Matahari cerah hari ini, mendukung suasana hangat penginapan Vila yang ditempati menginjak hari kedua. Dan besoknya, adalah hari terakhir semua keluarga berlibur di Puncak. Dan masih ada dua hari lagi tepatnya untuk pergantian tahun baru 2008.
Keadaan Vila saat ini sedang tenang. Dan kebanyakan penghuninya sedang pergi ke luar dari penginapan. Sebagian yang adalah anggota keluarga tetua sedang berlibur dengan jalan-jalan ke sekeliling penginapan. Dan sebagian lagi sedang mencari sarapan masih di area dekat penginapan juga.
Anehnya, perkiraan Vanka jika kedua Kakaknya akan ikut mencari sarapan itu ternyata salah. Mereka berdua memilih untuk tinggal di penginapan bersama dengan beberapa sepupu muda lainnya. Yaitu Vanka berserta Yuma. Jadi di penginapan sekarang hanya ada mereka berempat saja.
Karena hari masih pagi, yaitu sekitar jam sembilan pagi. Maka semua sudah baru saja selesai mandi pagi. Vanka mengetahuinya karena dia yang mengamati keadaan pagi ini. Berhubung dia yang paling pagi bangunnya.
Dirinya sekarang sedang berada di sebuah ruang santai yang ada di lantai atas. Sendiri saja, dan berusaha menyibukkan dirinya dengan tontonan televisi yang dilihatnya. Dia masih membayangkan obrolannya dengan Kak Sella, sepupunya sebelum dia menonton televisi.
Vanka bingung apa dia harus merasa bodoh amat dengan keberadannya atau memilih agar bebicara dengan Kakaknya itu, tentang apa yang harus dilakukannya. Tapi, akan canggung juga jika dia malah bertanya langsung ke Kak Lisya. Karena dia rasa semua malah menyembunyikan masalahnya dengan Kakak perempuannya itu.
Dengan pemikiran terakhirnya, akhirnya Vanka pun sepakat agar dirinya bisa leluasa menjalani kehidupannya. Dia tau jika semua tidak mengajaknya berbicara, maka sama saja dia tidak harus mencari cara sesuai dengan apa yang ada di benaknya selama ini. Jika dia merasa tidak ingin menggangu Kak Lisya.
Dan semoga saja apa yang sudah dia canamkan itu adalah hal yang mempermudah dia. Bahwa mendiamkan perkara ada baiknya daripada bermain dengan api dengan masalah yang dihadapinya. Tapi, Vanka tidak bisa menjamin keadaannya untuk kedepannya. Bisa saja suatu saat kedamaiannya akan bergolak tanpa dapat diundang begitu saja.
Saat dia kembali lagi menonton televisi selama tiga puluh menit lamanya, akhirnya kedua Kakaknya itu pun keluar dari kamar mereka. Dengan alasan jika mereka berdua kelaparan, maka mereka pun bergaduh untuk langsung menuju ke pantry.
Vanka melihat mereka berdua melenggang pergi ke lantai dasar tanpa menyapanya, mungkin sudah wajar karena mereka berdua mencari sarapan terlebih dahulu. Tapi, setelah mereka sudah kembali ke lantai atas untuk sama-sama bersantai di sana. Vanka tak kunjung di sapa mereka berdua.
Tanpa banyak pikir, Vanka pun kembali ke kamarnya. Dia punya alasan karena dia ingin melihat Yuma. Dia tau saat itu jika Yuma masih mandi.
Akhirnya dia pun kembali ke pantry untuk menyiapkan sarapan untuk Yuma. Dan membawanya ke lantai atas tepat menuju ke dalam kamarnya. Untungnya Yuma saat itu sudah selesai mandi. Dan dia pun menawari Yuma segelas milo hangat dengan sebungkus roti yang dibeli kemarinnya.
"Yuma, ini aku siapin buat kamu sarapan. Cuman ada ini aja di pantry bawah. Kamu cepat sarapan ya," kata Vanka yang langsung dibalas dengan kata terimakasih oleh Yuma. Tapi, saat itu Yuma pun membawa bakinya langsung menuju ke luar kamar mereka. Tepat dia melihat ada Lisya dan Syika sedang berada di luar kamar.
Vanka pun melihat kepergian Yuma dengan pasrah, dia ingin juga berkumpul bersama dengan semuanya yang ada di ruang santai itu. Tapi, kedua Kakaknya hanya menyapa Yuma saja. Yang saat itu memang sedang berjalan membawa baki menuju kearah di mana mereka berdua berada.
"Yuma, mau barengan sarapannya? Sini barengan kita berdua aja," ucap Kak Syika mengajak Yuma duduk santai di atas karpet sambil mereka menonton televisi yang Vanka nyalakan terlebih dulu itu. Dan yang paling menyebalkan adalah karena ketiganya tidak juga mengajak Vanka untuk berkumpul bersama-sama.
Memang dia rasanya ingin juga ikut berkumpul. Tapi dia teringat ucapan Kak Sella, salah satu sepupu tua. Yang bicara kepadanya agar tidak merusak mood Kakak perempuannya, Kak Lisya.
Akhirnya dia memilih kembali tidur di atas kasurnya dan merebahkan dirinya di sana. Kasur yang ditempati Vanka menjorok kearah balkon dan tidak terlihat dari pintu keluar menuju ke ruang santai. Sehingga itu memungkinkan dia untuk lebih tidak terlihat mengganggu Kakaknya yang sedang tidak ingin dengan kehadiran Vanka.
"Liburan yang membosankan. Apa kehidupanku seterusnya akan sama terlihat seperti ini? Iya, memang dulu dan sekarang berbeda dari sebelumnya. Aku merasakannya, semenjak aku terbangun dari tidur itu. Sebelum aku ke gereja. Aku sudah merasakan jika tidurku itu adalah pertanda aku akan mengalami perubahan di kehidupanku ini," batin Vanka serambi memandang pohon kelapa tinggi menjulang di luar balkon pendopo tempatnya berada.
Dia yang tidur dengan menghadap ke arah luar balkon, mulai mengingat jika dia membawa sebuah buku tebal merah maroon yang diberikan oleh Mama beberapa waktu lalu sebelum dia pergi berlibur.
Dan dia membawanya buku itu ke dalam ranselnya saat liburan kali ini. Dan dia pun berinisiatif untuk mengambilnya dari ranselnya yang berada di atas shelf laci tidak jauh dari jendela yang bersebelahan dengan balkon.
"Srrttt,," bunyi ransel yang baru dibuka oleh Vanka terdengar. Tanpa menunggu, dia pun mengambil buku tebal journal merah maroon itu.
Dia bawa dengan satu tangannya dimana posisinya memegang inti buku sehingga dia tidak sengaja melihat ada yang jatuh berupa lembaran yang dia rasa adalah sebuah post card mini yang dia belum mengerti itu ada di dalamnya semenjak beberapa hari yang lalu sudah membukanya.
Dia yang tadinya sudah ada di atas kasurnya itu pun mulai kembali beranjak untuk mengambil mini postcard itu. Postcard yang sudah ada di tangannya itu terlihat masih di segel dengan plastic tebal.
Mungkin saja dia belum menemukannya karena di belakang segelnya ada bekas selotip. Perkiraannya itu ditempel pada salah satu kertas di buku journal itu. Mini postcard itu berwarna hologram. Dan dia melihat jika itu berupa postcard yang dilipat dua. Otomatis pastinya ada sebuah kutipan di dalamnya. Langsung saja Vanka buka,
Dia tidak sadar jika sebenarnya mini post card itu adalah buatan jahil Kakak perempuannya, Kak Lisya. Dan dia melakukannya karena alasan yang tidak dia terima dari masalahnya dengan Vanka.
Sayangnya, buku itu sebenarnya adalah hadiah dari Adimas, sahabat Kak Lisya namun dengan ijin dari semua anggota inti keluarga. Akhirnya Lisya meminta tolong seseorang penjual postcard untuk menulis sebuah postcard mini itu. Seakan dia memberi sebuah petunjuk untuk Vanka. Mengenai sesuatu yang Lisya tidak suka dari sebuah kenyataan yang terjadi sebenarnya terhadap dirinya dan Vanka.
Isi postcard :
Melihat kenyataan akan lebih pahit daripada melihat usaha, nyatanya usaha akan membuat seseorang kuat. Tapi, nyatanya residu darinya menyatakan seberapa besar kenyataan berbicara.
Selamat natal untuk Vanka.
Vanka memandang tulisan itu dengan tanpa bisa menebak, apa maksud dari kutipan mini post card itu. Dia membacanya berulang-ulang, dengan harapan mungkin saja akan mempan atau terjawab maksdunya.
Tapi tetap saja dia bodoh tak mengerti maksud dari tulisan itu. Dia bertanya-tanya siapa yang menulis itu dan apa informasi di dalamnya juga. Tak merasa menarik baginya karena sekarang Vanka malah mengembalikan lipatan post card dan memasukkannya ke segel kembali. Dia tidak memikirkan apa yang sudah di bacanya itu. Dan tertera di post card tersebut.
Kemudian dia pun menaruh post card bersegel ke dalam dompetnya yang berisikan kartu-kartu penting yang ada di sana. Dia mengambilnya lagi di dalam ransel miliknya. Menurutnya jika dia taruh di dalam lembaran buku journal, akan mudah hilang.
Merasa ada yang mengawasinya dari bilik pintu, dia sadar semenjak sedari tadinya Kak Syika sedang melihatnya. Karena Vanka kaget dengan kehadiran Kak Syika di ujung pintu, dia pun bertanya ke Kak Syika, apa yang sedang dia amati dari sana.
"Hei, apa yang Kak Syika amati? Apa sarapan Kak Syika sudah selesai?" tanya Vanka yang merasa risih mendapati Kakak kandung perempuannya itu seperti sudah sedari tadi di sana.
"Nggak. Kak Syika cuman heran aja kamu kok nggak ikutan sama Aku, Kak Lisya sama Yuma. Jadi aku samperin kamu ke sini. Aku liat kamu kayak baruaja sibuk ambil barang di ransel kamu. Apa kamu nggak mau barengan sama kita di luar?" tanya Kak Syika mengajak Vanka untuk tidak menyendiri.
Kak Syika sadar jika Vanka ternyata membawa buku merah jambu itu. Yang adalah pemberian Adimas kepada Lisya dan malah diberikan kepada Vanka atas ijin Lisya juga.
"Oh, iya Kak Syika. Aku barusaja melihat sebuah mini postcard dari dalam buku journal berwarna merah maroon muda yang diberikan oleh Mama beberapa hari sebelum kita pergi berlibur. Katanya itu untukku dan adalah kado natalku. Aku membawanya, dan hendak membukanya saja. Begitulah, mini postcard itu aku taruh di dalam dompetku karena aku tak mengerti harus disimpan di mana lagi agar tidak hilang" Vanka menjelaskan ke Kak Syika mengenai apa yang baru saja dia lakukan dengan terus terang.
"Oh,, apa kamu membawanya. Iya itu adalah kado dari keluarga inti untuk kamu. Sayangnya malam sebelum natal tiba kamu malah tidak hadir," cela Kak Syika yang tidak berkata sebenarnya.
Sebenarnya saat malam sebelum natal saat sedang acara membuka kado natal hanya berupa keluarga inti. Saat itu sebenarnya, Vanka hanya diberi sebuah hadiah berupa satu set sabun mandi dari sebuah ritel skincare terkenal.
Dan karena dia tidak datang saat itu, Lisya yang diberi kado berupa buku journal tebal itu. Dari sahabatnya, Adimas. Tapi dia menginginkan agar kado itu diberikan ke Vanka, dengan alasan agar Vanka merasa masih diberi harapan oleh keluarga intinya. Tanpa memberi taunya jika itu adalah hadiah natal dari Adimas.
Bagi Lisya itu adalah kado istimewa, mengingat dia tau dia suka menulis. Akan tetapi buku journal itu memiliki makna berkesan. Yang menyiratkan siapa saja untuk bebas menulis apa saja perasaan pemiliknya. Jadi, karena dia tau itu maksudnya. Dia menyengajakan agar Vanka yang mendapatkannya. Supaya nanti di kemudian harinya Vanka menyesal.
Lisya menitipkan itu ke Mama. Agar suatu waktu itu bisa diberikan ke Vanka secara langsung. Pastinya dia menukar kartu ucapan sebenarnya dari Adimas yang dituju untuknya menjadi mini postcard dengan tulisan yang telah dibaca Vanka beberapa menit yang lalu itu.
"Bagus jika kamu membawanya, berarti kamu punya kegiatan menulis di liburan. Hmm, apa kamu mau bersama-sama dengan kita bertiga diluar menonton TV? Sepertinya kamu kesepian di sini," tanya Kak Syika bertanya ke Vanka yang saat itu menolaknya dengan halus. Karena dia memang sudah kerasan ada di dalam kamar.
Mengetahui itu, akhirnya Syika pun beranjak dengan menutup kamar Vanka. Mengetahui itu Vanka pun beralih kembali dengan buku journal yang sedang ada di atas Kasur bersama dengan dirinya.
Saat yang bersamaan, Syika pun kembali bersama menonton TV dengan Yuma dan Kak Lisya sehabis keduanya membersihkan sisa makan mereka bertiga di pantry dan kembali lagi ke lantai atas. Syika pun berbisik memberi taukan ke Lisya saat itu jika Vanka sudah menerima buku merah maroon muda dari Mama serta membawanya sekarang saat liburan ini berlangsung.
"Hei, Vanka sudah menerima buku journal dari Adimas untukmu itu. Dia membawanya di dalam ranselnya. Aku melihatnya sedang membawa mini postcard yang Kak Lisya tulis. Dan dia sedang memindahkannya ke dalam dompetnya. Bagaimana menurutmu, Kak?" tanya Syika menanti respon dari Lisya, sang Kakak perempuannya itu.
"Oh yah? Apa dia sudah membaca mini postcard itu? Lalu bagaimana? Apa dia menanyakan tentang isi postcard itu?" tanya Lisya yang tidak heran jika Vanka sudah membaca pesan di mini postcard itu.
"Tidak, dia tidak menanyakannya. Setauku dia juga tidak terlihat memusingkan apa isi mini postcard itu. Apa itu sebuah pertanda buruk, Kak?" kali ini Syika berucap dengan menimang Vanka yang tidak kepikiran denga nisi postcard itu. Belum sempat Lisya menjawab, Yuma pun beralih menanyakan apa yang sedang mereka berdua sedang bicarakan itu.
"Hei, apa yang kalian bicarakan? Mengapa kalian berbicara secara berbisik-bisik seperti itu? Aku tidak dapat mendengarnya," ujar Yuma membuat keduanya tidak lagi menyelesaikan obrolan mereka tadinya tentang Vanka dan dia yang sudah membaca isi mini postcard itu.
"Tidak ada apa-apa Yuma. Aku dan Syika hanyalah berbicara apa yang akan kita lakukan di malam hari nanti. Kita berbisik-bisik karena aku sedang mengatakan jika Uangku habis kemarinnya untuk membeli banyak macam snack dan roti dan aku mau meminjam ke Syika," ujar Lisya yang meyakinkan Yuma yang tidak merasa bersalah sudah menyela pembicaraan sebelumnya.
"Oh, hanya itu saja? Aku kira kalian sedang membiacarakan sesuatu yang berhubungan dengan masalahmu dengan Vanka," ucap Yuma yang bergantian bicara secara bisik-bisik ke keduanya itu. Tapi, Lisya hanya membalasnya dengan sederhana.
"Ahh itu,, tidak. Aku tidak membicarakan itu sama Syika," ujar Lisya berbohong ke Yuma.