webnovel

KEBAIKAN HATI STEVI

"Mengapa kau diam, Bocah sombong?!" Pria di sana terus berteriak. Stevi tidak menyukai suaranya yang tidak memiliki irama itu.

"Aku sedang tidak diam. Kalian saja yang tidak tahu. Sebenarnya aku sedang berbicara," kata Stevi.

Mencari-cari alasan itulah keahlian Stevi. Sesekali Stevi melihat kedua orang tuanya yang mulutnya ditutup oleh lakban hitam.

"Hahaha. Bagaimana kau berbicara, sedangkan kau tidak mengeluarkan suara, benar bukan teman-teman?"

Mereka memandang rendah Stevi. Menjadi hal tabu bagi Stevi untuk membuat mereka menarik kata-katanya itu.

"Hahaha, jadi kalian tidak percaya?" Sesantai itu sikap Stevi. Mereka tertawa maka Stevi ikut tertawa.

Jika mereka bersenang-senang, apa salahnya Stevi juga ingin senang.

"Sudah. Kau tidak bisa menipu kami dengan omong kosongmu itu. Kau hanya gadis kecil yang polos. Sangat polos."

Dipandang rendah dan remehkan, itu menjadi dua hal yang tidak disukai Stevi.

"Cepat tangkap dia. Dan segera satukan dengan kedua orang tuanya."

Pria itu memerintahkan yang lain untuk menutup mulut besar Stevi itu. Mereka dengan senang hati mengikuti kemauan pria dengan topeng berung hitam tersebut.

Stevi memutar otaknya agar tidak tertangkap oleh mereka.

Jelas dia harus menemukan cara untuk bisa melarikan diri dari rumahnya, tanpa para pencuri mengejarnya.

"Jika aku lari, maka mereka akan tetap mengejarku di belakang. Tapi, jika aku tetap diam di sini, jelas itu tidaklah menguntungkan bagiku," batin Stevi.

"Ayo, Stevi berpikir. Bagaimana cara untuk menyelamatkan dirimu, sedangkan mereka sudah mengepungmu, Stevi."

Stevi berada dalam keadaan siap. Kuda-kudanya terpasang dengan kokoh. Dia melirik kiri dan kanan. Lalu, berputar 380 derajat untuk memastikan jika tidak akan ada serangan dari belakang.

"Mau kemana kau, Bocah manis?" goda salah satu di anatar mereka.

Stevi memakai semua indranya. Pendengarannya diperkuat, sebab ini menjadi titik terpenting baginya.

"Kemari!" 

Stevi menggerakkan telapak tangannya menantang mereka berduel satu lawan satu, atau main keroyokan juga boleh.

Dari sana juga Stevi sedang menyusun rencana dadak yang semoga bisa menyelamatkan mereka dari gerombolan orang-orang bertopeng itu.

"Berani kau, Bocah ingusan!"

Ada yang sudah terpancing. Terlebih dahulu dirinya mendatangi Stevi. 

Ssset …

Entah dari mana, bagaimana bisa dia mengeluarkan belati dari sela-sela tangan kirinya.

"Kau bocah ingusan yang berani juga," kata dia yang terkesan memuji.

Stevi merundukan kepalanya ketika belati itu menyapu di atas kepalanya.

Sesudahnya yang lain ikut memberi serangan. Ini namanya curang. Curang bagaimana? Jelas memang curang. Stevi hanya bertarung seorang diri tanpa senjata apapun juga di tangannya.

Sedangkan orang-orang ini dibekali senjata tajam, meski ukurannya memang kecil. Namun, Stevi sudah bisa membaca pungsi dan jenis senjata api tersebut.

"Ini jelas curang. Kalian menyerangku bersama-sama, tetapi aku akan mengalahkan kalian tanpa adanya senjata," kata Stevi.

Meyakinkan diri sendiri bahwa dia bukan bocah ingusan seperti yang selalu mereka katakan.

"Segera tangkap bocah ingusan itu. Jangan biarkan dia lolos!" 

Sementara yang lain sedang bertarung, pria ini hanya bisa menonton dan bersorak tidak jelas.

Fokus dia terbagi dua. Hal itu membuat ibu serta Ayah Stevi bisa mencari cara untuk meloloskan diri.

 Tanpa dirinya sadar. Ayah Stevi yang seorang anggota BIN itu tentu bisa melepaskan dirinya dari jerat yang sejak tahu seharusnya sudah dia lakukan.

Perlahan-lahan tanpa pria itu sadari, Ayah Stevi mencoba mendekatkan pisau kecil yang tercecer di lantai.

Dengan bersusah payah akhirnya dia mendapatkan pisau itu juga. Meski Ayah stevi harus terkena bagian tajam pisau itu.

Digeser-geser hingga akhirnya Ayah Stevi mengapit pisau itu dengan dua ibu jari kaki.

Sampai detik ini belum terjadi apa-apa. Dia mengarahkan pisau itu kepada istrinya. 

Mereka boleh saja terikat oleh tali, tetapi keduanya terus berusaha untuk bisa meloloskan diri.

Ibu duduk berhadapan dengan Ayah. Pria yang menjadi anggota BIN itu mengoper pisau tersebut kepada istrinya.

Jelas itu bukan perkara yang mudah, akan tetapi mereka berhasil melakukannya. Stevi yang tengah bertarung itu melihat bagaimana usaha kedua orang tuanya.

"Bagus," pekiknya tanpa ada yang mendengar.

Stevi dengan sengaja bertarung seperti ini untuk mengulur waktu bagi kedua orang tuanya membebaskan diri.

Satu persatu di antara mereka ambruk. 

Ada sekitar lima orang yang tergeletak di lantai, dengan memegangi wajah mereka yang membiru. Mungkin? Stevi bisa melihat wajah mereka, sebab masih tertutup topeng.

Bahkan tendangan kaki Stevi yang luar biasa itu, berhasil membuat orang kehilangan giginya.

Meskipun tidak terlihat, tetapi Stevi melihat gigi yang tercecer di lantai.

"Bos, awas di belakangmu!" teriak salah satu dari mereka, yang telah sadar bahwa orang tua Stevi sudah lepas dari jeratannya.

Bruk ….

Belum sempat dia menarik pelatuk senjata api miliknya, Ibu Stevi memukul kepalanya dengan vas bunga.

Vas bunga itu pecah saat itu juga. Pria bertopeng beruang hitam itu ambruk dengan kepala bagian belakangnya mengeluarkan darah.

Stevi langsung mengambil senjata berupa pistol berukuran sedang yang tercecer di lantai.

"Diam kalian!"

Situasi sekarang telah berbalik. Stevi yang menguasai kondisi. Dia menodongkan senjata itu ke arah mereka semua. Stevi siap menarik pelatuknya.

Meski dia bocah berusia 10 tahun, terlihat bukan seperti bocah yang usianya masih sangat suka bersenang-senang. Bermain boneka dan membuat rumah-rumah impian, walaupun itu hanya sekedar imajinasi saja.

Stevi memang lain daripada yang lain. Dia wanita berusia 10 tahun, tetapi bisa mengalahkan lima pria dewasa yang bertubuh kekar semuanya.

Mereka tertunduk dan mengangkat tangan ke atas, "Ampun. Maafkan kami. Jangan bunuh kami," mohon dari salah satunya.

"Benar. Jangan bunuh kami. Kami masih memiliki keluarga, termasuk aku yang memiliki 6 orang anak yang masih kecil-kecil dan masih perlu untuk dinafkahi," sambung yang lainnya juga.

"Tolong ampuni kami. Kami hanya orang suruhan saja. Kami tidak memiliki niat untuk menyakiti keluarga ini. Kami terpaksa melakukan ini, karena tuntutan ekonomi," sanggah yang memakai topeng berubah berwarna putih.

Satu-persatu mereka meminta pengampunan dari Stevi. Gadis itu terus mendengarkan penjelasan mereka. Dan kedua orang tuanya juga ikut bergabung.

"Tapi kalian tetap harus dihukum atas perbuatan kalian kepada Ibu dan Ayahku," ujar Stevi dengan segala kebenarannya.

Mendengar akan dihukum. Otomatis mereka membayangkan akan masuk penjara.

"Jangan."

"Jangan hukum kami, apalagi melaporkan kami ke polisi. Kami tidak ingin masuk tahanan. Maafkan kami ini," kata dia memohon.

"Ya, maafkan kami," sambung semuanya. 

Kelima orang ini bersujud memohon belas kasih dari Stevi.

Mereka berani untuk melakukan kejahatan, tetapi mereka takut untuk menerima hukuman.

Ibu serta ayahnya berkata, "Sayang. Maafkan saja mereka. Mungkin ini memang dikatakan sebagai kejahatan yang besar, tetapi apa kau tidak kasihan dengan keluarga mereka?" kata Ibu terlebih dahulu.

"Benar, Stevi sayang. Kamu harus memaafkan mereka. Kamu dengar sendiri bukan mereka masih memiliki anak yang masih kecil-kecil? Jadi lepaskan saja mereka," ungkap Ayah menambahkan.

Stevi tertegun untuk sesaat. Dia tengah mempertimbangkan ucapan kedua orang tuanya tersebut.

Sesungguhnya ini adalah mutlak sebuah kejahatan. Kejahatan tetaplah kejahatan tidak bisa ditoleransi. Seharusnya mereka dihukum, namun Stevi masih mempertimbangkannya.

Setelah pikir panjang dan Stevi akhirnya memberikan keputusannya.

"Baiklah. Aku akan memaafkan kalian. Hanya untuk kali ini saja," ujarnya.

Stevi membawa angin segar kepada mereka-mereka korban dari kemiskinan.

"Benarkah?" kata dia yang masih sulit untuk mempercayainya. Satu persatu mereka membuka topeng yang masih menutupi wajah masing-masing orang.

Senyum-senyum sumringah terpancar jelas dari pria-pria tersebut.

"Terima kasih banyak." 

Bersama-sama mereka meminta maaf, dan berusaha untuk sujud di kaki Stevi.

"Apa yang kalian lakukan? Berdiri kalian semuanya!" katanya memaksa.

Stevi merasa ini sangatlah keterlaluan. Dia tidak pantas untuk disembah seperti tadi.

"Berdiri kalian semua!" Dia terus mengatakan hal yang sama. Maka mereka pun akhirnya berdiri. Tidak dengan kepala naik, melainkan merendah serendah mungkin di depan Stevi dan keluarganya.

Satu-persatu mereka meminta maaf baik kepada Stevi maupun kedua orang tuanya.

"Sungguh kami tidak bermaksud ingin melukai keluarga ini. Karena tuntutan ekonomi yang membuat kami harus melakukan kejahatan," aku pria itu.

Yang lain juga ikut mengutarakan hal yang sama. Di masa politik seperti ini memang sulit untuk mencari pekerjaan, ditambah tuntutan ekonomi yang sudah serba naik.

Bahan-bahan pokok setiap harinya melonjak naik, sedangkan mereka tidak memiliki pekerjaan tetap. 

Pengeluaran selalu ada setiap harinya, tetapi tidak ada pemasukan sama sekali. Semakin lama mereka terdesak hutang, sebab dapur tidak pernah pengertian kepada mereka.

Stevi mendengarkan keluh kesah mereka. Dia tidak menutup hati dan matanya. Jika yang lain sibuk berpolitik, tanpa mendengarkan bagaimana rakyat kecil menderita. Maka lain dengan Stevi.

"Baiklah. Aku sendiri paham bagaimana sulitnya kalian mencari nafkah untuk keluarga kalian. Aku tidak akan melaporkan kalian ke polisi," paparnya.

Membawa kebahagiaan bagi banyak orang. Stevi menunjukan kelapangan hatinya dengan cara memaafkan orang yang mungkin tidak bisa orang lain lakukan.

"Terima kasih banyak. Aku berjanji tidak akan melakukan kejahatan lagi," cakapnya.

Disusul yang lain jug, "Benar. Kami akan melakukan apapun untuk keluarga ini, tetapi jangan laporkan kami ke polisi."

"Ya, kami akan bekerja dengan keluarga ini. Bahkan tidak apa-apa jika tidak digaji, tetapi kami mohon untuk tidak melaporkan kami ke pihak yang berwajib," kata pria lain menambahkan.

Secara bergantian mereka mengutarakan keinginan masing-masing. Tentu Stevi tidak menutup telinganya untuk tidak mendengar keluh kesah dari mereka.

"Baiklah. Aku tidak akan melaporkan kalian, tetapi kalian berjanji untuk tidak melakukan hal yang serupa di kemudian hari. Janji," pinta Stevi.

"Janji!" seru mereka bersama-sama.

Tidak sulit untuk mengatakan janji, tetapi apakah janji itu bisa dipegang? Apakah mereka tidak akan melakukan kejahatan seperti ini dikemudian hari?

Stevi berharap, janji mereka bisa dipegang dan tidak ada dusta dari mereka.

Bagaimana kelanjutan kisahnya?

JANGAN LUPA BACA BAB SELANJUTNYA!

Next chapter