webnovel

Alat Mata-mata

Tekad kian bulat, harapan pun meluap. Ketar-ketir bagai petir, ingin segera melipir. Ruri melangkah tegap dengan sejuta persiapan untuk mengajak Sesilia melangkah dalam rencana. Tak lagi perduli dengan apa yang akan terjadi nanti, semua informasi yang ia dapatkan berhasil membuatnya semakin yakin.

"Jangan takut melangkah, karena tidak akan ada hasil jika tidak dimulai," gumam Ruri. Tatapan elang yang siap menyambar pun terpampang jelas. Sudah cukup baginya terpuruk dalam kebingungan dengan sekeliling korban. Merasa memiliki tujuan yang sama, Ruri bersedia bekorban nyawa.

Hari ini langit tampak lebih gelap, senja hadir bersama langiat gelap, namun tak lantas membuat semangat Ruri melemah. Baginya wajah-wajah mereka sudah cukup menjadi pemicu membaranya api keberanian pada dirinya.

Tiupan angin saat ini semakin mengobarkan api itu. Bergejolak, Ruri benar-benar dibakar api gairah. Sesaat ia teringat akan pertengkarannya dengan Sesilia sebelumnya, namun ia yakin. Semua itu sudah berakhir kali ini, setelah ia melihat langsung bahwa Sesilia mengikuti dirinya. Ini sebuah pertanda bahwa gadis itu juga membutuhkan dirinya. Cukup menyingkirkan ego dan semua akan kembali bersatu.

Malam itu rumah terlihat dingin. Meski mereka semua berada di sana, namun masing-masing terlihat sibuk dengan kegiatannya. Tidak hanya itu, mereka seperti tengah mempersiapkan sesuatu hingga saling menutup rapat mulut masing-masing.

"Hai!" sapa Ruri dengan kikuknya.

"Oh, kau datang. Apa kau sudah makan?" tanya wanita bermata cipit itu. Ia begitu asik dengan beragam benda di atas meja. Benda aneh yang Ruri yakini bukan bagian bahan makanan, namun berbentuk tepung. Benda-benda itu memiliki wewangian dan itu terhirup saat Ruri melewatinya.

"Yah. Apa Sesilia ada di kamarnya?" tanya Ruri. Ia begitu terburu-buru ingin menemui gadis itu. Ia merasa sangat yakin semua informasinya kali ini pasti bisa membuat Sesilia tertarik untuk segera bertindak.

"Yah, ketuk aja pintunya kalau terkunci ya!"

Peringatan ini pun dijawab dengan anggukan. Tanpa ragu, Ruri segera melangkah gagah menuju kamar kecil dengan tulisan 'Jangan Ganggu' di depan pintunya.

"Masuklah!"

Suara Sesilia lebih dulu mengatakan bahkan sebelum ia mengetuk pintu. Sepertinya gadis itu sudah menanti-nanti kedatangannya.

"Pasti ia ingin menanyakan banyak hal tentang Suster Lita," gumam Ruri diiringi dengan senyuman yang menyungging.

"Apa yang mau kau katakan padaku!" nada jutek, bahkan tanpa melihat, sepertinaya Sesilia masih marah kepada Ruri.

"Aku tau kau mengikutiku sampai ke klinik. Aku juga yakin kau mencuri dengar pembicaraan kami, yah meski aku enggak tau sejauh mana kau mendengarnya," jawab Ruri enteng. Ia tak mau terlalu tergesa-gesa setelah melihat reaksi Sesilia saat ini.

"Sombong kau!" ucap Sesilia. Egonya begitu tinggi bahkan hampir mencapai langit. Begitulah anggapan Ruri terhadapnya saat ini.

"Aku akan mulai bertindak. Terserah kau mau ikut atau enggak. Yang pasti aku sudah memiliki banyak informasi yang aku butuhkan. Langkahku semakin dekat dan aku yakin semua pasti berhasil," jelas Ruri tegas. Tatapan meyakinkan itu seketika melemah kala mendengar tawa Sesilia yang begitu kencang.

"Apa kau sudah gila? Jika semudah itu, aku pasti juga sudah melakukannya. Apa kau tak tau betapa gilanya aku daripada dirimu, hah? Yah, aku tau kau memiliki banyak informasi yang mungkin belum aku dengar. Tapi ingat teman, semua ini tak semudah yang kau pikirkan. Sudah enam tahun lamanya aku menyelidiki, namun semakin aku cari tahu malah semakin membingungkan. Jika bukan karena kerja kerasku, tidak akan mungkin aku bisa mendapatimu. Ingat itu!"

Ucapan kasar Sesilia cukup menampar Ruri, membuat ia berdiam kaku sambil menatap lemah. Seketika api yang membara itu perlahan melemah dengan banyak asap putih di sekitarnya.

"Apa yang dia bilang emang benar. Meski aku tau apa yang mungkin terjadi, tapi aku juga belum tau pasti bagaimana caranya aku bisa bergabung bersama mereka."

"Kenapa? Kenapa kau diam? Apa kau baru sadar sekarang? Aku pikir kau hanya hilang ingatan, tapi ternyata lebih buruk dari itu. Kau idiot!" ucap Sesilia, matanya menatap rendah diikuti senyum puas.

"Hah! Sudahlah. Enggak ada guna aku di sini."

Kesal akan tindakan Sesilia yang enggan mendengarkannya, Ruri memutuskan untuk pergi. Meski tak yakin harus membagi ceritanya kepada siapa, namun ia tetap saja melanjutkan langkah.

Saat tangan kanannya menggapai gagang pintu, Sesilia dengan kasar menarik tubuh Ruri. Tenaga kuat yang Sesilia miliki berhasil mengayunkan tubuh Ruri hingga kini mengarah padanya. Tak sesuai dengan rencana, kini tubuh keduanya saling berhadap-hadapan dengan jarak yang begitu dekat. Tidak bisa mengelak, bahkan sekedar menggeser tubuh. Karena kini punggung Sesilia bersandar rapat pada dinding kamar.

"Sialan! Keadaan apa ini?" gerutu Sesilia. Ia mencoba menahan napas agar pria yang ada di depannya tak mendengar degup jantungnya yang begitu kuat.

Tidak hanya Sesilia, ternyata Ruri juga merasakan yang sama. Tubuh mereka yang terkesan sama tinggi, kini terlihat jauh berjarak. Ternyata Ruri jauh lebih tinggi dari Sesili, ini karena ia terpaksa menegakkan bahunya agar tak menyentuh bagian depan tubuh Sesilia. Menahan napas hingga perutnya mengempis, ini semua sengaja ia lakukan karena merasa tak mampu menyentuh gadis yang ada di depannya. Belakangan ini ia kerap merasa salah tingkah dan ingin terus memandang wajah Sesilia. Baik keadaan tersenyum ataupun marah menjadi terlihat begitu menarik baginya. Terkadang justru ia ingin tertawa kala melihat gadis itu mendengus kesal. Terlihat lucu dan menggemaskan. Semakin ia sering memandang wajah Sesilia, semakin cantik pula gadis itu terlihat.

Tak berani saling menata, Ruri memilih melihat ke arah dahi Sesilia. Sedangkan Sesilia sendiri mengarahkan matanya pada kerah kemeja Ruri. Menggelikan, kejadian ini berlangsung lama tanpa satupun diantara mereka yang berniat untuk bergerak. Sampai sebuah ketukan pada pintu terdengar.

"Siapa?" teriak Sesilia. Tubuhnya segera beranjak mendekati pintu.

"Huh, hah, huh, hah!" Ruri berupaya mengatur napasnya. Kedua telapak tangannya terasa lebih dingin saat ini, mungkin karena oksigen bergerak lambat melewati aliran darah yang berada di sana.

"Apa terjadi sesuatu?" tanya Dino. Tatapan penasaran itu membuat Sesilia dan Ruri menjadi salah paham.

"Jika tidak ada yang penting sebaiknya kau pergi saja!" tegas Sesilia. Ia mencoba membulatkan kedua matanya berharap wajah sangarnya kembali keluar.

"Apa terjadi sesuatu antara kalian berdua? Kenapa wajah kalian kaku begitu, seperti kepiting matang?" ledek Dino diikuti senyum meledek.

"Sialan kau!" ucap Sesilia yang hendak kembali menutup pintunya.

"Eits! Aku datang bukan tanpa tujuan. Ayah memanggil kalian, oke!" seru Dino yang kemudian melangkah keluar. Matanya sempat melirik ke arah balik meja Sesilia. Gelagat ini pun terbaca, dengan segera Sesilia segera mendekati meja yang ada di kamarnya.

"Dino! Apa yang kau lakukan di kamarku iblis kecil!" teriak Sesilia geram. Sepertinya ia menemukan sebuah alat yang tak lain buatan Dino. Tak heran jika Dino merasa curiga terhadap mereka. Ternyata ia telah memata-matai keduanya dengan alat yang sengaja ia selipkan di balik meja kerja Sesilia.

Next chapter