webnovel

Tidak Mampu Untuk Melawan

Sakamoto yang tadinya bisa mengikuti ujian, sekarang tidak bisa. Atas keterlambatannya mengikuti pelajaran, dia harus berdiri di lorong sekolah hingga ujian selesai.

Setelah itu, dia harus masuk ke dalam ruangan kantor. Di dalam ruangan ada seorang pria bernama Akechi yang merupakan guru yang mengajar dalam ujian tadi.

"Sakamoto!"

"I-Iya!"

Tampak tatapan tajam yang diberikan untuk Sakamoto, tatapan tajam yang tidak mampu untuk Sakamoto lihat.

"Kenapa kau hari ini terlambat?"

"I-Itu karena…!"

"Jawab yang jelas!"

"Baik! Itu karena aku belajar hingga larut malam, dan aku kesiangan."

Jawaban jujur dari nada suara yang disertai gemetar tubuh, pasti menandakan kebenaran. Namun itu merupakan alasan yang tidak logis untuk terlambat bagi seorang guru.

"Seharusnya kau mempersiapkan diri, untuk mempersiapkan segalanya, bukan malah menghabiskan waktu berlebihan saat waktu itu tiba."

Sakamoto ingin sekali berteriak, dan mengungkapkan segalanya, namun dirinya takut akan terjadi masalah baru yang lebih rumit.

Lalu serangkaian omelan lainnya dilontarkan kepada Sakamoto, dirinya hanya bisa diam dan mendengarkan kata-kata itu. Setiap kata yang didengarkan bagaikan belati yang menusuk hatinya.

Sakamoto tetap diperbolehkan mengikuti ujian, namun dalam waktu yang ditentukan, dan di depan Akechi.

Hanya waktu 30 menit dia boleh menyelesaikan ujian. Berkat seluruh perjuangannya, Sakamoto selesai dalam waktu 23 menit, hal itu sungguh mengejutkan Akechi, total soal yang diberikan ada sekitar 50 dari dua mata pelajaran.

Setelah selesai Sakamoto dipersilahkan untuk pulang. Tidak ada rasa lega meski sudah menyelesaikan ujian.

"Huh… bagaimana aku bisa menghadapi hari esok, ya!" Di tengah taman saat melangkah menuju rumah, kaki Sakamoto terhenti dengan pandangan yang menatap langit.

Langit senja yang begitu kuning, yang mewakilkan impian Sakamoto untuk bisa terbang bebas layaknya burung. Tanpa beban hidup yang selalu membelenggu keinginannya.

Sampai di dalam kamar, Sakamoto langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tidak empuk namun nyaman untuk menenangkan hati, tidak mewah tapi cukup untuk menjadi tempat melepaskan pilu dan duka yang melanda.

***

[Besok Harinya]

Sakamoto lebih cepat pergi ke sekolah daripada hari biasanya. Begitu masuk ke dalam ruangan kelas, tatapan mata sinis langsung tertuju kepada dirinya.

"Heeh… lihat, dia yang terlambat kemarin!"

"Iya, dia itu sangat lemah dan cupu."

"Kenapa ada laki-laki yang selemah dia ya."

"Entahlah! Mungkin dia produk gagal yang diciptakan tuhan."

"Hehehahaha!"

Suara bisikan orang-orang kelas sangat jelas terdengar di telinga Sakamoto. Tawa yang menyayat hatinya, begitu menyakitkan.

Hanya bisa menunduk sedih, dia masih berusaha untuk tetap tegar dan menyembunyikan air mata. Meski hatinya sudah menangis darah, jeritan dari rasa pilu terus terlontar dalam batinnya.

Tidak akan ada yang mampu menggapai suara itu, tidak akan ada yang bisa mendengarnya selain hanya jiwa yang selalu lemah di dalamnya. Jika ada orang yang bisa mendengarnya pasi lengkingan suara yang keluar itu akan mengejutkan semua orang.

Sakamoto duduk di kursi dengan tatapan tajam dari seorang anak laki-laki, dia adalah orang yang seharusnya kemarin Sakamoto berikan jawaban untuk membatu dalam ujian, namun peristiwa kemarin merupakan sesuatu yang berbeda dari ekspektasi.

Sakamoto menelan air ludahnya, meski tidak menoleh ke belakang, aura tatapan anak laki-laki itu sangat terasa, hingga bulu kuduknya merinding.

Benar saja, ketika waktu pulang sekolah tiba. Sakamoto didatangi oleh tiga orang anak laki-laki, mereka masih satu kelas dengannya.

Sakamoto tahu kalau kejadian itu akan segera dia alami. Tubuhnya gemetar, dan sudah pasrah untuk nasib yang akan terjadi kepada dirinya.

"Oi… Sakamoto! Kenapa kau kemarin terlambat dan sekarang kau tahu aku harus remedi akibat tindakanmu itu!" ucap anak laki-laki itu dengan nada mengintimidasi.

"Maafkan aku!" balas Sakamoto dengan nada lirih yang pelan.

"Aaah? Kau bilan apa? Coba kau katakan dengan jelas!" Tangan anak laki-laki itu langsung melayang di saat dia berbicara.

Sakamoto terkena tinju yang menjatuhkan dirinya ke lantai. Mata Sakamoto perlahan menatap wajah pria itu.

"Krak! Krak! Krak!"

Jari-jari tangan telah dibunyikan, setiap suara menandakan rasa sakit yang akan Sakamoto segera rasakan.

"Waktunya, untuk memberikan pelajaran untuk orang yang tidak bisa menepati janjinya."

Ketiga orang itu lalu memberikan hadiah yang tentunya tidak ada orang yang menginginkannya. Tinju dan tendangan langsung mendarat di tubuh Sakamoto, dia tidak bisa melawan, tubuhnya terlalu lemah.

"Hehe… ayo kita pulang!"

"Dia pasti sudah tidak bisa lagi bergerak!"

"Tunggu sebentar!" Anak laki-laki itu mendekatkan kepalanya ke telinga Sakamoto. "Ingat Sakamoto hari ini bukanlah yang terakhir, bersiaplah untuk hari esok. Sampai berjumpa lagi!"

Bisikan halus di akhir kalimat yang membuat, pupil mata Sakamoto langsung membesar. Setelah puas memberikan Sakamoto pelajaran, ketiga anak itu pergi.

….

Dia hanya bisa menahannya, seluruh tubuhnya terasa sangat sakit. Hidung mengeluarkan darah, wajah yang dipenuhi luka memar membiru, serta pakaian yang kotor.

Sepanjang perjalanan pulang sekolah, kakinya terasa sangat berat. Pandangannya mulai tertutup oleh sebuah butiran air mata.

"Kenapa, aku tidak pernah merasa bahagia! Apa yang salah dengan diriku! Aku ingin hidup tanpa rasa takut."

Sakamoto menghentikan langkah kakinya, lalu merenung di bawah matahari senja. Sedikit saja Sakamoto bisa merasakan kehangatan sinar mentari, tapi itu tidak lama, hanya dalam waktu lima menit, Sakamoto kembali melangkah kembali menuju rumahnya.

Di tengah jalan, dia melihat seorang yang memaki pakaian berjubah tengah duduk, di jalanan yang sepi. Memang waktu, hampir menjelang malam, jadi itu hal yang wajar jika tidak ada orang yang berlalu lalang di jalan tersebut.

"Hehehehe!"

Ketika Sakamoto melintasi orang itu, suara tawa kecil terdengar pelan di telinga Sakamoto, akan tetapi dia mengabaikan hal itu, rasa pilu dalam hati dari hari yang begitu melelahkan mengalahkan semua yang ada di sekitarnya.

"Sepertinya, kau sedang dalam masalah!"

Langkah kaki Sakamoto mendadak berhenti, saat mendengar orang berjubah itu berkata. Perlahan Sakamoto menoleh ke arah belakang.

Orang berjubah itu, hanya menatap lurus dengan senyuman simpul. Sakamoto melirik ke kanan dan kiri, untuk memastikan kalau orang itu sedang berbicara dengan dirinya.

"Kau tidak perlu takut, aku memang berbicara dengan dirimu!"

Orang berjubah itu kembali berkata, dan semakin jelas kalau memang Sakamoto, yang sedang diajaknya bicara.

Hati Sakamoto menjadi penasaran, segera dia mendekati orang berjubah itu.

"Apakah Anda berbicara dengan saya?" kata Sakamoto dengan nada ragu.

Orang berjubah itu mengangguk. "Aku bisa melihat masa depan dan masa lalu dari dirimu, melalui kaca di bola kristal ini."

Tempat orang berjubah itu berada, seperti sebuah peramal di pinggir jalan yang selalu menawarkan jala untuk melihat garis masa depan.

"Apa yang kau lihat dari masa depanku?" Meski sudah paham kalau, semua itu hanya sebuah tarian lidah yang mungkin belum tentu ada kebenarannya, tapi tidak ada salahnya dia mencoba untuk mengetahui masa depannya sendiri.

"Kau akan…!"

__To Be Continued__

Next chapter