gue kan bisa liat."
"Oh iya deng, lupa."
"Ada banyak banget, saking banyaknya dulu gue gak mau sekolah di sini. Tiap hari bolos sekolah, gak sih gak tiap hari. Seminggu berapa kali gitu aja sih bolosnya. Saking seremnya, sampai akhirnya gue putusin buat berani. Lagian mau lari ke mana lagi? Gue gak bisa buat gak liat mereka."
"Iya juga sih, gak mungkin banget lo langsung jadi manusia kaya gue pas lari."
Arka mengangguk dengan senyum kecut. "Jadi... gue rasa lo harus bersyukur! Jangan nyari sesuatu yang harusnya gak lo tau ya!"
Venus menghentikan langkahnya, dan otomatis Arka melakukan hal yang sama. Dia mendongak, menatap cowok yang terlalu tinggi di depannya saat ini dengan kening bertaut. "Gue gak pernah ada niatan buat nyari tau sesuatu."
"Tapi feeling gue bilang bakalan ada sesuatu yang terjadi karena rasa penasaran lo itu."