webnovel

KEKUATAN STEVI

Malam minggu yang kelabu. Di jalanan kota New York yang tidak pernah tidur. Leo, seorang diri mengendarai supercar-nya.

Di atas jalan raya Leo berubah menjadi raja jalanan yang tak takut akan kematian.

Bukan dirinya yang menepi, sebaliknya mobil-mobil yang menghalangi jalannya menghempas, menghindar dari jalur.

Leo tidak peduli dia akan menabrak atau tidak. Dirinya sedang tersulut emosi. Api kemarahan seolah-olah tengah mengepul di kepalanya.

30 menit yang lalu. Sebelum semuanya terjadi. Leo, beserta Naga tengah mencari identitas pelaku yang sudah menusuk Sky.

Pelaku yang sama, dirinya yang sudah membunuh Mr. Duck. Leo tidak akan membiarkannya menghirup udara segar sampai besok pagi.

Mulai menggambar sketsa wajah. Leo mengikuti petunjuk dari Sky. Sebab pelaku itu dengan sengaja menunjukan wajahnya di hadapan Sky.

"Apakah benar dia yang sudah menghabisi Mr. Duck?"

"Ya. Dia lah orangnya. Orang yang sama, yang hidupnya tidak akan lama lagi. Sebab diriku akan mengirim dirinya ke alam baka malam ini juga."

Leo sudah menyelesaikan sketsa wajahnya. Naga yang duduk menemani hanya bisa takjub pada temannya itu.

Bukan tidak mungkin, karena hanya perlu 15 menit bagi Leo untuk menggambar sketsa wajah manusia. Itu pun hanya sebatas sedikit ingatannya saja.

"Lalu, bagaimana dirimu menemukan orang ini? Kita tahu bukan bagaimana banyaknya jumlah penduduk yang ada di negara ini, sungguh banyak bukan? Jadi, kau harus menemukan satu orang di antara jutaan manusia."

Meskipun ucapan Naga ada benarnya juga, tetap saja itu bukan hal yang patut Leo takuti.

Dirinya sudah berkecimpung di dunia mafia selama 10 tahun. Dia mengenal banyak orang, dan belajar bagaimana cara menemukan seseorang dari sebatas sketsa wajahnya saja.

"Kau anggap aku ini apa? Anak kecil? Aku Leo. Leo tidak akan mundur sebelum keinginan tercapai. Jadi kau tidak usah mencemaskan hal yang kecil itu."

Enteng jasa dia menjawab. Percaya dirinya tingkat atas. Dia bukan memandang remeh seseorang, tetapi itulah Leo.

Leo Sukma Atmaja. Nanya disanjung di mana-mana. Lebih dari 100 negara yang mengenal Leo.

Bukan perkara sulit bagi Leo menemukan kelinci kecil yang terhimpit digerombolan gajah. Hewan besar dengan empat yang besar-besar.

Maka dari itu Leo menembus malam di kota New York. Dengan tujuan satu menemukan pria yang sudah berani-beraninya mengusik kehidupannya.

****

Sementara itu. Di rumah kontrakan Stella. Malam yang panjang untuk Stevi. Dirinya tak akan menduga akan membunuh teman yang sudah mau menerimanya dengan lapang dada.

"K-au."

Napasnya tersedat. Stella membukatkan kedua matanya. Enah apa yang Stevi tusukan ke dalam perutnya, ranya sangat sakit.

"Maaf."

Stevi menariknya kembali. Dia melakukannya tanpa belas kasih. Tidak ada jeritan, atau suara yang terucap dari Stella lagi.

Gadis itu ambruk dengan bersimbah darah. Stevi telah mengotori tangannya dengan darah dari seorang gadis yang tak berdosa.

"Maaf. Ini semua tidak akan terjadi, jika kau tidak ikut campur dalam urusanku."

Sepatah dua patah kata menjadi pesan terakhir Stevi, sebelum Stella pergi ke alam baka.

"Semoga kau mendapat tempat yang terbaik di sisinya."

Rumah ini telah kehilangan penghuninya. Stevi menapaki setiap ruangan dari gedung yang tak terlalu besar tersebut.

Ruangan ini menjadi saksi bisu pertemanan keduanya.

Stella mengajaknya untuk menetap di sana. Sebab dirinya yang belum menemukan tempat tinggal.

Hanya satu hari momen yang tercipta oleh keduanya. Akan tetapi, Stevi tidak akan melupakan kepingan kecil dari memori indahnya itu.

Stevi mengambil jaket hitam dan menutupi bagian tubuhnya yang mencolok.

Memakai topi dan melenggang pergi layaknya seorang pembunuh bayaran.

Jasad Stella tak diapa-apakan. Stevi membiarkannya tergeletak di ruanga dapur. Sedangkan dirinya sudah pergi jauh dari rumah tersebut.

Seorang gadis, ingin pergi kemana semalam ini?

Mungkin New York menjadi kota yang tak pernah tidur, akan tetapi di jam-jam seperti ini bisa saja Stevi menjadi korban pria-pria nakal.

Benar saja. Stevi menemukan empat sampai lima orang pemuda yang sedang nongkrong menunggu mangsa.

Pas sekali Stevi akan lewat di jalur yang mereka jaga.

"Hai, manis," sapa salah seorang pemuda, berpakaian kaos pendek dengan celana jin yang dengan sengaja dihilangkan.

Itu adalah passion yang terkenal di kota New York.

"Mau kemana kamu manis?" goda yang kain.

Tangan-tangan mereka yang kotor mencoba menyentuh Stevi. Salah satunya bahkan sudah sangat bernafsu ingin menjajal bagaimana Stevi bergoyang.

"Sendiri saja, manis? Apa perlu kami yang temani?" tambahnya dan disetujui langsung oleh yang lain.

Stevi memiliki mulut dan telinga. Hanya saja dia tidak akan menyia-nyiakan pendengarannya hanya untuk mendengar omong kosong mereka.

Stevi diam layaknya patung batu. Membeku dan tubuhnya berdiri tegak lurus.

"Ayo, Sayang. Kami akan menemanimu malam ini. Lagi pula ini adalah malam minggu. Mari kita jadikan malam minggu ini menjadi malam yang indah," ajak salah satunya.

Masih berada di tahap tenang. Perkataan, godaan, dan rayuan itu sama sekali tidak membuat Stevi meninggalkan posisinya.

"Bos. Mengapa dia diam saja? Apakah dia itu sudah mati?" bisik salah satu dari mereka

Stevi dapat mendengar bisikan tersebut. Berbisik, tetapi suaranya masih bisa didengar jelas?

Mereka berunding untuk bisa mengajak Stevi untuk bergabung dengan pesta kecil yang sudah mereka siapkan.

Berunding, dan bermusyawara. Itu yang disebut menyia-nyiakan waktu saja. Stevi mengangkat kepalanya dan melirik ke arah mereka.

Dari balik topi hitam. Rupanya Stevi memiliki sepasang mata yang indah. Pasti banyak gadis yang iri dengan kecantikan matanya itu.

"Ayo!"

Tentu yang dituakan akan mendapat giliran pertama. Mereka dengan percaya dirinya mendekati Stevi yang sama sekali tidak mau meninggalkan posisinya.

"Mari manis. Aku akan menunjukkan sesuatu hal yang indah. Kau pasti akan menyukainya."

Sebelum tangan itu menyentuh kulit jaketnya. Stevi sudah terlebih dahulu menggeram tangan pemuda itu.

Menariknya dengan kuat. Ada keterkeujutan dari teman-teman yang lain.

"Aaaa!"

Dia yang sejak awal selalu percaya diri, sekarang menjerit kesakitan, sangat pantas disebut baby dan bukan pria besar.

"Cepat tolong aku!"

"Siap, Bos."

Datang untuk membantu, bukanlah perkara yang mudah.

Stevi meraih lengan yang ingin menyentuhnya.

Stevi menariknya laku memutarnya sampai ke belakang. Setelah lumpuh, Stevi menyikut tangannya di bahu pria itu.

"Aaa!"

Perlawanan Stevi tidak main-main. Yang lain ikut datang. Tidak perorangan yang menyerang Stevi, sebaliknya satu kelompok itu ikut menyerang Stevi.

Bertubi-tubi kepala Stevi merunduk. Menghindar dari tinju cepat itu. Berputar tubuhnya hampir satu lingkaran penuh.

Gadis itu memiliki jurus ilmu bela diri karate.

Stevi melompat. Melambungkan tubuhnya lalu yang diperbuatnya hanya satu. Meninju dan menendang itu saja.

Tidak banyak jurus yang Stevi perlihatkan, tetapi dari jurus yang kecil dan sangat dasar itu sudah membuat para badot pergi.

Mereka berlari dengan terbirit-birit sampai salah satunya ada yang terjatuh.

Next chapter