webnovel

Kehidupan yang Sebenarnya

=Tiga tahun berlalu=

Lulus kuliah dan telah memiliki banyak pengalaman pada bidang bisnis keluarga. Triplet JoJeju sudah siap untuk dilepas Papa dan mengurus hotel di dalam negeri tanpa bimbingan.

Papa sangat yakin kalau ketiga anaknya itu dapat bekerja dengan baik, beliau juga tidak akan lagi repot mengurus banyak hal seorang diri. Begitulah yang selama ini selalu dikatakan Joni sebagai kakak tertua yang menyebutkan kalau mereka benar-benar harus memberikan bantuan pada Papa sebagai bentuk hormat dan rasa terimakasih.

Sikap dan karakter dari masing-masing anak tidak dapat diubah begitu saja. Papa memahami kalau diantara Joni, Jeje dan Juno, Junolah yang masih sering nampak bermain-main. Bukan hal buruk memang untuk sesekali bertemu dengan teman dan bermain musik, Papa hanya berharap kalau si bungsu dapat mengatur waktunya dengan baik agar tidak menganggu tugas dan pekerjaannya.

Papa berangkat ke Jerman pagi ini, sementara ketiga anaknya juga berangkat untuk melakukan pekerjaan masing-masing.

Joni memiliki jadwal untuk bertemu dengan para investor dari luar negeri. Dia pergi lebih pagi dari dua kembarannya, tidak ingin terlambat karena ini adalah perdana baginya untuk menghadiri pertemuan tahunan itu tanpa didampingi Papa.

Jeje sedang bertemu dengan beberapa perusahaan teknologi digital yang sebelumnya sempat menawaran kerjasama untuk fitur modern yang akan diterapkan di hotel. Masih dalam tahap awal pembicaraan, namun itu cukup menarik sehingga Jeje tidak ragu untuk memasukkannya dalam daftar hal yang akan dilaporkan pada Joni.

Si bungsu juga memiliki pekerjaan yang tidak kalah penting kali ini. Dia harus bertemu dengan perusahaan kontraktor untuk pembangunan pusat pembelanjaan yang telah selesai tahap perancangan akhir tahun lalu saat Papa masih memimpin. Kini proyek itu dia yang akan mengurusnya.

Target pasar yang mulai bergeser, membuat Juno mendapatkan perhatian lebih dari Joni. Si bungsu sempat mengusulkan tentang pusat pembelanjaan dimana para pedagang yang akan bergabung adalah para UMKM yang akan membayar sewa rendah.

Sebelumnya, target mereka hanya pada masyarakat kelas menengah atas, namun kini mereka juga menargetkan generasi muda yang walaupun mereka tidak memiliki kepentingan untuk menginap di hotel ataupun berbelanja ke pusat pembelanjaan, mereka memiliki kepentingan untuk meimbangi 'gengsi' dalam kehidupan bersosial.

.

.

Joni baru saja kembali ke ruangannya setelah jam makan siang. Penampilannya tidak serapi saat ia berangkat kerja, dia sudah mulai lesu dan harus melonggarkan dasinya, dia segera duduk dengan menyandarkan tubuhnya dengan nyaman pada kursinya.

Dia bahkan membiarkan rambutnya berantakan setelah setengah hari penuh dia banyak berpikir.

"Argh … kurasa aku tahu sekarang kenapa Papa menjadi lebih cepat tua," gumamnya seraya berdecak. Pandangannya tertuju pada lemari makanan yang ada di sudut ruangannya.

Dia memindai lemari itu dengan pandangannya dari kejauhan. Ia ingin minum sesuatu yang dingin, namun terlalu malas untuk bergerak.

Seseorang mengetuk pintu ruangannya, segera saja Joni kembali merapikan rambut juga dasinya.

"Masuk," ucapnya. Dia bahkan mampu menampakkan senyumnya pada sekretaris Beni yang muncul dari balik pintu.

"Permisi, Pak. Ini laporan keuangan hotel untuk minggu ini," ujar Beni seraya menyerahkan berkas pada Joni.

Pria berambut pirang itu menarik napas panjang, dia masih beruntung karena laporan keuangan yang dilaporkan setiap minggu itu tidak terlalu tebal untuk dibaca olehnya.

"Ini sudah semuanya?" tanya Joni seraya membuka beberapa lembar berkasnya.

"Iya, Pak. Pak Manager Keuangan yang menyerahkan sendiri padaku," jawab Beni.

Joni membaca dengan sangat cermat. Sesekali dia mengangguk serius, dia tidak perlu banyak ekspresi untuk laporan yang nyaris sama untuk setiap minggunya.

Namun ada sesuatu yang menarik perhatiannya hingga membuatnya mengerutkan dahi.

"Apa ini? Juno menggunakan uang hotel untuk kepentingan pribadi?" gumamnya. "Ah bukannya dia sudah memiliki kartu kredit pribadi? Bahkan dari perusahaan juga ada?" pikirnya semakin bingung.

"Pak Beni tolong panggilkan Pak Juno kemari. Ada yang ingin kuluruskan dengannya sekarang," perintah Joni yang segera disetujui oleh sekretarisnya itu.

Joni masih mencermati laporan itu. Sangat bingung sekaligus kesal, dia sama sekali tidak memiliki akal untuk hal ini. Jelas sekali tertulis kalau ada pengeluaran uang dalam jumlah besar atas nama Herjuno yang dipergunakan untuk membayar sebuah Apartement mewah di luar kota.

"Kamu memanggilku?" tanya Juno yang masuk tanpa mengetuk pintu.

Joni menarik napas panjang. Dia lalu melempar berkas yang semula ia baca diatas meja. "Beri aku penjelasan tentang semua itu!" suaranya meninggi.

Juno menatap saudaranya itu lekat, dia mendadak bingung dan terkejut karena mendapat sambutan tidak baik. Segera saja dia mengambil berkas itu dan membacanya dengan cermat.

Kedua mata sipitnya Nampak membulat. "Apa ini?" ucapnya bingung. Dia menemukan baris namanya yang digaris tebal oleh Joni agar terlihat dengan jelas.

"Kenapa kamu memakai uang hotel untuk kepentingan pribadimu? Apakah uang yang kamu miliki itu tidak cukup?" wajah Joni dingin sekali.

"Maksudmu … kamu sungguh mengira aku menggunakan uang perusahaan untuk ini? Aku tidak sebodoh itu, tahu?!" suara Juno meninggi. Dia bahkan meremas berkas yang masih ditangannya.

"Lalu apa kamu pikir itu semua salah? Tim keuangan mendeteksi pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadimu. Katakan saja semuanya, aku sedang tidak ingin marah sekarang," ujar Joni.

Brak!!

Juno melempar berkas kembali ke meja dan membut kalender di dekat computer saudaranya terjatuh.

"Aku tidak tahu ya apakah otakmu sudah terganggu akibat kamu terlalu banyak berpikir. Tapi aku sama sekali tidak habis piker kamu menuduhku seperti ini. Aku sama sekali tidak pernah mengetahui tentang keuangan atau apapun selain anggaran untuk proyek pemasaran."

"Lalu? Kamu ingin mengelak dari laporan yang detil itu?" sahut Joni yang masih berusaha menahan emosinya.

Juno diam sejenak. "Jon, aku memang boros. Tapi aku tidak bodoh dan menggunakan uang perusahaan untuk hal semacam itu. Kurasa laporan itu perlu dikaji ulang."

Joni mengerutkan dahinya. "Kamu meragukan kemampuan tim keuangan?"

"Aku hanya meragukan kinerjamu yang mudah sekali menuduh anak buah hanya karena suatu hal yang dapat dimanipulasi."

Joni menatap Juno lekat, keduanya saling bertatap untuk waktu yang lama.

"Kukatakan sekali lagi, aku tidak memakai uang itu. Laporannya perlu dikaji ulang. Aku permisi," ucap Juno yang sama sekali tidak menampakkan ekspresi senang.

Si bungsu segera pergi meninggalkan ruang Joni, membuat saudaranya itu kembali menyandarkan tubuh dan memijat pelan kepalanya.

Untuk sesaat dia berpikir kalau mungkin saja perkataan Juno sebagian benar, dia memang bodoh karena tidak dapat berpikir dengan jernih, namun daftar pengeluaran itu tidak pernah salah selama ini.

Dia menjadi semakin kesal karena Juno terus mengelak bahkan menyuruhnya untuk membereskan laporan keuangan itu.

Seseorang mengetuk pintu Joni dari luar, dia segera mempersilahkannya masuk dengan tidak begitu bersemangat.

"Ada apa? Apa kalian baru saja bertengkar?" tanya Om Tama yang sempat berselisihan dengan Juno sebelum menuju ruangan Dirut.

"Maaf, Om. Aku sedang tidak ingin membahasnya," ujar Joni.

"Ada apa?" tanyanya pada Om Tama yang nampak membawa berkas.

"Ah ini. Daftar karyawan kontrak yang kontraknya akan berakhir bulan ini. Semuanya sudah dievaluasi, ada beberapa diantara mereka yang masih kita butuhkan dan yang lainnya kurasa harus dilepas," ujar Om Tama menjelaskan.

"Emm, akan kupelajari nanti." Joni menerima laporan itu dan meletakkannya diatas meja. Sama sekali tidak bersemangat untuk berpikir lebih banyak hal.

Om Tama segera berpamitan. Beliau merasa tidak nyaman dengan ekspresi dari keponakan yang juga merupakan atasannya itu.

***

Next chapter