webnovel

Festival Kampus Selesai

Jeje sedang melihat kearah jalanan yang cukup sepi ketika pria yang tadi memberinya sapu tangan melintasi kafe tempatnya dan dua saudaranya itu berada. Dipandangi oleh Jeje untuk beberapa saat.

"Kukira dia tidak dapat bicara," gumam Jeje dengan pandangan yang masih terarah pada pria yang berjalan kaki itu.

"Siapa?" tanya kedua saudaranya, mereka segera mengikuti arah pandang Jeje kearah luar.

"Maksudmu, Tian?" tanya Joni.

Jeje hanya mengangguk kecil.

"Dia itu bukannya tidak dapat bicara, hanya sedang hemat suara," ujar Joni sambil mengunyah makanannya.

"Hemat suara bagaimana? Memangnya dia pikir itu BBM ataupun listrik yang harus dihemat untuk generasi masa depan?" celetuk Jeje yang terkekeh seketika.

"Mungkin, bagi dia suaranya itu mahal. Sehingga dia harus menghematnya agar suaranya itu tidak lekas habis. Kan kalau habis, dia akan kesulitan untuk membelinya lagi, 'kan?" celetuk Juno.

Jeje mendengkus kesal mendengar kaliamat si bungsu. "Ah kamu ini, Jun. Aku sama sekali tidak paham dengan apa yang kamu bicarakan."

"Emm, kamu ingin melucu? Sayang sekali waktunya tidak tepat karena aku sedang sangat kenyang," sahut Joni yang menatap Juno dengan tidak minat.

Si bungsu hanya mendengkus. Tidak lagi ingin mengatakan apapun hingga selesai makan.

.

.

Setelah menonton pertandingan basket tim Jeje saat pagi, kini saatnya untuk menonton pertunjukan grup band Juno di malam puncak acara kampus.

Joni dan Jeje duduk di abngku penonton paling depan, mereka ingin menonton dengan jelas kembarannya itu.

Berhubung acara puncak ini dimulai sejak sore hingga malam, mereka bertiga ditemani oleh dua orang pengawal. Sebenarnya, mereka tidak ingin dikawal, namun Papa yang memaksa karena beliau tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan pada ketiga anak kesayangannya itu ketika pulang malam.

Joni meminta para pengawal untuk tidak terlalu dekat, karena mereka ingin menikmati acara dengan tanpa menarik perhatian dari penonton yang lain. Mereka juga mengatakan kalau para pengawal bisa menikmati acara tanpa harus berdiri tegang didekat mereka bertiga.

Penonton sudah mulai memadati lokasi panggung yang didirikan di tengah lapangan kampus. Mulai dari mahasiswa kampus mereka sendiri, juga banyak orang luar yang datang karena diunang oleh teman ataupun saudara mereka yang berkuliah di kampus ini.

"Wah itu Juno? Dia tampan sekali …."

"Iya, ya ampun. Dia juga keren! Aaa …."

"Coba kamu perhatikan ketika dia memukul drum. Wahh aku menggila …."

"Apalagi saat dia tersenyum sambil memainkan stik drumnya. Dia manis … menggemaskan sekali …."

"Ah aku mau jadi drumnya deh …."

"Aku jadi stiknya saja ya …."

Joni dan Jeje yang harus mendengar ocehan para gadis yang tergila-gila dengan pesona Juno merasa sangat terusik. Pasalnya mereka menjadi tidak dapat menikmati acara dengan baik karena suara penonton itu sangat berisik dan sangat berlebihan.

Joni mehela napas panjang. Dia memasang earphone yang sebelumnya memang telah dia gantungkan di leher. Namun itu sanagt tidak membantu, karena diapun tidak menyalakan musik apapun. Suara penonton yang terus memuji dan genit itu sangat meresahkan.

"Maaf, Nona Nona. Ocehan kalian ini sangat mengganggu konsentrasiku dalam menikmai musik. Bisakah kalian diam sebentar?" Joni berbalik dan sama sekali tidak memasang wajah ramah. Dia menatap sederet gadis sekolah menengah yang berisik itu dengan tanpa senyum. Dia kesal sekali.

"Kamu?" seorang gadis menatap Joni ekat, lalu dia kembali menatap Juno yang sedang tampil di panggung secara bergantian.

"Wah ya ampun! Kamu kembarannya Juno? Waaaa kalian mirip sekali, sempurna," uajr gadis itu yang segera heboh bersama teman-temannya.

Joni hanya mengernyitkan dahi dan masih tidak berekspresi.

Kini Jeje yang sudah tidak tahan lagi. Dia mehela napas panjang dan juga berbalik menatap deret gadis berisik.

"Maaf bisakah kalian mengurangi suara kalian? Kami sangat terganggu!" suara Jeje tidak kalah tegas, hanya saja terdengar lembut layaknya suara perempuan pada umumnya.

Para gadis itu bukannya diam, namun mereka menjadi semakin histeris setelah melihat wajah jeje yang juga mirip dengan juno, hanya saja dia berambut panjang dan pirang.

"Ya ampun ternyata rumor mengenai Juno memiliki kembaran itu benar. Kalian … wahh …."

Jeje hanya tersenyum kecut, dia kembali berbalik dan menatap panggung tanpa menghiraukan ocehan mereka lagi.

"Dia cantik. Apa dia seorang perempuan?"

"Tidak mungkin. Dia pasti pria. Dia mirip sekali dengan Juno."

"Tapi dia berambut panjang, dia pasti perempuan."

"Ehh nanti kita cari tahu lagi saja," uajr seorang gadis yang akhirnya mengajak semua temannya untuk berpindah tempat. Mereka menuju sisi panggung agar dapat lebih dekat lagi dengan idola mereka..

Joni menoleh pada Jeje. "Apakah memiliki penggemar itu menyenangkan?" tanyanya.

Jeje hanya menggeleng dan mengerutkan dahinya. Dia sama sekali tidak menyukai memiliki penggemar.

Penampilan yang bagus dari band Juno. Bahkan hingga akhir, mereka selalu mendapatkan tepuk tangan yang sangat banyak.

Acara malam puncak akhirnyapun selesai. Para penonton telah banyak yang bubar meninggalkan area acara. Begitu juga dengan Joni dan jeje yang telah bersiap untuk pulang. Namun mereka masih harus menunggu sang idola yang masih membereskan beberapa peralatan band.

"Jun!" Sapa suara lembut dari arah belakang. Joni dan Jeje segera berbalik untuk melihat pemilik suara itu.

"Eh kalian berdua. Maaf, aku kira ada Juno," kata perempuan berambut ikal hitam itu yang tersipu malu.

"Juno masih beres-beres di belakang panggung," ujar Joni. "Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya. Dia ingat pernah bertemu dengan perempuan itu saat menonton pertandingan basket tadi pagi.

"Oh ini. Bisa kalian berikan kepada Juno? Bilang saja dari seorang teman." perempuan itu menyerahkan sebuah kotak dan seikat bunga pada Jeje.

"Kotak dan bunga?" tanya Jeje memastikan. Perempuan itu mengangguk dan tersenyum manis.

"Baiklah. Akan kami sampaikan," ujar Joni.

"Terimakasih," sahut perempuan itu. "Emm bisakah kalian juga mengatakan ini? katakan padanya kalau penampilannya ahri ini sangat keren." Sambungnya lagi dengan malu-malu.

Sial. Umpat lirih Jeje. Dia dan Joni segera saling panjang setelah mendengar kalimat itu. Mereka merasa aneh, namun hanya dapat memandangi perempuan itu pergi dan tidak lagi berkata-kata.

"Seorang teman?" celetuk Joni yang merasa lucu dengan sikap perempuan tadi.

"Ahh dia tidak malu sama sekali," gumam Jeje yang meringis. Entah kenapa dia merasa malu dengan sikap perempuan itu.

"Apa mereka sudah sangat dekat?" tanya Jeje lagi.

Joni mengangkat bahunya, "Aku hanya pernah melihatnya duduk di dekat Juno. Selebihnya, tidak begitu memperhatikan," jawab Joni.

"Ataukah … mereka sungguh hanya teman?" ujar Jeje lagi. "Teman hati, mungkin?"

Joni terkekeh seketika setelah mendengar kalimat Jeje. Dia yang sebelumnya belum pernah mengetahui kalau Juno bisa naksir perempuan itu mendadak merinding dan tidak percaya.

***

Next chapter