webnovel

Sebuah kebenaran yang terungkap.

[Beberapa saat sebelumnya..]

Acio terus ngedumel sambil menyambungkan kabel. Tapi dia senang, kalau Gendra sudah tahu, pasti permainan akan selesai dengan cepat.

"Nah, selesai juga nih task. Nyusahin aja, kenapa coba tugas gue begini amat," gerutunya senang bercampur kesal.

Dia mendongak melihat jam dinding, waktu berjalan lambat, kapan permainan ini akan selesai? Dia sudah tak tahan, berakting bukanlah hal yang mudah dilakukan.

Lima menit berlalu, bosan melandanya. Dia berkeliling saja deh, siapa tahu ada cicak yang bisa dia bunuh. Hmm, kali ini harus diapakan ya? Ah, dia bongkar saja isi perut cicaknya.

"Semoga aja gak ada yang liat, males gue kena tuduh terus," gumamnya seraya berjalan keluar.

"Ternyata emang benar ya..."

JLEB!

Tes..

"Udah gue duga ada yang gak beres disini," desis orang itu, lalu menekan kuat-kuat pisaunya lebih dalam lagi ke perut Acio.

Acio tak mampu berbicara, lidahnya terasa kelu. Tangannya menggapai tangan orang itu agar melepas pisaunya, namun orang itu justru memperdalam tusukannya, sampai sebatas gagang pisaunya.

Darah menetes ke lantai, semakin lama semakin deras, mengalir membentuk genangan di lantai. Bau anyir menyengat, suasana berubah mencekam.

"Awalnya gue gak mau bunuh lo, karena kalau lo masih hidup, semua orang bakal tuduh lo terus dan vote lo sehingga para impostor aman. Tapi... gue udah gak tahan, maaf ya."

Dengan santai dia menarik pisaunya, kasar sekali sampai Acio ambruk ke lantai. Dia menyeringai, berjongkok di samping Acio, mengangkat pisaunya dan mendekatkannya ke leher.

"Pe-percuma..." lirih Acio memaksakan smirknya.

Namun si impostor tak peduli, dan langsung menyayat leher Acio, memotong urat nadinya.

•••

"Aish, itu anak kemana sih? Yang lain juga, sepi amat nih tempat. Berasa di dunia lain."

Pemuda berjaket hitam ini menggerutu di sepanjang jalan, entah kepada siapa tujuannya. Yang pasti, dia kesal. Lagi-lagi, dia di tinggal tanpa alasan yang jelas.

Bahasanya kok kayak ditinggal...

"Nasib orang ganteng kok gini amat."

Dia melempar-lempar flashdisk hasil task-nya ke atas, berulang kali untuk mengurangi rasa bosan. Tanpa memerlukan peta, dia tidak akan nyasar lagi. Dia sudah hafal jalan-jalan di sini. Ya... walaupun belum tahu nama beberapa ruangan sih...

"Tunggu, kok bau darah?" Gumamnya mengendus-endus ke depan.

Ragu-ragu dia berjalan ke depan. Di depan sana ada electrical, tempat keramat di game Among Us.

Dia berhenti, menundukkan kepalanya dengan segera. Dia terkejut, refleks berlari ke sana, tak peduli sepatunya yang basah karena darah.

Kenapa darahnya banyak sekali? Ini sih seperti darah yang berasal dari sesuatu yang diseret.

"Anjir, siapa yang—"

Nafasnya tercekat. Seragam itu... wajah itu...

"Ac—Acio?" Dia terbelalak, tak percaya, matanya memanas.

Tangannya gemetar, menyentuh wajah Acio, menepuknya pelan, berusaha membangunkan.

"Acio?"

Hening.

"Na-Nalendra..."

Masih tak ada jawaban.

"Alen..."

Panggilan ketiga tak terjawab, wajah pucat dengan mata melotot lebar menjadi jawabannya. Acio sudah tiada.

Dia mengepalkan kedua tangannya, berdiri menghadap ventilasi yang menimbulkan suara dari dalam. Dan benar saja, seseorang keluar dari sana.

Tatapan mereka bertemu, keduanya sama-sama terkejut, terutama si impostor yang kepergok dalam menjalankan aksinya.

"BANGSAT! APA-APAAN LO HAH?!"

Pukulan melayang ke wajah si impostor, lumayan keras sampai dia terdorong ke dinding. Pemuda itu marah, memukulnya bertubi-tubi.

"AKTING LO BAGUS JUGA YA, TERNYATA MEMANG LO IMPOSTORNYA, GENDRA!"

•••

Dan disinilah mereka sekarang, semuanya berkumpul di electrical karena mendengar keributan di sana. Dan ternyata benar, ada Nares yang terus memukul Gendra.

Galaksi yang tiba paling pertama speechless saat melihat mayat Acio terbaring dengan kepala menghadapnya.

Tama sudah mengamankan Nares, membawanya sedikit menjauh dari Gendra. Berbahaya jika dia terus memukulnya, Gendra bisa mati kalau begitu ceritanya.

"Apa benar kamu impostornya?" Tanya Aksa yang sepertinya paling tenang disini.

Tidak tahu saja kalau jantungnya jedag-jedug [neol saranghae].

Gendra berdecih, mengusap sudut bibirnya yang robek akibat dipukul Nares. "Lo percaya sama dia?"

Kedua mata Nares membola, emosi kembali merasuki tubuhnya. "Jelas-jelas lo keluar dari ventilasi! Mau ngeles dengan cara gimana lagi?! Gue saksinya!"

Gendra menyeringai. "Bisa banget kalimatnya, kalian semua percaya?"

"SI ANJING, EMANG MINTA DI HAJAR YA LO!"

"UDAH CUKUP! Nares, bukti apa yang kamu punya selain pergokin Gendra keluar dari ventilasi?" Seru Aksa menengahi.

"Gak ada lah! Tapi gue liat—"

"Kalau gak ada gak usah nuduh—" potong Gendra tersenyum penuh kemenangan. Haha, dia jadi bangga pada diri sendiri karena pintar berakting.

"Maaf, kenapa lo marah-marah begini, Kak? Sebelumnya lo santai dan gak peduli sama sekitar lo," heran Yetfa menyela pembicaraan.

Nares menoleh cepat, menunjuk Yetfa penuh peringatan. "Lo diem ya!"

Asahi terlonjak, dia yang sedang melamun jadi terkejut karena seruannya.

"Lo impostornya ya?" Tuduh Galaksi menyipitkan mata curiga.

"Aigoo, sejak awal nuduh orang terus, mana emosian banget," ucap Nares dengan senyum mengejek.

"Kan, lo memang impostornya!"

"Apa-apaan!"

Aksa pusing. "Semua ke cafetaria sekarang, kita diskusi di sana. Dan maaf Nares, saya curiga sama kamu."

"Apa alasannya?!"

"Kak, lo gak pernah semarah ini, lo marah-marah dengan alasan yang gak jelas. Impostor biasanya marah-marah karena gak sengaja kepergok atau ada orang yang bener tuduhannya," sahut Tama, Aksa mengangguk tanda setuju.

"Gak pernah semarah ini lo bilang? Alasan gue gak jelas?" Nares tersenyum getir, lalu berseru keras menunjuk jasad Acio.

"DIA ADIK GUE BANGSAT! ACIO ADIK GUE! GIMANA GUE GAK MARAH HAH?!"

Next chapter