webnovel

Pesta Ulang Tahun

Dengan membawa berkas aku masuk ke ruangan Pak Mario. Sekitar ada tiga berkas yang harus ditandatangani oleh beliau. Tanpa membacanya dengan lama, Pak Mario langsung menandatanganinya. Kuambil kembali berkasnya setelah ditandatangani.

"Malam ini aku mengadakan sebuah acara di rumahku. Sebenarnya aku tidak mengundang karyawanku. Tapi karena kau adalah sekretarisku, jadi aku mengundangmu," ucap Pak Mario yang bagaikan perintah untukku.

Pak Mario kemudian memberiku sebuah undangan. Sudah ada namaku tertera di kertasnya. Saat kubuka ternyata ini adalah undangan ulang tahun. Jadi hari ini Pak Mario berulang tahun?

"Selamat ulang tahun, Pak. Aku pasti akan datang," ucapku tersenyum ramah.

"Jangan sampai terlambat," gurau Pak Mario.

Sekarang waktunya jam makan siang. Kukeluarkan bekalku dari dalam tas. Aku sengaja membuat dua bekal hari ini. Elsa pasti suka karena aku memasakkan makanan kesukaannya. Baru saja aku akan keluar, Elsa sudah ada di sini.

"Ayo makan. Aku lapar banget," ucap Elsa sambil memegangi perutnya.

Mata Elsa langsung melebar saat melihat kotak bekal di mejaku. Tanpa minta izin padaku Elsa langsung membukanya.

"Duduklah, kita makan bersama," ucapku.

"Makin sayang deh sama kamu. Sering-sering ya," ucap Elsa yang membuatku geli mendengarnya.

Tak henti-hentinya aku melihat ke arahnya. Hari ini Elsa tampak jauh lebih baik daripada kemarin. Dengan tegas, Elsa menolak Gavin yang mengajaknya balikan. Meskipun Gavin sudah meminta maaf, Elsa tetap pada pendiriannya. Kisah cinta di masa lalu membuat Elsa yakin dengan keputusannya. Elsa tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Lagipula Elsa juga tidak yakin kalau Gavin akan benar-benar memutuskan Linda. Dalam hati aku sangat bangga dengannya. Kurasa Elsa sudah membuat keputusan yang tepat dan aku turut senang.

"Aku senang melihatmu seperti ini. Seperti Elsa biasanya," ucapku.

"Apa yang berubah dariku? Aku hanya berubah menjadi seekor harimau yang menerkam mangsanya. Itu pun hanya sehari," ucap Elsa tertawa.

Kami saling suap-suapan sambil bercanda sesekali. Hari ini aku akan mengatakan apa pun yang akan membuat Elsa senang. Entah Elsa benar-benar senang atau tidak, senyuman di bibirnya itu sudah cukup menggambarkan dirinya yang sekarang.

Malamnya aku sedang bersiap-siap. Di depan meja rias aku sedang mengoleskan lipstik ke bibirku. Seperti biasa, saat Argat keluar dari kamar mandi aku akan langsung keluar. Aku tidak ingin Argat merasa risih dengan keberadaanku.

"Kau cantik sekali," puji Mama.

"Mama tidak apa-apa kan kalau ditinggal sendiri?" tanyaku.

"Mama akan langsung tidur saja. Lagipula ada Bu Rima yang menemani Mama," jawab Mama.

"Aku pergi dahulu, Ma," ucapku berpamitan pada mama.

"Kau akan pergi dengan siapa? Argat belum turun," ucap mama menghentikan langkahku.

Aku tidak bisa berangkat dengan Argat. Aku tidak ingin ada yang mencurigai kami setelah sampai di sana. Tak lama kemudian Argat sudah siap. Argat kemudian berpamitan dengan mama. Tanpa melihatku Argat berjalan keluar.

"Argat. Apa kau akan meninggalkan Delisa di sini? Kalian akan berangkat bersama, kan?"

Mama memberi isyarat supaya aku berangkat dengan Argat. Aku masih diam karena tidak tahu harus berbuat apa. Argat berbalik dan berdehem. Aku tidak tahu apa maksudnya, tetapi mama menyenggol lenganku sebagai tanda bahwa aku harus ikut dengan Argat. Sekarang aku sudah berada di mobil yang sama dengan Argat. Di perjalanan hanya ada keheningan. Hingga akhirnya Argat membuka suara untuk pertama kalinya. Suara yang tidak kuharapkan.

"Surat gugatan cerainya ada di kamar. Kau bisa menandatanganinya tanpa sepengetahuan Mama. Putuskan dengan cepat dan jangan membuatku marah," ucap Argat dengan lirih tetapi tegas.

Akhirnya kami sampai di rumah Pak Mario. Rumahnya sangat mewah dan terang karena banyaknya lampu. Sadar dengan orang yang berdatangan, aku langsung memisahkan diri dari Argat. Kini aku hanya sendirian memasuki rumah ini. Dari jarak jauh aku melihat Argat yang sedang menyapa Pak Mario. Mungkin aku akan menyapa Pak Mario setelah Argat pergi. Karena tidak ada orang yang bisa kuajak bicara, aku memilih berdiri di dekat tembok dengan segelas minuman di tanganku. Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Pak Mario sekarang hanya sendirian. Kini saatnya aku menghampirinya.

"Selamat ulang tahun, Pak," ucapku dengan tersenyum.

"Kau sudah mengucapkannya tadi pagi," ucap Pak Mario.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Pak Mario. Acara inti akan segera dimulai. Pak Mario sudah bersiap-siap di depan kue ulang tahunnya. Semua orang mulai memusatkan perhatiannya pada Pak Mario. Musik mulai dimainkan dan mulai terdengar nyanyian selamat ulang tahun. Ini memang sedikit canggung karena Pak Mario ikut bertepuk tangan. Apalagi saat Pak Mario meniup lilinnya. Kini saatnya untuk memotong kuenya. Potongan pertama diberikan Pak Mario untuk ibunya. Suara tepuk tangan kian meriah saat Pak Mario menyuapi ibunya. Anggota keluarga Pak Mario menjabat tangannya untuk mengucapkan selamat ulang tahun.

"Linda ada di sini?" batinku.

Mengapa aku terkejut? Sepertinya aku sudah lupa kalau Linda adalah keponakannya Pak Mario. Pantas saja Linda berada di sini. Setelah acara inti selesai, musik kembali dimainkan untuk membuat pestanya makin meriah. Namun tiba-tiba saja aku memikirkan tentang alasan mengapa Pak Mario masih sendiri hingga saat ini. Jangan salah paham, ini hanya pikiran yang terlintas begitu saja. Soalnya kalau dilihat-lihat seperti sedikit aneh jika seorang pria tampan, kaya dan baik belum memiliki pasangan. Lamunanku buyar saat Pak Mario memanggil namaku.

"Iya, Pak."

"Kau tidak mengambil makanan?" tanya Pak Mario yang melihatku hanya berdiri mematung.

"Aku masih cukup kenyang," jawabku.

"Kau menikmati pestanya?" tanya Pak Mario.

"Pestanya sangat bagus, Pak. Aku suka minuman yang ada di sebelah sana," ucapku sambil melihat ke arah meja yang menyediakan minumannya.

Dua orang wanita mulai mendekati Pak Mario. Awalnya Pak Mario menanggapinya dengan santai, tetapi lama-lama dua orang itu bertingkah manja. Apa mereka berniat merayu Pak Mario? Namun sayang, Pak Mario justru risih.

Malam makin gelap dan aku mulai mengantuk. Sejak tadi aku tidak melihat Argat. Di mana dia? Aku mulai lelah karena terlalu lama berdiri. Kuputuskan untuk mengiriminya pesan bahwa aku ingin pulang sekarang. Kira-kira sudah satu jam aku menunggu balasannya. Tiba-tiba saja ada yang menarik kerudungku ke bawah. Aku jadi spontan mendongak karena ulahnya.

"Argat," ucapku saat mengetahui kalau Argat pelakunya.

Dengan was-was, aku masuk ke dalam mobil. Aku takut jika ada yang melihatku masuk ke dalam mobil Argat. Kusandarkan kepalaku ke belakang dan memejamkan mata karena sudah tidak tahan lagi ingin segera tidur. Dengan sengaja Argat justru mengingatkanku pada sesuatu yang tidak bisa membuatku tertidur.

"Jangan lupakan suratnya," ucap Argat.

Mataku langsung terbuka saat mendengarnya. Sekarang aku memilih melihat ke jendela dengan mata yang mengantuk dan pikiran yang memaksaku tetap terjaga.

Next chapter