Nicolas langsung memanggil dan menyuruh asisten pribadinya untuk segera menyiapkan uang yang diperlukan. Dari Jeanne, dia tahu kalau harga yang perlu dibayarkan adalah lima puluh ribu Tia. Namun untuk jaga-jaga, dia menyuruh asistennya untuk menyiapkan seratus ribu Tia.
Nicolas tahu betul tabiat mayoritas pedagang di luar sana. Mereka selalu memanfaatkan segala cara untuk mendapatkan lebih banyak profit.
Dengan adanya Veronica di tangan penjual benda magis itu, Nicolas harus memikirkan hal terburuk yang nanti akan terjadi. Dia harap penjual itu tidak sepicik para saudagar yang biasa ditemuinya.
Setelah memberikan titah kepada asisten. Nicolas melirik ke Jeanne yang tertunduk lesu karena merasa sangat bersalah. Nicolas mendesah pelan, sesungguhnya dia juga mengerti tindakan Jeanne. Bahkan, mungkin dia sendiri akan melakukan hal yang sama.
Nicolas menggeleng lalu melihat ke sarung tangan hitam yang ada dipakai Jeanne.
"Katamu itu namanya Fire Glove?" Tanya Nicolas, agak penasaran.
Jeanne mengangkat kepalanya, lalu mengangguk lemas mengiyakan. Nicolas mengernyitkan alisnya, lalu berkata.
"Selagi menunggu uangnya datang. Perlihatkan padaku kekuatan yang dimiliki oleh benda magis itu."
Jeanne terkejut, namun kini dia agak bersemangat. Setidaknya, Pamannya sendiri juga memiliki ketertarikan akan benda magis yang dibawanya. Rasa bersalah dalam diri Jeanne sedikit berkurang, walau dia tetap mengakui hal yang dilakukan tetaplah di luar akal normal.
Jeanne lalu menjelaskan kekuatan dari Fire Glove sebagaimana yang pernah dijelaskan Cien kepadanya.
Mendengarkan penjelasan tersebut, Nicolas tidak bisa menutupi rasa takjubnya.
"Rank 10. Benda magis ini mungkin bisa disandingkan dengan benda-benda magis yang dibuat oleh para pengrajin ternama."
Ujar Nicolas dengan rasa kagum. Dia lalu menyuruh Jeanne untuk mengaktifkan kekuatannya. Cien tidak segan-segan menyuruh keponakannya itu langsung menggunakan empat inti mana yang ada di Fire Glove.
"Kalau perkataan penjual itu benar. Maka kekuatannya akan setara dengan rank 4, kan? Serang ini, [Ice Wall]."
Nicolas membuat sebuah dinding es besar dengan tinggi lima meter dan lebar tiga meter. Walaupun seorang bangsawan, itu bukan berarti dirinya adalah bangsawan manja dan tidak mempunyai kekuatan.
Nicolas adalah penyihir Rank 6 Kelas Menengah. Dia mempunyai kekuatan yang bisa menjadikannya seorang kolonel militer.
Jeanne tersenyum lebar, dia dengan segera mengaktifkan inti mana yang ada di tangan kirinya. Empat inti mana menyala, lalu sebuah lingkaran sihir merah dengan aksara yang tidak diketahui muncul di udara, mengeluarkan semburan api menuju dinding es yang dibuat oleh Nicolas.
Viscount Amary memperhatikan dinding esnya miliknya mulai mencair dan memperlihatkan retakan di tengah. Hingga semburan api [Tongue of Fire] usai, dia melihat dinding es itu telah menyusut setidaknya tinggal sepertiga dari besar awalnya.
Tentu saja, serangan Jeanne tadi tidak akan menghancurkan dinding itu. Bagaimana pun dinding es itu dibuat agar bisa menahan serangan seorang kelas rank 6. Tapi, bisa membuat dinding menjadi seperti ini, sungguh membuat Nicolas semakin takjub.
"Dari kekuatannya, ini benar-benar setara dengan serangan seorang Rank 4 Kelas Atas. Hehehe, kalau sepuluh inti mana itu dipakai, maka serangan sekelas Rank 10 akan keluar? Gila, pembuat benda ini sudah gila!"
Nicolas tampak bahagia, dia mulai berpikir kalau keponakannya itu baru saja mendapatkan suatu jackpot! Bahkan Shiwa yang sedari tadi kurang menyukai benda magis tersebut, karena harus ditukar dengan keberadaan putrinya, saat ini tidak bisa memungkiri kekuatan hal yang dibawa oleh Jeanne.
Tapi, meski begitu, Shiwa tetap tidak menyukai cara Jeanne untuk mendapatkan benda magis tersebut.
Pada saat ini, seorang asisten masuk membawa sepuluh karung yang masing-masing berisikan uang sebanyak sepuluh ribu Tia. Asisten tersebut masuk dengan tergesa, memperlihatkan raut cemas kepada mereka yang melihatnya.
"Semuanya sudah siap, Gary?" Tanya Nicolas kepada asisten pribadinya itu.
Gary mengangguk, namun wajah cemas dan serius yang terpampang pada asisten itu berhasil membuat raut Nicolas mengerut.
"Ada apa?"
"Tuan, sepertinya ada sesuatu yang terjadi di timur kota."
"?"
Gary, tidak mau berbasa-basi, dia langsung saja menuntun Nicolas, Shiwa dan Jeanne, ke bagian depan rumah. Memperlihatkan langit di timur kota sana, yang kini dihiasi oleh sebuah lingkaran sihir merah besar.
"A-Apa itu?" Jeanne membuka mulut dan mata lebar-lebar, terkejut melihat lingkaran sihir sebesar itu, "Teroris?"
Nicolas merengut, "Bukan. Kalau tidak salah kamu mendapatkan Fire Glove dari arah sana, kan?"
Jeanne mengangguk sebelum akhirnya sadar, "! Tidak mungkin! Penjual itu mengatakan kalau benda magis ini satu-satunya yang tersisa!"
Nicolas tampak berpikir sejenak, kalau perkiraannya benar. Maka salah satu skenario terburuk yang tadi dia bayangkan sepertinya terjadi.
Ada pihak-pihak lain yang menginginkan Fire Glove, dan karena tidak bisa mendapatkannya dari Jeanne. Mereka ingin menculik Veronica yang ada di tangan penjual.
Tapi sayangnya, mau Nicolas ataupun mereka pihak lain itu, tidak mengira kalau penjual itu mempunyai kekuatan untuk melindungi dirinya.
Nicolas menyeringai lebar, "Penjual ini sepertinya bukan orang biasa. Katamu Fire Glove itu satu-satunya yang tersisa, tapi tentu saja, maksud dia adalah yang tersisa untuk dijual. Dia tidak mungkin menjual sesuatu yang bisa melindunginya dari bahaya. Sebagai penjual benda magis, dia pasti sadar akan hal itu."
Nicolas lalu menyuruh asistennya untuk menyiapkan kereta kencana bagi dirinya dan keluarga. Mengetahui konflik telah terjadi, membuat waktu semakin tipis baginya. Dia takut, nanti dalam suatu tekanan, penjual itu akan membawa lari putrinya.
***
Sekitar empat puluh menit kemudian.
Rombongan Viscount Amary tiba di tempat meja dagang Cien berada. Dari jendela kereta kencana, sang Viscount dapat melihat ramainya pengunjung yang berada di sekitar sana. Padahal mentari telah terbenam dan digantikan bulan sabit yang menggantung di langit.
Para pengunjung ini, Nicolas yakini datang hanya sekadar ingin melihat pertunjukan menarik yang akan terjadi.
Jangankan Nicolas, Cien sendiri agak termenung melihat para pengunjung yang bukannya semakin sedikit malah semakin banyak. Dia terkagum melihat keberanian orang-orang itu yang datang hanya untuk menonton, walaupun ada lingkaran sihir besar di langit yang mengancam.
"Orang-orang ini sepertinya kekurangan hiburan…" gumam Cien, yang tidak tahu harus menangis atau tertawa melihat orang-orang itu datang untuk menonton dirinya.
"Mungkin anda salah paham, Paman." Tukas Veronica yang masih bermain dengan bonekanya. Sesekali Cien dapat melihat mata gadis kecil itu melirik ke sekelilingnya.
"Apa maksudmu salah paham?"
"Paman pasti berpikir kalau mereka berani sekali datang kemari. Tapi, itu bukan berani karena nekat, melainkan karena mereka tahu kalau keadaan sudah aman."
"...aku tidak mengerti maksudmu," tambah Cien memiringkan kepalanya.
Veronica mengangkat kepalanya, melihat sekitar sejenak lalu menatap langsung Cien.
"Sudah banyak penjaga dari militer kerajaan hadir di sekitar sini. Mengetahui adanya lingkaran sihir, tadinya saya berpikir kalau mereka akan langsung menanyai Paman. Tapi nampaknya dugaan saya salah.
"Dengan orang seramai ini, tapi tidak ada penjaga yang maju dan hanya melihat saja. Itu artinya, ada orang lain yang telah mengawasi tempat ini. Orang yang jauh lebih kuat dari lingkaran sihir di atas, dan dapat melindungi semua orang di sini sekaligus."
Mendengar pemikiran yang diutarakan oleh Veronica, Cien serta merta menyadari hal yang mungkin terjadi saat ini.
"Begitu, ya… Apakah dia Champion, atau Jendral militer?"
Veronica mengangkat bahunya, lalu kembali bermain dengan mainannya, "Entahlah, tapi yang pasti dengan adanya individu ini, transaksi Paman dan Kak Jeanne tidak akan terganggu oleh pihak ketiga."
Veronica seraya tersenyum lebar nan jahil, "Mereka tidak akan berani melakukannya di bawah pengawasan orang terkuat di Huntara."