webnovel

18) Kelompok Misterius

"Apa maksudmu dengan terlambat?"

Nadine masih belum mengerti mengapa Kevan bertingkah seperti itu, seakan ada bahaya yang sedang mendatangi mereka.

Kevan mengarahkan pandangan pada Kayla, "Kau masih memiliki pistol yang kuberikan padamu waktu itu, kan?"

"Ya, ada di dalam tas. Kenapa kau menanyakan hal itu?"

"Ada berapa peluru yang tersisa?"

"Dua. Aku memakainya sekali saat tadi kami pergi mencari bahan makanan."

Kevan terdiam sejenak. Mereka bisa melihat bahwa Kevan sedang memikirkan sesuatu.

"Kakak?" panggil Rea. Ia juga merasa bahwa Kevan sedang bersikap tidak biasa. "Apa yang sedang kau pikirkan?"

Kevan berjalan ke dapur dan mengambil sebuah pisau.

"Hey, apa yang coba kau lakukan?!" teriak Nadine saat Kevan menusuk telapak tangannya sendiri.

Crassshhhhh~ ...

Pisau dapur itu patah menjadi dua. Kevan kembali menoleh ke arah Kayla, "Ambil pistolmu."

Mereka semua tak mengerti dengan apa yang coba Kevan lakukan sejauh ini. Namun Kayla tetap mematuhi kata-kata Kevan. Gadis itu bangkit dari kursinya meninggalkan mie instan yang belum sempat ia habiskan.

Setelah merogoh isi tasnya, Kayla kembali dengan sebuah pistol di tangannya.

Kevan membuat gestur seakan menyuruh Kayla untuk memberikan pistol itu kepadanya. "Berikan padaku."

Tentu saja, setelah melihat Kevan menusuk telapak tangannya sendiri menggunakan pisau dapur, Kayla bisa menebak apa yang coba Kevan lakukan dengan pistol itu.

"Tidak, aku tak akan memberikannya."

Kevan menatap tajam ke arah Kayla, namun Kayla masih tetap tak ingin memberikannya.

"Kalau begitu, tembaklah aku."

"Apa?!" mereka semua berteriak serempak.

Nadine kini menatap marah ke arah Kevan. "Apa kau sudah gila?!"

Kevan berjalan mendekat ke arah Kayla. Kini ia sudah berada tepat di hadapan Kayla. Dengan cepat Kevan mengambil alih pistol itu dari tangan Kayla dan mengarahkan ujung laras pistol ke telapak tangannya.

"Kak Kevan!" Rea berteriak histeris.

Dor!~ ...

Suara tembakan terdengar, dan semua orang di dalam ruangan itu diam membisu. Kepanikan tercetak jelas di wajah mereka. Bahkan Rea sudah meneteskan air matanya.

Kevan dengan tenang melihat ke arah telapak tangan kirinya. Peluru yang ia tembakkan tadi masih berada di sana. Meski peluru itu tak menembus dagingnya, namun kulit telapak tangannya tetap sobek.

"Hanya sebatas ini saja kah kemampuanku?" gumam Kevan yang terdengar di telinga Kayla.

"Apa maksudmu?"

Kevan tak membalasnya. Ia berjalan ke arah pintu dan membuka pintu itu. "Tetaplah di dalam. Jangan pernah membuka pintu ini apapun yang terjadi."

Nadine yang terlihat sudah kehilangan kesabarannya pun menggenggam erat pergelangan tangan Kevan, membuat Kevan menghentikan langkahnya untuk keluar dan berbalik.

"Jelaskan dulu pada kami. Sebenarnya, apa yang kau rencanakan? Tidak. Maksudku, apa yang terjadi sekarang? Apa yang kau alami saat kami menemukanmu terbaring pingsan di lantai dasar hotel? Apa yang kau lalui saat itu?"

Kevan menatap tajam ke arah Nadine. Biasanya, orang lain akan takut saat melihat tatapan Kevan yang seperti itu. Namun Nadine tahu bahwa Kevan adalah orang yang hangat, dia tak akan menyakiti teman-temannya sendiri.

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan semuanya sekarang. Setelah aku berurusan dengan orang-orang itu, aku akan menjelaskannya. Lepaskan aku."

"Ternyata dugaanku benar. Kau akan menghadapi orang-orang bersenjata itu sendirian. Tidak, aku tak akan membiarkanmu." ucap Nadine tegas.

Kevan menunjukkan telapak tangan kirinya pada Nadine, "Kau lihat ini? Aku tak terluka karena peluru pistol tadi."

"Apa maksudmu? Sudah jelas kau berdarah."

Kevan mengerutkan keningnya saat mendengar apa yang Nadine katakan. Ia mengecek telapak tangannya untuk kali kedua, dan benar saja, setetes darah mengalir keluar dari bekas lesatan peluru pistol tadi.

"Tetap saja. Lepaskan tanganku, atau kita semua akan berada dalam bahaya." balas Kevan, mencoba meyakinkan Nadine untuk membiarkannya pergi.

"Kalau begitu, aku akan ikut denganmu." Nadine mengatakannya dengan penuh keteguhan hati.

"Aku juga!" teriak Kayla dari dalam.

Yurisa masih mencoba mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. "A-aku juga!"

"Apa kalian ingin cari mati?!" teriak Kevan dengan suara yang lantang. Mereka semua bisa mendengar nada suaranya yang penuh amarah itu. Nadine yang terkejut akhirnya melepaskan pergelangan tangan Kevan.

Ini adalah pertama kalinya mereka mendengar Kevan meninggikan suaranya seperti itu. Bahkan Rea, adik yang sangat ia sayangi, juga terkejut akan hal itu. Selama ini, Rea memang belum pernah melihat Kevan yang semarah ini.

Kevan berbalik dan menatap mereka semua dengan tatapan penuh keseriusan. "Apa kalian lupa saat ini dunia sudah berubah menjadi seperti apa? Bukan hanya zombie yang harus kita waspadai. Bahkan manusia bisa berubah menjadi lebih mengerikan dari pada zombie itu sendiri."

Kevan mengarahkan pandangannya pada Kayla, "Apa kau sudah lupa dengan kejadian di tempat pengisian bahan bakar saat itu? Saat petugas pengisi bahan bakar itu menempelkan pisaunya di lehermu, apa kau lupa? Bajingan yang menyanderamu saat itu hanya memiliki pisau di tangannya. Sedangkan orang-orang di bawah, mereka semua bersenjata lengkap. Apa kalian masih tak mengerti apa yang kumaksud?"

Kevan kini mengalihkan pandangannya pada Nadine yang berdiri di dekatnya. "Dan kau bertanya apa yang kualami hingga membuatku pingsan selama seminggu? Aku mendapatkan kekuatan setelah memakan batu-batu permata yang kukumpulkan dari dalam otak pada zombie. Mungkin hal itu terdengar konyol, namun begitulah adanya."

Tak peduli apapun yang Kevan katakan, meskipun itu adalah kebenarannya, tentu saja masih akan ada rasa ragu di hati mereka.

"Kalian melihatku mematahkan pisau dapur tadi, bukan? Dan juga peluru yang kutembakkan ke telapak tanganku, itu hanya menggores kulitku namun tak membuatku terluka parah. Haruskah aku menembakkan sisa peluru di pistol ke kepalaku agar kalian percaya?"

Kevan kembali menatap mereka semua, "Meskipun aku mendapatkan kekuatan aneh ini, tapi aku tak bisa menjamin aku bisa mengalahkan mereka semua. Salah satu di antara mereka memiliki ukiran huruf yang sama denganku di leher kirinya. Itu berarti satu hal, bukan hanya aku yang tahu tentang rahasia batu permata di otak zombie itu."

Nadine terlihat terkejut. Sepertinya gadis itu adalah satu-satunya yang paling cepat mengerti situasi saat ini. "Itu berarti mereka semua kemungkinan memiliki kekuatan yang sama denganmu?"

"Begitulah. Jadi, lepaskan aku sekarang. Selagi aku menghadapi mereka, kemaslah barang-barang kalian. Jika ada kesempatan, aku ingin kalian semua pergi dari sini dan cari tempat tinggal yang cukup aman."

"Tidak! Aku tak akan meninggalkanmu sendirian lagi!" teriak Rea yang langsung berlari ke arah Kevan.

Rea memeluk erah tubuh Kevan sekuat yang ia bisa, seakan tak ingin melepaskannya untuk selamanya. "Tidak, kau tak boleh pergi lagi! Kau telah berjanji bahwa kita akan bertahan hidup bersama selamanya!"

Kevan terdiam sesaat.

Tukkk~ ...

Kevan membuat Rea pingsan dengan memukul punggungnya. Nadine menangkap tubuh Rea yang terhuyung. Dan saat itu juga, Kevan telah menghilang dari pandangan mereka.

"Rea!" teriak Nadine, namun Rea masih belum sadarkan diri.

Yurisa mendekat dan membantu Nadine mengangkat tubuh Rea dan menaruhnya di atas ranjang. Sedangkan Kayla, dia diam-diam mengejar Kevan tanpa sepengetahuan mereka.

Kevan. Dengan tenang, lelaki itu menatap pantulan dirinya dari pintu lift. Lift yang ia naiki terus meluncur ke bawah.

Kayla terlambat. Pintu lift sudah tertutup sejak tadi. Gadis itupun berlari ke arah tangga darurat dan mencoba menuruni tangga secepat yang ia bisa. Ia tak peduli jika harus kelelahan menuruni setiap lantai. Ia ia pedulikan saat ini hanyalah ia bisa pergi ke tempat di mana Kevan berada dan berdiri berdampingan dengannya.

Kayla tak akan membiarkan Kevan menghadapi bahaya sendirian untuk kedua kalinya. Gadis itu sudah memantapkan hatinya, bahwa, jika memang dia harus mati hari ini, maka ia akan mati bersama orang yang ia cintai.

Tinggg~ ...

Pintu lift terbuka. Kevan bisa melihatnya. Di hadapannya saat ini, ada empat belas orang yang memegang senapan mesin di tangan mereka masing-masing. Dan satu orang berdiri di tengah-tengah mereka dengan tangan kosong.

Setiap orang memiliki tato berukiran huruf F di leher mereka. Sedangkan orang yang berdiri di tengah tengah mereka tanpa memegang senjata apapun memiliki ukiran huruf D di leher kirinya.

Orang yang terlihat seperti pemimpin mereka itu menyeringai ke arah Kevan. Mereka semua memamerkan tatapan jahat. "Aku tahu kau menyimpan gadis-gadis itu bersamamu. Serahkan mereka pada kami, maka kau akan kami biarkan hidup."

"Tenang saja, aku akan merawat mereka dengan baik."

Namun Kevan malah terkekeh, alih-alih merasa terintimidasi.

Awalnya Kevan ragu karena mereka semua memiliki ukiran huruf di leher mereka. Namun setelah memastikan bahwa huruf yang mereka miliki ternyata berada di tingkatan lebih rendah daripada dirinya, hal itu membuat Kevan merasa bersalah telah membentak para gadis tadi.

Salah seorang berjalan mendekati Kevan, dengan senapan mesin MP5K yang ia genggam menggunakan kedua tangannya.

"Apa ada yang lucu, kawan? Cepat serahkan—"

Ekspresi wajah mereka mengeras saat Kevan menghancurkan leher orang itu dengan sekali cekikan. Kini Kevan yang menyeringai ke arah mereka, dengan tangan kanannya memegang kepala orang tadi.

"Bunuh dia!" teriak si pemimpin kelompok itu. Mereka semua menembakkan peluru ke arah Kevan, namun pintu lift telah tertutup dan peluru tak bisa menembusnya. "Sial! Kejar bajingan itu!"

Kevan keluar dari lift setelah naik tiga lantai ke atas.

Ia kembali tersenyum dengan tatapan tajam yang menakutkan, "Sekarang aku akan mengajari para badut ini cara bermain petak umpet."

Next chapter